View Full Version
Selasa, 13 Oct 2015

Negeri Tanpa Asap, Mungkinkah? (Bagian-1)

Sahabat VOA-Islam...

Sejatinya, ternyata kebakaran hutan dan lahan telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Empat puluh delapan tahun silam, 2 November 1967, KOMPAS memberitakan, ”Palembang Diselimuti Kabut Tebal”. Dan tidak hanya Palembang, sejumlah provinsi lain pun juga mengalami peristiwa yang sama sepanjang tahun 1960-1990. Yaitu Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan timur, Balikpapan, Banjarmasin, Banjar, Jawa Barat (Majalengka, Purwakarta, Sumedang, Kuningan), dan Grobogan (Jawa tengah).

Sepanjang tahun 1990-2000 hal yang sama pun terulang. Terjadi kebakaran hutan dan lahan di sejumlah wilayah. Yaitu di Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Kalimantan Timur, Palangkaraya, Pontianak, Jawa Tengah (lereng Gunung Sumbing, Lawu, Merbabu, Welirang), dan Jawa Barat (lereng Gunung Ciremai dan Cigurai).

Sepanjang tahun 2000 hingga sekarang, masalah kebakaran hutan dan lahan juga belum terselesaikan. Pasalnya, peristiwa kebakaran hutan dan lahan masih terjadi di Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Riau, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan selatan. Dan otomatis, dampak kerugian yang ditimbulkan luar biasa besar. Mulai dari kerusakan lingkungan; pencemaran udara; kabut asap yang pekat, hingga menyebabkan nafas sesak (puluhan ribu orang terkena ISPA); terhambatnya kegiatan perekonomian, pendidikan, transportasi; terancamnya kehidupan hewan dan manusia, sampai menyebabkan hilangnya nyawa seseorang; termasuk juga ratusan milyar dana yang harus dikeluarkan pemerintah untuk memadamkan kebakaran dan biaya pemulihan lingkungan. Di Sumatera, kabut asap menyelimuti 80% wilayahnya.

Kata Guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Herry Purnomo, pembakaran hutan merupakan cara yang paling murah untuk mengubah lahan hutan menjadi kebun kelapa sawit, sekaligus mendongkrak harga lahan

Lebih dari 90 persen kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia disebabkan karena manusia, atau sengaja dibakar untuk membuka lahan. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyatakan, biaya pembukaan lahan dengan cara dibakar hanya membutuhkan Rp 600-800 ribu per hectare, sedangkan tanpa membakar butuh Rp 3,4 juta per hectare. Sesungguhnya semua modal yang dikeluarkan para pemilik lahan untuk membakar lahan itu tidak sebanding dengan kerugian yang disebabkan karenanya. Kerugian yang disebabkan karena kebakaran hutan pada Februari-April 2014 di Riau saja mencapai Rp 20 triliun.

Kata Guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Herry Purnomo, pembakaran hutan merupakan cara yang paling murah untuk mengubah lahan hutan menjadi kebun kelapa sawit, sekaligus mendongkrak harga lahan.

Riset CIFOR (Center for International Forestry Research) mencatat bahwa terjadi kenaikan harga lahan sekitar Rp 3 juta setelah pembakaran lahan. Sebelum terbakar, harga lahan berkisar Rp 8 juta, dan setelah terbakar menjadi Rp 11 juta per hektar.

Setelah ditanami sawit, harganya berlipat lagi, sekitar Rp 50 juta, dan bisa mencapai Rp 100 juta per hektar apabila ditanami sawit bibit unggul. Karenanya, kata Herry, di luar masyarakat yang menderita kerugian akibat kabut asap, sekelompok orang justru menikmati hasil dari kebakaran hutan. Mereka adalah orang pengejar keuntungan ekonomi dari pembakaran seperti kelompok tani, pengklaim lahan, perantara penjual lahan, dan investor sawit.

“Pihak yang paling mengetahui informasi pembakaran hutan adalah pemerintah kabupaten, kecamatan, desa, dan LSM lokal. Pemerintah desalah yang mengeluarkan surat keterangan tanah untuk kebun sawit baru,” kata Herry. Saat ini kelapa sawit menjadi "emas hijau" yang banyak diincar investor, dari mulai perusahaan raksasa hingga investor perorangan karena merupakan investasi paling menguntungkan. Karenanya, pembakaran hutan, menurut riset CIFOR, merupakan cara menghasilkan uang dengan mudah. (Bersambung)

[syahid/voa-islam.com] 


latestnews

View Full Version