View Full Version
Kamis, 11 Apr 2013

RUU Ormas : Dari Polemik Hingga Solusi

Oleh: Hanif Kristianto (Lajnah Siyasiyah HTI Jawa Timur)

RUU Ormas (Organisasi Masyarakat) menuai kritik tajam. Penolakan kian santer dari rakyat. Hal ini menjadikan RUU Ormas yang sejak 2012 segera disahkan kian diundur. Sampai saat ini (Maret 2013) DPR yang berencana menggedok pun masih menundannya. Rakyat saat ini, walaupun tidak mayoritas, telah memiliki kesadaran politik. Kesadaran ini perlu dibangun untuk merekonstruksi negeri ini menjadi lebih baik. Hal itu dibuktikan dengan menolak ataupun meyudicial review beberapa UU. Semisal penolakan RUU Ormas dan judicial review UU Migas.

Kesadaran politik rakyat telah menjadi ancaman bagi status quo. Pemerintah pun mengantisipasi dengan berbagai kebijakan yang membelenggu. Sistem demokrasi sesungguhnya menyimpan kebusukan berupa kemunafikan (hipokrit). Katanya kebebasan di segala bidang, namun jika mengancam akan segera dibabat. Contoh di Indonesia adalah kekejian setiap rezim berkuasa. Dari orde lama hingga reformasi. Semua menyimpan sikap anti-pati kepada rakyat, sadar atau tidak. Kebijakan ataupun aturannya sering tidak pro-rakyat. Cenderung menikam rakyat dengan gaya yang halus hingga kasar.

Kondisi Indonesia di era keterbukaan ini, menjadikan rakyat makin berani untuk beraspirasi. Aspirasi ini dilandasi oleh berbagai macam dorongan dan ideologi. Sebagaimana saat ini banyak lembaga, ormas, LSM, dan lainnya menolak kehadiran RUU Ormas. Jika dicermati ada beberapa hal yang menarik dari penolakan RUU Ormas. Pertama, sikap pemerintah yang menutupi keinginannya. Kedua, kepentingan beberapa Ormas, LSM, dan lembaga non pemerintah. Ketiga, sistem demokrasi yang absurd. Keempat, tata aturan yang tidak ajeg. Kelima, kepentingan dibalik RUU.

Pertama, sikap pemerintah yang menutupi keinginannya. Sikap pemerintah ini memang sulit ditebak, bagi orang yang tidak memiliki kedalaman politik. Pemerintah saat ini cenderung menerapkan sikap check and balance. Hal ini untuk memetakan pihak yang pro dan kontra. Suatu sikap yang cenderung dipakai untuk memukul mundur lawan politik.Berulang kali, dilakukan pencintraan politik  dan sikap ‘ragu-ragu’ dalam menentukan kebijakan.

Terkait RUU Ormas, pemerintah ingin bersembunyi dibalik kata-kata manis isi RUU. RUU Ormas yang ada dimaksudkan menggantikan UU Nomor 8 tahun 1985.UU tersebut dianggap tidak relevan lagi dan perlu adanya koreksi. Hal yang wajar dalam sistem pemerintahan yang gagal. Sikap ini, secara substansial pemerintah ingin menjadikan seragam dalam ‘asas’ ormas. Gaya ini seperti dalam sistem sosialisme-komunis, namun terlihat sedikit cantik.

UU Nomor 8 tahun 1985 dikeluarkan pada masa orde baru untuk merangkul lembaga/kelompok/organisasi yang berserakan agar sejalan dengan kepentingan pemerintah. Orde baru tahu, jika sikap otoriter diterapkan yang terjadi adalah penolakan. Maka untuk menutupi kepentingan penguasa akhirnya dibentukalah UU tersebut. Mengingat orde baru punya kepentingan besar untuk mengamankan penguasa agar tetap bertahan dalam tampuk kekuasaan hingga beberapa periode.

Suatu hal yang wajar dalam sistem semi-otoriter orde baru. Dibalik penguasa berdiri militer yang siap hidup-mati membela kepentingan penguasa. Terlepas benar atau salah kepentingan itu.

 Kedua, kepentingan beberapa ormas, lembaga, LSM, dan lainnya. Setidaknya ada dua kutub kepentingan: politik dan ideologi. Kepentingan politik diusung beberapa LSM demokrasi dan HAM. Kepentingan ideologi –agama—diusung beberapa ormas keagamaan dan lembaga lainnya. Kedua kutub tersebut mempunyai alasan yang berbeda. Adapun kesamaan penolakannya adalah “pintu kembalinya rezim represif ala orde baru”. Hal ini disadari oleh pengalaman buruk dari penerapan UU Nomor 8 tahun 1985. Serta sikap orde baru yang memusuhi rakyatnya.

Terkait kepentingan politik, LSM demokrasi dan HAM mempunyai andil besar. Selama ini merekalah yang terus mengawal pemerintah dalam menerapkan kebijakan. Wajar dalam sistem demokrasi LSM demokrasi dan HAM dibentuk untuk menjaga eksistensi kebebasan. Mengingat demokrasi terkadang digunakan secara otoriter oleh penguasa.

Mereka pun beralasan, RUU Ormas akan membungkam kebebasan berserikat, berpendapat, dan sikap kritis. Secara prinsipil menodai demokrasi. Tentunya ini bertentangan dengan cita-cita demokrasi dan HAM. Solusi yang ditawarkan yaitu revisi atau tidak disahkan. Jika RUU Ormas disahkan maka eksistensinya akan hilang. Terlebih selama ini mereka hidup dari lembaga donor asing. Di sisi lain, diam-diam asing juga mendukung pemerintah dalam menjalankan setiap kebijakannya. Tidak jarang ditemui asing juga menitip kebijakan. Hal ini bisa diamati dari penerapan UU SDA (Sumber Daya Air), UU Migas( Minyak dan Gas), dan UU lainnya yang sudah diterapkan. Ada dualisme kepentingan politik terkait keberadaan LSM dan pemerintah.

Terkait kepentingan ideologi, kelompok ormas keagamaan mempunyai andil besar. Hal ini disadari oleh pengalaman pahit beberapa ormas keagamaan di era orde baru. Masa itu pemerintah begitu anti pada Islam, meskipun tidak terus terang. Cara-cara kotor digunakan pemerintah ketika itu. Penangkapan ulama’, aktifis keagamaan, dan ormas yang kritis terhadap pemerintah. Pemerintah pun menebar intelijen untuk memata-matai rakyat sendiri.

Sebuah sikap munafik dari jargon pemerintah yang katanya ‘membangun negeri’. Di tengah-tengah rakyat pun muncul sikap takut kepada penguasa. Merasa dirinya terancam. Takut melakukan kegiatan keagamaan dan lainnya. Hal mendasar yang dijadikan alasan ormas keagamaan adalah asas. Pemerintah melalui RUU Ormas ingin menjadikan asas tunggal (pancasila) sebagai asas setiap ormas. Padahal semangat oramas keagamaan itu ada karena panggilan iman dan syariat agama. Bukan asas buatan manusia yang cenderung lemah dan memenuhi kepentingan pribadi penguasa. Khususnya bagi ormas Islam.

Mereka berkumpul dalam rangka memenuhi seruna Allah dalam surat ali Imron ayat 104. Tujuannya amar ma’uf nahi munkar. Serta konsekunsi ketaatan sebagai hamba Allah dalam menjalankan syariat Islam. Suka atau tidak suka, syariat merupakan ‘harga mati’.  Jika asas dalam ormas bukan Islam, maka bisa jadi masuk kategori kufur dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dilihat dari kedua kutub kepentingan tersebut, ada pelajaran penting, yaitu pemerintah lagi-lagi ingin melakukan test. Ujicoba kebijakan apakah pemerintah masih dipercaya atau diabaikan? Yang terjadi adalah pemerintah akan terus membuat ‘PR’ bagi rakyatnya. Rakyatnya dibuat capek untuk mengurusi hal-hal yang seharusnya pemerintah mengerjakannya. Di sisi lain, pemerintah akan membuat arus baru yang tersembunyi dalam berbagai kepentingan pribadinya. Inilah operasi politik senyap, nyaris tak terdengar.

Ketiga, sistem demokrasi yang absurd(mustahil/tidak masuk akal). Demokrasi bagi negara yang menerapkannya akan menjadikan pemerintah sebagai pemilik sah negara. Jargon dari rakyat-oleh rakyat-untuk rakyat, tidak akan pernah ada. Meskipun pemerintah mengatakan bersikap demokratis. Demokratis yang bagaimana? Seperti apa bentuknya? Apa hasilnya? Justru yang dihasilkan berupa topeng. Lihatlah, UU atau aturan lainnya dibuat untuk kepentingan penguasa.

Musyawarah hanya jadi jargon manis, seolah-olah pemerintah telah melayani rakyatnya untuk berpendapat. Musyawarah hanya berada di gedung parlemen. Selebihnya hanya ‘janji’. Sistem demokrasi telah menelan banyak korban. Rakyat yang miskin, kelaparan, dan tertindas tidak dipedulikan. Demokrasi sesungguhnya menjadi anak kandung kapitalisme, yang menjadikan materi di atas segalanya. Maka sangat mustahil demokrasi menjadikan rakyatnya tenang, nyaman, tentram, dan sejahterah. Justru yang didapat rasa was-was, galau, dan ragu-ragu ketika UU/aturan dibuat ternyata tida pro-rakyat.

Keempat, tata aturan tidak ajeg. Hal ini dilandasi oleh sikap manusia dalam membuat aturan. Aturan cenderung digunakan untuk mendukung pemerintah berkuasa. Aturan juga sering berubah-ubah sesuai kondisi dan perubahan masa. Bukan aturan universal yang abadi. Misalnya RUU Ormas. RUU Ormas diharapkan mampu menggantikan UU Nomor 8 tahun 1985.

Tidak hanya itu, UUD 1945 yang awalnya sakral toh ada amandemen juga. Suatu hal yang aneh. Maka semakin menegaskan jika manusia diminta membuat aturan yang terjadi adalah: mengikuti hawa nafsu, sesuai kepentingan pribadi atau kelompok, membuat aturan karena pesanan dan komisi, kompromistis, dan transaksional. Bahkan UU atau aturan yang disahkan sering berbenturan dengan aturan lainnya.

Akhirnya muncul penolakan, judicial review, dan lainnya. Selain itu, RUU Ormas juga bertolak belakang dengan UU lain. Semisal UU Intelijen, RUU Keamanan Nasioanal, UU Terorisme, dan UU yang mengatur kehidupan orang maupun kelompok. Lantas, negara macam apa jika aturannya amburadul?

Kelima, kepentingan dibalik RUU Ormas. Banyak kajian yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga terkait bahaya RUU Ormas. Antara lain: definisi ormas yang sapu jagad (pasal 1), pemaksaan asas pancasila (pasal 2), ketentuan tentang pendirian ormas (pasal 8), kewajiban melaporkan sumber dana (pasal 34 ayat 2), pasal larangan yang multi-tafsir (pasal 54), sanksi bagi ormas (pasal 54-63).

Kepentingan mendasar dan prinsipil dari RUU Ormas adalah menjaga kepentingan demokrasi dan penguasa. Demokrasi akan menjadikan ideologi lain sebagai musuh. Sebisa mungkin ideologi lain tidak hidup. Penguasa--berlepas dari agama yang dianut—ada sentimen terhadap sistem politik dari ideologi agama (baca:islam). RUU Ormas akan mudah ditunggangi kepentingan asing. Meskipun dalam RUU Ormas ada aturan untuk ormas asing, namun ada pertanyaan besar.

Mengapa ormas asing bekerja di Indonesia? Mengapa dia begitu bersusah payah di luar negeri? Apakah negera tempat mereka berasal tidak membutuhkannya? Terlebih lagi jika ormas asing membawa ideologi merusak (sekularisme, liberalisme, sosialisme, separatisme, dll). Maka yang terjadi berupa penghancuran negara. Hampir mustahil kegiatan ormas asing tersebut tidak melakukan kegiatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, mengganggu stabilitas dan keutuhan, melakukan kegiatan spionase, melakukan kegiatan tanpa izin operasional.

Kepentingan lainnya yaitu menutupi kegagalan pemerintah. Kegagalan dalam mengurusi kebutuhan rakyat. Negara tidak lagi menjadi institusi penolong dan pelindung. Negara ingin menjadikan rakyat/kelompok/organisasi yang tidak sejalan dengan pemerintah dibabat. Karena negara ingin menyitraka positif dihadapan rakyatnya. Lihatlah, semisal konflik antar warga. Pihak keamanan dan negara pun gagal mengatasi.

Untuk menghentikan kemaksiatan (misalnya prostitusi, minuman keras, korupsi, dll) negara juga gagal. Malahan terkadang karena inisiatif rakyat/kelompok/organisasi yang punya keinginan kuat menghilangkannya. Negara seolah lemah. Inilah buah dari penerapan Demokrasi yang menjadikan negara tidak bertaji. Apakah dengan cara membuat UU yang menjerat rakyat, lantas persoalan selesai? Tentu tidak. Toh, persoalan itu ada di negara yang gagal.

Oleh karena itu, butuh suatu perubahan mendasar bagi negeri ini. Negeri ini tidak lagi butuh aturan yang tidak jelas (demokrasi). Tidak butuh aturan yang menyengsarakan. Butuh solusi alternatif untuk keluar dari kemelut. Tidak hanya kemelut RUU Ormas. Lebih dari itu keluar dari kemelut beban berat hidup yang harus ditanggung rakyat. Inilah relevansi Islam untuk kembali tampil memberikan solusi hidup. Lantas, bagaimana Islam mengatur terkait Ormas atau kelompok dalam masyarakat? Serta bagaimana mekanismenya rakyat untuk melakukan koreksi kepada penguasa? Berikut penjelasannya.

Tawaran Solusi Islam

Keberadaan kelompok/organisasi dalam masyrakat adalah hal yang wajar. Masyrakat dibentuk oleh pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama. Mereka mempunyai suatu perjuangan untuk menjadikan negara lebih baik. Bahkan saking baiknya, ormas tadi sering menjalankan akifitas yang seharusnya dilakukan negara. Misalnya, ormas turut mendirikan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan memberikan bantuan.

Kelompok/organisasi masyarakat dalam Islam diperbolehkan. Adapun asas mendasar yaitu aqidah Islam. Hukum yang dipakai adalah al quran dan sunnah. Jika ada yang bertentangan dengan asas dan hukum. Maka negara akan melarang dan membubarkannya. Di sisi lain, kelompok/organisasi harus memperjuangan Islam. Melakukan amar makruf nahi munkar. Tidak boleh menyerukan nasionalisme, kesukuan, demokrasi, sosilaisme, liberalisme, sekularisme, dan ideologi atau sistem selain Islam. demikian juga kelompok/organisasi tidak boleh melakukan spionase dan makar kepada negara yang menerapkan syariah Islam.

Untuk urusan koreksi, negara tidak boleh anti. Justru koreksi dari rakyat ataupun ormas akan membantu negara. Ingat, sistem Islam berasal dari Allah Swt. Adapun pelaksananya (manusia) pasti menimbulakan potensi kesalahan. Jika tidak ada koreksi dari rakyat, yang terjadi kehancuran. Rakyatlah menjadi korban. Semisal UU yang diadopsi negara terbukti tidak pro-rakyat. Jika didiamkan saja, rakyat tambah sengsara.

Contoh terbaik dalam hal mengoreksi adalah Rasulullah Saw. Perilaku Rasulullah saw dalam mengoreksi pejabat yang diserahi tugas mengatur urusan rakyat (pemerintahan). Beliau saw tidak segan-segan mengumumkan perbuatan buruk yang dilakukan oleh pejabatnya di depan kaum Muslim, dengan tujuan agar pelakunya bertaubat dan agar pejabat-pejabat lain tidak melakukan perbuatan serupa. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Humaid As Sa’idiy bahwasanya ia berkata:

“Rasulullah saw mengangkat seorang laki-laki menjadi amil untuk menarik zakat dari Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah usai, ia bergegas menghadap Nabi saw; dan Nabi Mohammad saw menanyakan tugas-tugas yang telah didelegasikan kepadanya. Ibnu Lutbiyah menjawab, ”Bagian ini kuserahkan kepada anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah diberikan orang-orang (Bani Sulaim) kepadaku. Rasulullah saw berkata, ”Jika engkau memang jujur, mengapa tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu datang sendiri kepadamu”. Beliau saw pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah swt, beliau bersabda, ”’Amma ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian untuk menjadi amil dalam berbagai urusan yang diserahkan kepadaku. Lalu, ia datang dan berkata, ”Bagian ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah milikku yang telah dihadiahkan kepadaku”. Apakah tidak sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya, sampai hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-benar jujur? Demi Allah, salah seorang di antara kalian tidak akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan menghadap kepada Allah swt dengan membawanya. Ketahuilah, aku benar-benar tahu ada seseorang yang datang menghadap Allah swt dengan membawa onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik. Lalu, Nabi saw mengangkat kedua tangannya memohon kepada Allah swt, hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya”. [HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Ada perintah dari Nabi saw agar kaum Muslim memberi nasehat kepada para penguasa fajir dan dzalim secara mutlak. Imam Al Hakim dan Ath Thabaraniy menuturkan riwayat dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

“Pemimpin para syuhada di sisi Allah, kelak di hari Kiamat adalah Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, dan seorang laki-laki yang berdiri di depan penguasa dzalim atau fasiq, kemudian ia memerintah dan melarangnya, lalu penguasa itu membunuhnya”. [HR. Imam Al Hakim dan Thabaraniy]

Ada perintah dari Rasulullah saw untuk mengoreksi (muhasabah) penguasa hingga taraf memerangi penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata (kufran bawahan). Nabi saw memerintahkan para shahabat untuk mengoreksi penguasa dengan pedang, jika telah tampak kekufuran yang nyata. Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:

“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untu selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Imam Bukhari]

Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]

Realitas muhasabah yang dilakukan oleh para shahabat ra terhadap para penguasa. Apabila kita meneliti secara jernih dan mendalam realitas muhasabah hukam yang dilakukan oleh shahabat ra, dapatlah disimpulkan bahwa mereka melakukan muhasabah dengan berbagai macam cara, tidak dengan satu cara saja. Riwayat-riwayat berikut ini menjelaskan kepada kita bagaimana cara-cara muhasabah yang mereka lakukan.

• Di dalam Kitab Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8, hal. 217, disebutkan bahwasanya Imam Al Huda al-Husain bin ‘Ali ra, pemimpin pemuda ahlul jannah, memisahkan diri (khuruj) dari penguasa fajir Khalifah Yazid bin Mu’awiyyah. Imam Husain ra dibai’at oleh penduduk Kufah pada tahun 61 H. Beliau ra juga mengutus anak pamannya, Muslim bin ‘Aqil ra untuk mengambil bai’at penduduk Kufah untuk dirinya. Dan tidak kurang 18 ribu orang membai’at dirinya. Dan di dalam sejarah, tak seorang pun menyatakan bahwa Imam Husain ra dan penduduk Kufah pada saat itu termasuk firqah (kelompok) yang sesat )”.[Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8/217] Inilah cara yang dilakukan oleh Imam Husain bin ‘Ali ra untuk mengoreksi (muhasabah) kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyyah.

• Sebelum Imam Husain bin ‘Ali ra, kaum Muslim juga menyaksikan Ummul Mukminin ‘Aisyah ra yang memimpin kaum Muslim untuk khuruj dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Inilah cara Ummul Mukminin ‘Aisyah ra mengoreksi Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Hingga akhirnya, meletuslah peperangan yang sangat besar dan terkenal dalam sejarah umat Islam, Perang Jamal.

• Ketika Umar bin Khaththab ra berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami”.

• Pada saat Umar bin Khaththab ra mengenakan baju dari kain Yaman yang di dapat dari harta ghanimah. Beliau ra kemudian berkhuthbah di hadapan para shahabat dengan baju itu, dan berkata, “Wahai manusia dengarlah dan taatilah…” Salman Al Farisi ra, seorang shahabat mulia berdiri seraya berkata kepadanya, “Kami tidak akan mendengar dan mentaatimu”. Umar berkata, “Mengapa demikian?” Salman menjawab, “Dari mana kamu mendapat pakaian itu, sedangkan kamu hanya mendapat satu kain, sedangkan kamu bertubuh tinggi? Beliau menjawab, “Jangan gesa-gesa, lalu beliau memanggil, “Wahai ‘Abdullah”. Namun tidak seorang pun menjawab. Lalu beliau ra berkata lagi, “Wahai ‘Abdullah bin Umar..”. ‘Abdullah menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin”. Beliau berkata, “Bersumpahlah demi Allah, apakah kain yang aku pakai ini kainmu? Abdullah bin Umar menjawab, “Demi Allah, ya”. Salman berkata, “Sekarang perintahlah kami, maka kami akan mendengar dan taat”. ['Abdul 'Aziz Al Badriy, Al-Islam bain al-'Ulama' wa al-Hukkam Ihitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa.terj), hal. 70-71]

            Itulah gambaran syriah Islam. Sikap kritis rakyat disikapi dengan arif. Bukti penguasa membrikan pelayanan bagi rakyatnya. Tiak selayaknya penguasa berbuat dzalim bahkan menjadikan rayatnya musuh. Kehidupan yang agung itu akan didapatkan jika negara diatur oleh Syariah. Sistem itu terwujud dalam bingkai Khilafah. Khilafah Islamlah jawaban atas probelem mendasar umat Islam. Khilafah akan mengayomi, melindungi, siapa pun warganya. Jika tidak dengan Syariah dan Khilafah mau pakai sistem apa? Wallahu a’lam bisshwab.




latestnews

View Full Version