View Full Version
Sabtu, 22 Oct 2016

Suara Lain dalam Tubuh Umat, Kenapa Selalu NU?

Oleh: Yusuf Maulana

Tanya ini sering saya dengar dan baca ketika ada suara berbeda dalam menyikapi isu keumatan. Saat umat bersatu, sekonyong-konyong ada suara lain. Ya itu sering kalinya berasal dari eksponen NU, entah atas nama resmi lembaga ataukah sebatas personal pengurus. Kesan "asal beda" pun tak bisa dielakkan meski tak selalu begitu niat jamiah tersebut. Boleh jadi NU sudah membuat kajian mendalam atas sebuah isu betapapun hasilnya malah bertolak dengan pandangan kalangan lain.

Memilih jadi pendukung gerbong Nasakom Bung Karno, riuh antusias per 25 Desember hingga belakangan membela petahana DKI Jakarta, merupakan contoh artikulasi keislaman jamiah ini saat bersikap. Kadang atas nama lembaga, atau ormas turunan, tapi kadang juga personal pengurus. Yang terang, membayangkan kesatuan para alim NU ada dalam menyikapi satu isu itu sebuah kemustahilan. Akan lain ketika tema itu soal Wahabisme, mereka bisa bulat. Meski kadang suara jamiah sama dengan eksponen umat, selalu ada suara berbeda dari NU. Merayakan perbedaan tampaknya sudah jadi tradisi yang niscaya digandrungi. Maka, membayangkan semua kian dan intelektual NU sehati menolak petahana Jakarta berujung sia-sia.

Kenapa selalu NU? Tanya ini memang ekspresi kesal saudara di luar NU. Mereka bingung dengan proses pengambilan putusan di jamiah ini yang terkesan posmo, semua mungkin terjadi dan nyaris tak terpikirkan. Metode pengambilan putusan ala NU bisa saja dianggap kolot dan kaku, nyatanya mereka masih percaya diri dengan proses yang sudah bertahun-tahun dilakukan. Bahkan ada kecenderungan di kalangan NU bahwa proses tersebut lebih otentik, beradab, bervisi ke depan, dan penuh khazanah. Tentu saja klaim ini tidak masuk di alam berpikir kalangan di luar NU.

...Kenapa selalu NU? Tanya ini memang ekspresi kesal saudara di luar NU. Mereka bingung dengan proses pengambilan putusan di jamiah ini yang terkesan posmo, semua mungkin terjadi dan nyaris tak terpikirkan...

Sayangnya, kepercayaan diri untuk "berbeda" yang seolah hasil keilmuan nan sakral itu luput untuk mengoneksikan dengan hati kalangan lain. Pokoknya begini ya terserah mereka menilai. Kurang lebih begitu kesannya. Kepercayaan diri ini kompleks latar dan sebabnya. Besaran anggota dan pengaruh mengakibatkan jamiah ini tak bergantung dengan sudah paham atau belum kalangan lain. Kalangan lain yang mestinya meningkatkan kapasitas.

Kenapa selalu NU? Tanya ini sesungguhnya bisa dimaknai sebuah cinta. Tapi bagi NU, ini tak esensi. Sebab mereka (merasa) sudah bergerak dengan ilmu. Kalangan lainlah yang mestinya koreksi diri. Padahal, asa kalangan lain sederhana saja: ayo bareng satu suara. Namun, sekali lagi, mendambakan satu suara dari NU sama saja mengharapkan kemustahilan berakhir.

Karena itu, umat Islam di luar NU seyogyanya "dewasakan" diri dalam bersikap. Menambah kapasitas ilmu dan berpikir dengan cara silaturahim ke kantong NU. NU itu berwatak egaliter ke bawah tapi feodal di atas. Maka, kalangan lain harus mafhum. Datangi dan minta penjelasan langsung ke elit. Kalau personal seperti profesor ataupun doktor pengurus NU di mancanegara, kedepankan akhlak dan tabayun. Jangan asal serang. Mereka memang gemar "berbeda" tapi sejatinya rindu praktik adab sederhana.

Di sisi lain, kalangan lain juga tak perlu harapkan ada suara sehati dari NU. Sebab saudara tua ini sudah kadung percaya diri dengan putusan sikap apa pun. Toh niat membela agama tidak akan kurang maknanya hanya karena tidak ada persetujuan NU dalam isu tertentu.  (riafariana/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version