View Full Version
Selasa, 02 Sep 2014

Edy Mulyadi CEDES: Subsidi BBM, Harus Itu!

Oleh Edy Mulyadi*

Sebal dan memuakkan! Begitulah yang saya rasakanterhadap pemberitaan dan wacana APBN yang bakal jebol karena pos anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM). Sepertinya seluruh potensi bangsa ini dikerahkan untuk menjejali benak rakyat, bahwa subsisi BBM benar-benar  perkara haram yang harus dihindari.

Kalau ada sepotong saja aturan yang mengharamkan subsidi BBM, tentu pemerintah telah mengerahkan polisi, tentara, satuan polisi pamong praja, Hansip, bahkan pramuka untuk memastikan bahwa soal yang satu ini memang benar-benar tidak boleh dilakukan.

Bayangkan, setiap hari membaca koran/majalah/tabloid, menonton televisi atau mendengar radio, semua orang melantunkan koor yang sama. Bukan cuma para birokrat, bahkan kaum intelektual yang disebut ekonom pun berceloteh tentang hal yang sama. Media massa pun, terutama yang mainstream, tidak mau ketingglan. Nyaris setiap hari mereka memompa benak rakyat, bahwa subsidi BBM sangat membebani APBN. Karenanya harus dikurangi bahkan dihapuskan sama sekali. Alasannya juga sama, untuk menyelamatkan APBN!

Kemarin, 25 ekonom yang bergerombol di Posko Jokowi, sepakat minta pemerintah segera menaikkan harga BBM subsidi. Mereka antara lain A. Prasentyantoko, Fadhil Hasan, Iman Sugema, Tony Prasentiantono, David Sumual, dan Faisal Basri.Dipimpin guru besar Universitas Gajah Mada (UGM) Sri Adiningsih, orang-orang cerdik pandai ini bukan cuma menyuarakan lagu yang sama tentang subsidi BBM. Mereka bahkan mendesak pemerintah segera menaikkan harganya. Sungguh suatu persekongkolan yang nyaris sempurna.

Di RAPBN 2015 yang disodorkan SBY di ujung pemerintahannya, tercantum pos anggaran subsidi BBM yang sebesar Rp363,5 triliun. Angkanya memang benar-benar menyeramkan. Superjumbo!

Subsidi = Kutukan?

Di negeri ini, subsidi BBM benar-benar menjadi seperti kutukan. Semua bermula dari terus melorotnya angka lifting. Dulu, Indonesia pernah memproduksi minyak mentah hingga 1,6 juta barel per hari (bph). Bahkan kita pernah sangat dihormati di organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC). Menteri Soebroto yang berambut perak dan punya senyum menawan itu pun pernah menjadi Sekjen OPEC. Tapi kini, untuk beringsut naik dari 800.000an bph saja sulitnya amit-amit.

Tapi anehnya, kendati produksi terus melorot, biaya mengeluarkan minyak dari perut bumi Indonesia dari waktu ke waktu justru naik terus. Pada 2007 saja, cost recovery Migas sudah mencapai 30% atau senilai US$10,4 miliar dari total penerimaan kotor senilai US$35 miliar.

Dengan fakta lifting minyak yang terus turun dibarengi terus naiknya cost recovery, sama artinya menggelembungkan biaya produksi minyak di Indonesia menjadi US$14,8 per barel.

Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan negara lain yang hanya US$6 per barel.

Tapi, pertanyaannya, apa benar subsidi adalah barang najis yang harus dihindari? Apa benar satu-satunya solusi menyelamatkan APBN adalah dengan mengurangi subsidi, yang itu artinya menaikkah harga BBM di pasar lokal? Atau kalau mau lebih bawel lagi, apa sih sebenarnya subsidi? Benarkah ada subsidi di BBM kita?

Saya malas menjawab rangkaian pertanyaan itu, yang sepertinya mati-matian sengaja disembunyikan kemunculannya. Bayangkan, bagaimana pemerintah dan para ekonom yang bijak bestari tadi akan menjawabpertanyaan; sebetulnya subsidi itu apa? Benarkah ada subsisi di BBM? Kenapa subsidi BBM muncul? Berapa persisnya biaya pokok produksi BBM kita? Apakah produksi BBM kita sudah efisien? Benarkah BBM kita dihasilkan dengan murni prinsip-prinsip ekonomi? Tidakkah subsidi itu sejatinya untuk menutupi inefisiensi, KKN, dan kebocoran? Kenapa tidak ada upaya serius meningkatkan efisiensi produksi BBM? Bagaimanapula dengan mafia Migas yang sangat merugikan bangsa dan rakyat Indonesia? Dan seterusnya, dan seterusnya…

Untuk pertanyaan benarkah ada subsidi BBM, mantan Menteri Ekuin dan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie punya jawaban ciamik. Menurut Kwik, subsidi BBM yang digembar-gemborkan itu sejatinya tidak pernah ada. Yang ada hanyalah pembohongan sekaligus pembodohan publik.

Tentang efisiensi, KKN, salah urus, kebijakan ngawur BBM pemerintah, mantan Menko Perekonomian dan Menkeu Rizal Ramli juga punya penjelasan cantik. Kata Rizal Ramli, semuanya bermuara pada Istana Hitam. Itulah sebabnya eksistensi mafia Migas yang menggurita tidak pernah disentuh. Ada setoran dan persekongkolan jahat antara penguasa dan pengusaha culas yang amat merugikan bangsa dan rakyat Indonesia.

Toh teriakan nyaring dua tokoh yang integritasnya tidak diragukan lagi itu, seperti hilang di telan angin. Dari satu rezim ke rezim berikutnya, perilakunya tetap saja sama. Tidak kreatif dan mau gampang saja. Kalau ada masalah di APBN, solusinya ya naikkan harga BBM.

Tujuan membentuk NKRI

Karena itu saya cuma ingin mengingatkan semua pihak, khususnya para propagandis tadi, bahwa negara Indonesia didirikan dan dibentuk bukan agar ada segelintir manusia yang menjadi pejabat dan berkuasa. Bukan juga supaya mereka menggandeng segelintir lain yang disebut pengusaha untuk memperkaya diri dan kelompoknya sendiri.

Untuk apa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibentuk? Silakan baca kutipan pembukaan UUD 45, di alinea empat ini:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada …”

Pembukaan konstitusi kita dengan terang-benderang  menyebutkan, bahwa NKRI dibentuk antara lain untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.”Bagaimana mau memajukan ksejahteraan umum (baca; rakyat Indonesia) kalau tiap terbentur masalah fiskal, pemerintah selalu saja mengambil jalan gampang. Mengurangi subsidi!

Padahal, baik pemerintah maupun para pakar tadi paham betul, mengurangi subsidi berarti menaikkan harga BBM. Itu berarti bakal mengerek harga berbagai kebutuhan lainnya. Mereka bisa saja berdalih, bahwa kenaikan inflasi akibat menaikkan harga BBM cuma nol koma sekian persen, atau satu koma sedikit persen.

Buat rakyat, mereka tidak mengerti apa inflasi. Jangankan cuma nol koma sekian persen, andai BPS melaporkan inflasi menyundul 100% pun, rakyat tetap saja tidak paham. Yang mereka rasakan adalah, harga-harga kian membumbung bagai hendak merangkul awan. Yang mereka rasakan adalah pendapatan yang tidak kunjung bertambah angkanya, apalagi nilainya. Hidup kian berat. Stress berkepanjangan. Tidak sedikit yang menjadi gila, bahkan bunuh diri dengan sebelumnya membunuh balita mereka.

Kondisi inilah yang mungkin digambarkan dalam simulasi kenaikan harga BBM yang dibuat gank Jokowi-JK. Dengan konsumsi BBM 46 juta kilo liter, tiap kenaikan harga BBM Rp500/liter, akan melahirkan 800.000 orang miskin baru. Padahal, jika harga BBM dikerek Rp500/litersaja, maka anggaran yang berhasil dihemat hanya sekitar Rp23  triliun.

Sebagai pembanding, anggaran pengentasan kemiskinan yang tersebar di 17 kementerian dan lembaga sepanjang 2013kemarin sekitar Rp94 triliun. Dari anggaran supergede itu, jumlah orang miskin yang berhasil dientaskan hanya 600.000 orang!

Amboi, betapa njomplang-nya. Untuk menghemat Rp23triliun, negara harus memiskinkan 800.000 rakyatnya. Tapi dengan Rp94 triliun, jumlah yang dientaskan dari kemiskinan hanya, ulangi sekali lagi; HANYA 600.000 orang!

Untuk inikah para pendiri Republik membentuk Indonesia? Kalau para progandis tadi, lagi-lagi, berdalih mengurangi subsidi BBM untuk menyelamatkan APBN, saya mau bertanya;lalu siapa yang mau menyelamatkan kantong dan nyawa rakyat? Bukankah NKRIdibentuk dan didirikan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan segenap tumpah darah Indonesia? Apakah rakyat Indonesia tidak termasuk “segenap bangsa Indonesia dan segenap tumpah darah Indonesia” yang harus dilindungi?

Subsidi, harus!

Tidak bisa tidak, perkara subsidi bukanlah sekadar angka-angka di APBN. Subsidi adalah bentuk komitmen negara untuk melindungi rakyatnya. Subsidi adalah kewajiban negara untuk membantu meringankan beban rakyatnya.

Kepada rakyatnya sendiri, pemerintah tega mengurangi subsidi. Tapi kenapa untuk dirimereka sendiri justru berpesta pora? Juga kalau kepada orang asing, pemerintah begitu tunduk dan patuh.

Tidak percaya? Bukankah  subsidi BBM bukan satu-satunya pos belanja di APBN. Di sana juga ada pos sejumlah belanja yang sangat boros dan merugikan negara yang tidak pernah disentuh. Antara lain, belanja rutin birokrasi, termasuk gaji pegawaidan beragam fasilitas serta tunjangan ini-ituyang ekstratinggi. Juga ada, pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri.

Di RAPBN 2015 ini porsi pembayaran bunga utang mencapai Rp154 triliun atau hampir 8% dari total belanjaAPBN. Asal tahu saja, sepanjang tahun 2005-2011, porsi pembayaran utang mencapai Rp 1.323,8 triliun. Dalam enam tahun, rata-rata kita membayar utang luar negeri Rp220 triliun!

Sayang, tak satupun rezim, termasuk Jokowi-JK, yang menyinggung soal beban utang terhadap APBN itu. Padahal, dengan porsi pembayaran utang yang sangat besar tiap tahunnya, yang melebihi subsidi nonenergi, telah mencekik ruang fiskal di APBN untuk membiayai pembangunan dan kesejahteraan sosial.Kenapa ini tidak pernah dipersoalkan?

Jangan lupa, tidak semua  utang luar negeri itu adalah utang sah. Ada utang kolonialis yang harus kita tanggung Konferensi Meja Bundar (KMB) sebesar US$4 milyar. Juga ada utang yang diwariskan oleh Orde Baru. Padahal, seperti diakui begawan ekonomi Soemitro, 30 % utang luar negeri itu hanya beredar di kantong-kantong penguasa dan para kroninya. Begitu juga utang di era reformasi yang neolib tingkat keharamannya jauh lebih dahsyat lagi.

Satu lagi, harus diingat, utang luar negeri sangat terkait dengan strategi negeri-negeri kapitalis dan kaki tangannya untuk menjerat leher bangsa kita. Lewat utang-utang itu,IMF memaksakan Letter of Intent (LOI) untuk merombak perekonomian nasional kita agar sangat liberal dan sejalan dengan kepentingan mereka.

Tak pelak lagi, subsidi amat penting. Subsidi BBM bisa menopang daya beli rakyat, terutama rakyat miskin.Subsidi juga berguna untuk menggeliatkan kegiatan produksi berskala kecil alias ekonomi kerakyatan.

Hanya mereka yang mata hatinya tertimbun kepentingan pribadi dan penghambaan kepada para majikan asingnya saja yang tidak mampu menangkap fakta-fakta seperti ini! 

 

Jakarta, 2 september 2014-09-02

Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)


latestnews

View Full Version