View Full Version
Sabtu, 04 Jan 2014

Pernyataan Sikap Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Mudiriyah Solo

Siaran Pers: Pernyataan Sikap Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Mudiriyah Solo

JAT Dan Elemen Muslim Solo Raya Tolak Pembantaian Di Ciputat Oleh Densus 88

Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri melakukan penggerebekan di rumah kontrakan milik Rahmat di Jalan KH Dewantoro Gang H Hasan RT 04/07 Kampung Sawah Ciputat Tangerang Selatan, Banten pada Selasa (31/12) malam hingga Rabu (1/1) dini hari. Enam pelaku terorisme yang tewas dikenal dengan nama Daeng alias Dayat alias Hidayat, Nurul Haq alias Dirman, Oji alias Tomo, Rizal alias Teguh, Hendi, dan Ujuh Edo alias Amril    

Nama-nama tersebut kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Pol Boy Rafli Amar, merupakan nama yang diperoleh dari Anton, pelaku terorisme yang sebelumnya ditangkap di Banyumas, Jawa Tengah, dan seorang lagi pelaku yang selamat dalam penggerebekan di Kampung Sawah, Kecamatan Ciputat, Kotamadya Tangerang Selatan, Provinsi Banten.

Sikap represif, militeristik, dan eksekusi mati oleh atas 6 orang tersebut oleh Desnsus 88 di Ciputat mengingatkan pula kasus di Batu Malang, Temanggung, Wonosobo, Jatiasih, Klaten, Mojosongo Solo, Tipes Solo, Barat PT Konimex Sukoharjo, Bandung, Kebumen, Batang, Kendal, Lamongan, Makasar dan Bima. Seolah pola Densus 88 sudah kehilangan kekhususnya sebagai unit khusus Polri yang mestinya prosedural dan lebih professional dari polisi di daerah. 

Berikut fakta dan kejanggalan di Ciputat Tangerang Selatan menunjukan hal yang kontradiktif dalam penegakan hukum oleh Polri khususnya Densus 88:

  1. Mengapa 6 orang tersebut harus ditembak mati? Apa perannya? Terlibat Kasus apa? Ini perlu pembuktian, ada saksi, ada bukti. Bukan pernyataan sepihak yang tidak ada hak untuk membela diri terhadap korban. Mestinya asas praduga tak bersalah dikedepankan hingga proses ke pengadilan. Di pengadilanpun belum tentu hakim menentukan terdakwa bersalah.
  2. Semangat Densus 88 untuk menembak mati mengapa hanya terjadi pada kasus terorisme? Dan tidak terjadi pada penegakan hukum pada kasus lain seperti Korupsi maupun illegal logging? Kapolri harus menjelaskan mengapa ini hanya terjadi pada korban yang kebanyakan beragama Islam yang taat beribadah? Jangan sampai terjadi isu terorisme hanya sebagai kedok yang dibungkus untuk memerangi, menyiksa dan membunuh kelompok muslim di Indonesia.
  3. Mengapa Mabes Polri perlu melacak dan menyebar foto korban dalam rangka mencari data pembanding untuk DNA? Dalam hukum acara pidana menyebutkan bahwa penetapan tersangka harus jelas identitas dan memiliki 2 alat bukti untuk menguatkan. Mengapa korban terlanjur dibunuh dinihari tanggal 1 Januari 2014 dan baru 2 Januari  2014 mencari identitas alamat beserta keluarganya? Bagaimana pula menetapkan tersangka kalau alamatnya belum jelas? Bisa jadi ini justru salah sasaran/target yang dilakukan Densus 88.
  4. Dalam penggerebegan apalagi Eksekusi mati di Ciputat yang di TKP hanya Densus 88, maka terkait barang buktipun di TKP hanya Densus 88 yang tau, apakah barang bukti  itu benar di TKP atau keberadaan barang bukti tiba-tiba ada hanya Densus saja yang tau. Artinya bahwa validitas barang bukti di TKP sangat subyektif, sepihak dan belum tentu benar.

Terkait dengan hal itu, maka kami yang tergabung dalam Jamaah Ansharut Tauhid Solo dan didukung oleh Elemen Muslim di Solo Raya menilai bahwa dengan alasan apapun pembantaian dan pembunuhan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian khususnya Densus 88 kepada korban yang statusnya baru terduga sebelum putusan pengadilan yang bersifat tetap adalah melanggar:

  1.  Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, seperti::
  2. Pasal 18 ayat (1), yang berbunyi : “Setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelanya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
  3. Pasal 33 ayat (2), yang berbunyi : “Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa”.
  4. Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan:
  5. Pasal 16 ayat (2), yang berbunyi : “Tersangka yang telah tertangkap tetap diperlakukan sebagai orang belum tentu bersalah sampai terbukti bersalah di pengadilan (asas praduga tak bersalah)”.
  6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik diantaranya:
  7. Pasal 6 ayat (1), yang berbunyi : “Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang”.

Untuk itu kami meminta :

  1. Kepada Presiden RI untuk mengingat kembali bahwa beberapa waktu lalu pemerintah Australia telah menyadap informasi terhadap beberapa pejabat negara. Hal ini tidak menutup kemungkinan ada pihak asing yang campur tangan yang ingin menunjukan dan membuktikan bahwa Indonesia adalah negara yang benar-benar lemah dan mudah diatur.
  2. Kepada DPR RI, Komnas HAM, Kompolnas agar melakukan tugas pokok dan fungsinya untuk melakukan evaluasi, pengawasan dan kontrolnya terhadap Polri
  3. Kepada Kapolri dan Densus 88 untuk tidak terlalu senang dan bangga atas pembantaian 6 warga di Ciputat, karena nantinya akan berimplikasi pada pertanggungjawaban, resiko dan konsekwensi yang tidak hanya akan ditanggung di dunia namun juga di akhirat kelak

                                                                                                         Surakarta, 3 Januari 2014

Amir mudhiriyah Solo                                                     Katib Mudhiriyah Solo

 

 Sholeh Ibrahim, S. Th. I                                                       Abu Hafshoh

 


latestnews

View Full Version