View Full Version
Rabu, 01 Oct 2014

Hazpohan: Jakarta Post Sampah!

JAKARTA (voa-islam.com) - Satu persatu media yang berkongsi dengan Kompas Gramedia mulai dikritisi lantaran mengabaikan aspek cover both sides dan mengabaikan kode etik jurnalistik, tak hanya itu harian The Jakarta Post dan Kompas pun menuai kritik atas sikapnya yang membela habis-habisan koruptor BLBI dan menjadi kendaraan politik pencitraan Jokowi dan para pendukungnya.

Hazaria Pohan yang berprofesi sebagai senior adviser/lawyer, lecturer, reporter ini ikut memberikan kritik bersama Faizal Assegaf. Hazairin Pohan adalah seorang duta besar yang berasal dari Medan. Pria kelahiran Pematangsiangar 1953 ini telah dikaruniai empat orang anak. Menjabat sebagai duta besar Indonesia untuk Polandia sejak tahun 2006 hingga 2010 membuatnya memiliki pengalaman diplomasi yang mengagumkan. Salah satunya adalah menjadi ketua Delegasi RI dalam perundingan bilateral dan multilateral sebanyak 200 kali. Pria yang akrab dipanggil dengan Hazpohan ini juga menaruh perhatian yang begitu besar terhadap dunia blogging. Hazpohan pun ikut menjadi salah satu penggagas lahirnya Komunitas Blogger ASEAN chapter Indonesia.

Memiliki pengalaman sebagai wartawan membuat Pohan tidak segan untuk menuangkan pemikirannya ke dalam sebuah tulisan melalui twitter, facebook dan blog. Pemanfaatan social media tersebut bertujuan agar informasi yang didapatkan oleh masyarakat diterima dengan baik dan benar, terutama mengenai diplomasi dan politik luar negeri seringkali diputarbalikkan dan tidak ditampilkan secara proporsional.

Jika Haz Pohan mengkritisi The Jakarta Post yang disebutnya sebagai media sampah. Sedangkan Faizal Assegaf yang merupakan mantan kolumnis aktif di Kompasiana dan ketua Progres 98 ini menyatakan kegeramannya atas sikap berat sebelah media katolik ini.

Hazpohan mengutip rilis The Jakarta Post yang mengutip statement Puan Maharani putri Megawati Soekarnoputri, "Judul Headline menjadi "Next threat: Scrapping direct presidential polls" dasarnya diakui rumors, gawat nih media unkap Haz Pohan.

Menurutnya media kroni Katolik Kompas Gramedia dan CSIS, Jakarta Post telah beropini menggunakan hype marketing "Jakpos ini bukan lagi beropini tetapi menggunakan 'hype' marketing strategy to seize public attention: seberapa jauh nilai faktualnya?" 

Ia kembali menandaskan dalam kultwitnya "Kenapa sih media kita suka yang begini-begini? Bukannya membantu mencari jalan keluar dari upaya membangun sistem dan budaya demokrasi. Lagian, upaya mengganti sistem pemilihan presiden ini tampaknya hanya berdasar 'paranoia' ketakutan berlebihan dan tidak rasional.."

Haz Pohan mengamini adanya sikap berlebihan dan paranoid media pendukung pilkada langsung yang notabene membacking Jokowi ini "Memang, setelah keluarnya UU Pilkada, media partisan dilanda ketakutan mengarah paranoia. Media partisan ini pun melakukan insinuasi publik seakan-akan UU Pilkada itu 'nightmare' dan akan menghancurkan capaian demokrasi kita.."

Ia berpesan "Media partisan bukannya mendidik masyarakat dengan informasi yg balanced, benar dan faktual, tetapi lebih pada 'opini' pemilik industri. Saya tahu, banyak kawan-kawan media yang masih berpegan pada etika jurnalistik yang benar, tetapi tidak berdaya. Mereka tidak berdaya atas 'news policy' yang lebih banyak ditentukan pemilik industri daripada editor in chief."

"Saya bilang kemarin: exceedingly trespasses the limit set up by the working ethics in journalism.. Kenapa ini terjadi? Dalam 10 tahun terakhir ramai diberitakan "the death of news media", pertama karena kemajuan IT komputasi, sehingga banyak sumber alternatif. Kedua, menguatnya kesadaran publik bahwa monopoli pemberitaan tidak bisa diserahkan begitu saja kepada mainstream media." jelasnya lagi.

Kedua, menguatnya kesadaran publik bahwa monopoli pemberitaan tidak bisa diserahkan begitu saja kepada mainstream media

"Ini disebut sebagai 'official truth' yang pastilah tidak faktual; they print what they wish to read.. kemudian, muncul fenomena kedua "independent media' di negara berkembang dan Eropa Timur yang membuat menjamurnya media. Sulitnya, 'independent media' ini pada akhirnya terbukti tidak 'independen' banyak muatan kepentingan di sana: poleksosbudekon. Maka, muncullah 'the third wave' yang berfenomena civic journalisme, di mana masyarakat berinisiatif menyebarkan informasi 'bebas'... tetapi, third wave inipun ternyata tidak steril, muncul fenomena 'socmed' independen dan buzzers bayaran. Kekuatan industri pers menyadari ini, dan malah 'make use of it' untuk menopang media mainstream yg mulai kepayahan. Muncullah civic journalism di permukaan, tetapi 'profesional' alias tergantung bayaran; maka hilang pula 'kebenaran' itu.. " jelasnya panjang.

Kembali ke Tha Jakarta Post, ia menyentil "Jakpos ini media top berbahasa Inggris, dan menjadi referensi media mainstream internasional ketika menulis tentang Indonesia..Karena itu, 'hype' seperti headline pada hari ini jgn diteruskan lagi deh; ntar pembacanya lari... media ini luar biasa kental fenomena 'to opiniate' alias pembentukan opini, yg sayangnya opini salah, tdk mendidik masyarakat...Ini pernah saya tulis dulu: jika media tidak kembali kepada 'khittah'nya kode etik jurnalistik maka sama dengan menggali kuburan sendiri. Lihat saja, beberapa media top dunia telah gulung-tikar, alias bangkrut, alias tumpur, kata orang Medan.."

Ia menilai media mainstream dan daerah pun sebelah dua belas, "Fenomena pers daerah pun rusak parah! Sangat insinuatif, tergantung yang bayar pula, 'mood' masyarakat di daerah rusak karena pertentangan kepentingan yang frontal di antara kandidat, dan di antara unsur masyarakat! 'Kebenaran' pun sudah tak tahu ke mana rimbanya, yang bermain adalah 'wani piro..wani piro'... Di media TV misalnya, saya sudah 5 tahun tidak menonton TV, saya juga tidak mendengarkan pendapat 'pakar' di TV. Jadi TV saya switch off sejak 5 tahun lalu; saya merasa bebas, tidak dijejali berbagai tafsiran spekulatif. Spekulatif? ya, seperti Jakpos tadi"

'Kebenaran' pun sudah tak tahu ke mana rimbanya, yang bermain adalah 'wani piro..wani piro'... Di media TV misalnya, saya sudah 5 tahun tidak menonton TV, saya juga tidak mendengarkan pendapat 'pakar' di TV"

Ia melempar kicau "Apa poinnya membaca media cetak bila fenomena ini berlanjut? Bila terpaksa maka sayapun mulai berniat untuk menghentikan baca koran..Rubbish.. they publish rubbish; kedahagaan saya pada informasi beginian punah sudah. Mencari, mengumpulkan, menyarikan, memaknainya, ini perlu waktu yg cukup banyak dan intelektualitas pula. Time is running, and it becomes luxury thing for you.. Jadi kalau ada waktu baru saya search di internet.."

Ia menyangkan fenomena ini, "Dalam kondisi media 'menggali kuburan sendiri' ini yang saya khawatirkan adalah masyarakat awam.. Mereka dengan mudah termakan insinuasi. Rakyat marah!' hak demokrasi dirampas, negeri akan hancur". Rakyat yang mana? Kenapa hancur? Sudah tidak ada fakta, logika. Semua bercampur baur, sesuka media 'to publish something they want to read' bukan 'something that public want to know'.."

Dalam penyebaran berita-berita benar dan bermanfaat, dan tugas ini tidak ringan; apakah media boleh beropini? Boleh dong, tetapi di editorial. Sekarang ini sudah campur baur, terlalu banyak opini menyesatkan dimuat dalam berita: katanya...katanya... sumber tak jelas..

Ia terakhir berpesan sebelum mengakhiri cuit twitternya @Hazpohan "Maka, saya ingin sekali menghimbau kepada teman-teman media, mari kita bangun negeri ini dengan pemberitaan yang kritis dan sehat.. Buanglah angan-angan, keinginan sarat dengan tumpangan itu, kembalilah ke tujuan pers dengan idealisme dan profesionalisme yg tinggi.. END"

Faizal Assegaf: Kompas Pembela Kasus BLBI dan Jokowi Ahok, Ada Apa?

Jaringan media Komando Pembela Aseng (Kompas) dan katolik ini paling terdepan menghasut publik untuk membenci Prabowo Subianto dan jutaan pendukungnya. Apa saja menyangkut Prabowo dan Koalisi Merah Putih (KMP), diplintir dalam aneka berita yang penuh fitnah dan menyesatkan.

Melalui moto: "Khianat Hati Nurani Rakyat" Kompas melenggang bebas menipu pembacanya. Tapi belakangan kedok busuk itu mulai terbongkar. Publik tersadar bahwa Kompas bukan sekedar kantor berita, tapi agen politik pembela kepentingan asing - aseng untuk membodohi rakyat dan menguasai sumber kekayaan alam di negeri ini.

Fakta menegaskan, Kompas sang media katolik ini tidak pernah mempersoalkan kejahatan perampokan ratusan triliun uang negara dalam skandal BLBI. Maklum, para pelakunya adalah konglomerat Tionghoa. Tapi kalau koruptor kelas teri yang melibatkan oknum pribumi, dengan rupa opini, Kompas gencar mendesak KPK untuk bertindak cepat.

Kepentingan Kompas membela penjahat BLBI yang merampok ratusan triliun uang rakyat, disenyalir tidak gratis. Tapi demi memperkuat kejahatan di antara mereka. Sungguh ironi, sebuah media yang konon katanya berbasis intelektual, ternyata menjadikan jurnalisnya sebagai budak yang setia membela kepentingan sang majikan aseng.

Pernahkah anda menemukan berita Kompas secara konsisten mendesak KPK untuk memanggil dan memeriksa keterlibatan Megawati Soekarnoputri dalam kasus BLBI...? Justru sebaliknya, Kompas berupaya menghindar bahkan "melindungi" si "Ratu Kebal Hukum" tersebut.

Tak hanya itu, Kompas juga memainkan peran penting melalui serangkaian opini untuk melindungi Jokowi dan Ahok dari maha skandal Trans Jakarta. Dan celakanya, ratusan jurnalis Kompas seolah kompak dalam misi terselubung, dengan apa yang mereka sebut sebagai: "Skenario yang tidak lepas dari agenda melindungi kejahatan BLBI". Tegasnya, kasus BLBI dan segala skandal Jokowi - Ahok harus diamankan urai Faizal.

Juga soal Presiden SBY yang dituding inkonsisten lantaran mengarahkan Fraksi Demokrat walkout dari sidang paripurna DPR RI, sehingga memberi jalan kemenangan bagi Koalisi Merah Putih (KMP).

"Kompas (Komando Pembela Aseng), media katolik itu paling terdepan menunjukan sikap kebencian terhadap SBY. Media milik Jakob Oetama itu secara membabi buta menyalurkan serangkaian kecaman dari berbagai pihak untuk menyerang SBY dan Demokrat." ujar Faizal Assegaf.

Ia kembali menuturkan "Bahkan, sejumlah wartawan senior Kompas melalui jejaring media sosial memprovokasi pembaca dengan rupa hujatan."

Faizal mengungkap fakta salah satu di antara mereka secara terang-terangan menegaskan "Ke depan sudah bisa ditebak, Century akan digeber kembali dan Ibas bakal menjadi tersangka baru KPK untuk kasus lama Hambalang." tulis si wartawan senior Kompas yang dikenal sangat dekat dengan Jusuf Kalla.

Kompas, media katolik itu begitu kompak dan membabi-buta melakukan pembelaan terhadap kubu Jokowi - JK. Kompas seolah ingin melancarkan perang terbuka dengan SBY melalui peringatan serius: Bila SBY tumbang, KPK harus dipakai untuk menyeret Ibas ke penjara.

Sebenarnya sikap Demokrat walkout adalah hal yang wajar dalam demokrasi. Lebih-lebih manuver Demokrat, justru menuai dukungan yang positif dari mayoritas rakyat. Kalaupun ada pro-kontra, hal itu merupakan dinamika politik. Tapi mengapa Kompas sangat gusar, mengancam SBY untuk menyeret Ibas ke penjara.?

"Politik balas dendam ala Kompas media katolik jangan dianggap sepele, sebab sebelumnya telah beredar isu kalau SBY turun dari kekuasaan, maka kubu Jokowi akan mendorong KPK menyerat SBY & keluarganya ke penjara. Sebuah rencana yang dilatari dendam politik. Pantas saja, Kompas selalu bersikap bungkam terhadap kasus Jokowi - Megawati !" tutup Faizal. [adivammar/bs/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version