View Full Version
Selasa, 08 Dec 2015

Pantaskah Pancasila Menyandang Sebutan Ideologi? (Bagian-1)

Oleh: Abu Hamzah ar Rizal

Artikel ini saya buat setelah melalui proses perenungan bertahun-tahun. Semenjak SD (saya tidak pernah masuk TK, jadi dimulai dari SD) saya di ajarkan tentang Pancasila sebagai suatu Ideologi yang benar dan cocok untuk bangsa Indonesia.

Ayah sayapun mengajarkan keunggulan Pancasila sebagai suatu ideology (padahal ayah saya adalah salah satu ketua ormas Islam, GASBIINDO – GABUNGAN SERIKAT BURUH ISLAM INDONESIA di Jawa Barat, yang kini mungkin sudah bubar), sehingga saya yakin dan bahkan bangga dengan Pancasila. Tetapi mulai akhir tahun 80-an saya mulai bingung dengan Pancasila. Yang paling saya tidak mengerti adalah sila pertama, yaitu ke Tuhanan Yang Maha Esa.

Saya tidak mengerti kenapa makna dari sila pertama tersebut berbeda dengan pemahaman yang saya dapatkan dari ajaran agama saya, yaitu Islam. Akhirnya setelah melalui perenungan yang cukup panjang barulah pada tahun 2008 ini, “kegelisahan” tersebut saya tuangkan dalam bentuk artikel seperti di bawah ini. Untuk itu saya mohon maaf kalau ada kesalahan, dan saya minta koreksi atau saran dari siapa saja atas artikel ini.

Ideologi berasal dari bahasa Yunani. Idea yaitu segala hasil pemikiran manusia, sedangkan logi berasal dari kata logos yang artinya ilmu. Dengan berbekal dari kata itu ada sebagian orang yang membantah bahwa agama itu bukan ideologi, sebab ia buatan Tuhan bukan buatan manusia. Secara espitomologi mungkin hal itu kelihatannya benar, tapi secara substantif pendapat di atas perlu dikoreksi. Segala sesuatu yang sudah menjadi keyakinan dan pandangan hidup bisa dikatakan sebagai ideologi. Dengan demikian agamapun bisa menjadi ideologi.

Ideologi adalah suatu konsep yang holistik (lengkap) yang mencoba menjawab  berbagai pertanyaan dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya dan sebagainya. Bagi para penganutnya, ideologi menjadi pandangan hidup karena diyakini dapat memecahkan berbagai masalah kehidupan yang dihadapinya.

Definisi lain dari ideologi adalah sesuatu yang diinternalisasikan ke dalam fikiran manusia, sehingga menjadi sesuatu keyakinan dan kecintaan yang sangat kuat terhadap sesuatu tsb.

Agar suatu ideologi dapat dimanifestasikan ke dalam kehidupan sehari-hari maka ia harus memiliki suatu perangkat operasional yang menjadi panduan dalam implementasinya. Dalam dunia nyata, perangkat tersebut berupa sekumpulan peraturan yang menjadi alat untuk melaksanakan kegiatan bermasyarakat baik dalam bidang politik, hukum, ekonomi, sosial dan sebagainya. Selain itu ideologi harus memiliki sistim nilai yang menjiwai dan terinternalisasi kedalam perangkat-perangkat tersebut.

Dengan kata lain berbagai perangkat yang mengatur seluruh  aspek kehidupan manusia harus merepresentasikan nilai-nilai dari ideologi yang dijadikan pandangan hidup oleh para  penganutnya. Disamping kedua hal diatas diperlukan suatu metodologi dalam penyebaran dan penjabaran ideologi tersebut.

Paling sedikit ada empat sistim nilai yang harus dimiliki oleh “sesuatu” yang memungkinkan “sesuatu” tersebut berhak disebut ideologi. Pertama, Sistim nilai filosofis (sistim nilai Religiusbagi  ideologi agama), atau yang lebih umum disebut Sistim Nilai Spiritual. Sistim nilai filosofis merupakan dimensi spiritual dari ideologi. Berbeda dengan ideology sekuler, dalam ideologi agama nilai spiritual tersebut bersifat on the beyond, dengan kata lain diproyeksikan sampai kepada kehidupan sesudah kematian,

Kedua, Sistim Nilai Operatif  yang memberikan warna dan nafas ideologis. Sistim nilai ini memberikan kekuatan yang bersifat mekanistis  ke dalam perangkat-perangkat operasionalnya. Nilai-nilai filosofis dan operatif tersebut tersebut harus terinternalisasi ke dalam berbagai peraturan dalam masyarakat, baik dalam bidang politik, ekonomi, hukum dan sebagainya.

Ketiga, Sistim Nilai Normatif. Suatu ideologi harus memiliki pula nilai-nilai yang bersifat baku dan mudah dimengerti oleh masyarakat. Kewajiban negara untuk menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya adalah suatu nilai yang bersifat baku. Kewajiban rakyat membayar pajak merupakan perwujudan dari nilai-nilai baku.

Keempat, Sistim Nilai Etis. Ini berkaitan dengan nilai-nilai kesantunan yang ada dalam masyarakat tersebut. Misalkan tata cara dalam mengemukakan pendapat dantau kritikan.

Apakah Pancasila Memenuhi Syarat Untuk Disebut Ideologi?

Semenjak TK (maaf untuk saya pribadi harusnya “semenjak SD”) kita diyakinkan oleh guru-guru kita  bahwa Pancasila adalah ideologi negara, dasar negara,  pandangan hidup  berbangsa dan bernegara serta sumber hukum dari segala hukum. Mari kita telaah apakah itu benar. Untuk membuktikannya mari kita kembali kepada uraian di atas bahwa bahwa suatu ideologi untuk dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari (bahkan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara) harus memiliki perangkat operasional dan sekumpulan sistim nilai.

Pertanyaan Pertama apakah Pancasila memiliki Tujuan? Jawabnnya adalah YA. Untuk mudahnya silahkan anda semua membaca dalam Pembukaan UUD 45.

Pertanyaan kedua, apakah Pancasila punya perangkat atau instrument untuk mencapai tujuan tersebut? Nah disini mulai terjadi kebingungan. Kita mulai dari sistim hukum. KUHP yang kita gunakan dalam sistim hukum pidana adalah buatan Kolonial Belanda tahun 1917, yang di Belanda saja sudah tidak digunakan lagi. Sistim Ekonomi kita adalah Sistim Kapitalis-Neoliberalisme, Sistim politik kita dengan jargon Non-blok adalah sistim banci, faktanya kita sering tidak mampu menunjukkan jati diri kita baik dalam menjalankan politik dalam negeri maupun politik luar negeri. Kita sering terpaksa “tunduk”terhadap tekanan-tekanan asing. Kita tidak berdaya ketika kekayaan alam kita dijarah baik secara resmi (melalui sistim Penanaman Modal Asing) maupun secara illegal.

Sistim budaya kita penuh dengan kontradikitif.  Sebagian masyarakat kita menjalankan nilai-nilai  budaya paganisme yang dikatakan bersumber dari leluhur dan tradisi asli budaya bangsa kita. Sebagian lagi menjalankan nilai-nilai budaya yang berasal dari nilai-nilai Islam yang puritan. Ada juga yang mencoba mengambil jalan tengah dan ini sinkretisme. Ketiga sistim budaya tersebut saling bertentangan satu sama lain dan tidak mungkin untuk diakomodir secara bersamaan. Dengan demikian konflik-konflik horizontal sering tidak bisa dihindarkan.

Pertanyaan Ketiga Apakah Pancasila memiliki sistim nilai yang lengkap. Dalam konteks ini kita mulai dengan pertanyaan: “Apakah Pancasila memiliki sistim nilai filosofis?” Dikarenakan Pancasila bukanlah ideologi yang bersifat agamis, tapi bersifat sekuler maka saya akan berbicara dulu tentang filsafat. Filsafat memfokuskankan pembicaraannya hanya “kepada dan tentang manusia”. Filsafat berbicara tentang bagaimana manusia memandang dirinya sendiri, memandang hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, memandang hubungannya dengan alam sekitarnya serta berbicara tentang bagaimana manusia memandang tuhannya.

Aku berfikir maka aku ada  adalah salah satu contoh bagaimana manusia menilai dirinya sendiri. Homo homini lupus merupakan salahsatucara pandang manusia terhadap manusia lainnya. Itu kerbau karena saya berfikir bahwa itu adalah kerbau  ini adalah suatu pandangan filosofis dungu terhadap alam sekitarnya (ini bisa melangkah menjadi Tuhan itu ada karena saya berfikir bahwa Tuhan itu ada).

Saya katakan dungu, karena kerbau adalah kerbau. Anda coba berfikir bahwa kerbau itu adalah pesawat terbang tetap saja kerbau itu adalah kerbau. Sifat dan fungsi pesawat terbang tidak akan pernah dimiliki oleh kerbau. Terakhir adalah contoh bagaimana manusia memandang tuhannya yakni Tuhan sudah matiseperti yang dikemukakan oleh Kant. Suatu pandangan filosofis yang sangat ekstrim dalam memandang hubungan antara manusia dengan tuhannya..

Mari kita kembali ke Pancasila. Kita ambil contoh sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini dimaknai bahwa setiap warga negara Indonesia wajib untuk saling menghargai sesama umat beragama. Makna sila ini sama sekali tidak memiliki nilai-nilai filsofis. Ia lebih bersifat normatif. Dikatakan normative karena pe-“maknaan” seperti itu mudah difahami setiap orang tanpa perlu proses penafsiran apapun juga. Bersambung. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version