View Full Version
Selasa, 25 Aug 2015

Menyoal Kontroversi BPJS

Oleh: Ummu Fathur

Sahabat VOA-Islam...

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan penyelenggaraan BPJS Kesehatan saat ini tidak sesuai dengan syariah karena mengandung unsur gharar, maisir dan riba. Sebagaimana banyak diberitakan bahwa Komisi B 2 Masail Fiqhiyah Mu'ashirah (Masalah Fikih Kontemporer) Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V 2015 mengeluarkan fatwa pelaksanaan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bertentangan dengan prinsip syariah Islam. BPJS Kesehatan dianggap bermuatan unsur gharar (penipuan), maisir (perjudian), dan riba (tambahan nilai/bunga bank). (VIVA.co.id/Jum'at, 31 Juli 2015).

Apakah masalahnya hanya itu? Atau adakah masalah yang lebih mendasar lagi?

Haramnya BPJS menurut fatwa MUI dikarenakan BPJS sekarang faktanya adalah asuransi. Dan asuransi diharamkan sebagian ulama dengan alasan-alasan karena adanya unsur gharar (ketidakpastian, uncertainty), riba (bunga), dan maisir (judi/spekulasi). Memang benar adanya bahwa pada BPJS saat ini, ternyata menginvestasikan dana iuran peserta BPJS dalam deposito dan obligasi konvensional yang berbunga (riba). Padahal riba jelas-jelas diharamkan dalam Islam. Selain itu, surplus dan defisit underwriting dalam BPJS ternyata dikelola dengan basis gharar dan pinjaman berbunga (riba). Ini juga haram.

Selain itu untuk fakta BPJS, ketidaksesuaian dengan syariahnya terletak pada aspek mengerjakan yang haram, yaitu melakukan akad yang tidak disyariahkan dalam Islam. Karena akad asuransi (at ta`miin) itu akad yang berasal dari sistem kapitalisme Barat, bukan berasal dari Syariah Islam. Maka melakukan akad asuransi hukumnya haram, karena ada larangan dari Rasulullah SAW yang bersifat umum, yang melarang perbuatan apa pun yang tidak disyariahkan Islam,”Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak ada dalam perintah kami, maka perbuatan itu tertolak.” (HR Muslim).

BPJS adalah amanah UU JKN yang membuktikan lepasnya tanggungjawab pemerintah dari menanggung layanan kesehatan publik. Karena dalam BPJS, untuk mendapat jaminan kesehatan rakyat dipaksa membayar iuran

Namun tidak cukup hanya dengan mengharamkan BPJS karena ketidaksesuaiannya dengan Islam, tanpa menyentuh sisi tanggungjawab pemerintah untuk menanggung pelayanan masyarakat. Karena BPJS adalah amanah UU JKN yang membuktikan lepasnya tanggungjawab pemerintah dari menanggung layanan kesehatan publik. Karena dalam BPJS, untuk mendapat jaminan kesehatan rakyat dipaksa membayar iuran.

Sistem jaminan sosial ini, baik dalam bentuk ketenagakerjaan, kesehatan maupun yang lain, lahir dari sistem Kapitalisme. Dalam sistem Kapitalisme, negara tidak mempunyai peran dan tanggungjawab untuk mengurus urusan pribadi rakyat, karena urusan pribadi rakyat adalah urusan mereka sendiri, bukan negara. Negara tidak mempunyai kewajiban untuk menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain.

Karena itu, kewajiban menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain ini harus ditanggung sendiri oleh rakyat. Bisa ditanggung sendiri oleh rakyat, atau dengan bergotong royong sesama mereka.

Dengan kata lain, negara telah memindahkan tanggungjawab ini ke pundak rakyat. Ketika ini sudah ditetapkan sebagai kewajiban dipundak rakyat, maka ketika rakyat tidak membayar, mereka pun akan dikenai sanksi dan denda. Di sinilah, kezaliman sistem BPJS-SJSN ini. Bukan saja zalim, tetapi juga batil. Mengapa? Karena mu’amalah seperti ini tidak lahir dan berdasarkan akidah Islam, sehingga tidak bisa diperbaiki lagi. Mengapa tidak bisa diperbaiki lagi? Karena, kesalahannya bukan hanya pada daun/buahnya, tetapi sejak dari akarnya.

Padahal dalam Islam, negara wajib hukumnya menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, tanpa membebani rakyat untuk membayar. Dalam Shahih Muslim terdapat hadits dari Jabir bin Abdillah RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Ka’ab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Ka’ab lalu melakukan kay (pengecosan dengan besi panas) pada urat itu.” (HR Muslim no 2207).

Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW sebagai kepala negara telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu.

...dalam Islam jaminan kesehatan itu wajib hukumnya diberikan oleh negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani apalagi memaksa rakyat untuk membayar, seperti dalam BPJS

Terdapat pula hadits lain dengan maksud yang sama, dalam Al Mustadrak ‘Ala As Shahihain karya Imam Al Hakim, “Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, dia berkata,”Aku pernah sakit pada masa Umar bin Khaththab dengan sakit yang parah. Lalu Umar memanggil seorang dokter untukku, kemudian dokter itu menyuruhku diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu.” (HR Al Hakim, dalam Al Mustadrak, Juz 4 no 7464).

Hadits ini juga menunjukkan, bahwa Umar selaku Khalifah (kepala negara Khilafah Islam) telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya.

Kedua hadits di atas merupakan dalil syariah yang sahih, bahwa dalam Islam jaminan kesehatan itu wajib hukumnya diberikan oleh negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani apalagi memaksa rakyat untuk membayar, seperti dalam BPJS. Layanan kesehatan dalam Islam adalah hak rakyat, bukan kewajiban rakyat.


latestnews

View Full Version