View Full Version
Senin, 16 Jan 2017

Subsdi Dikurangi, Harga Gas Elpiji Meninggi, Rakyat Dikhianati

Oleh : Lukman Noerochim, Ph.D 

Dosen Teknik Material ITS Surabaya

Rencana pemerintah untuk mengurangi subsidi elpiji 3 kg per Maret 2017 telah mempengaruhi harga gas tabung hijau tersebut akhir akhir ini. Walaupun demikian pemerintah menyatakan bahwa meski subsidi dikurangi harga elpiji 3 kg di Indonesia masih lebih murah jika dibandingkan dengan harga gas di negara negara Asean lainnya. Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro menjelaskan, harga Elpiji Indonesia masih murah, terlebih yang bersubsidi. Pemerintah telah menjalankan kebijakan subsidi dengan rincian separuh dari harga keekonomian.

"Bahwa Elpiji rumah tangga di Indonesia termasuk paling rendah di negara ASEAN dibandingkan dengan negara tetangga, Rp 4.250 per kg, ada tambahan Rp 4.200 per kg yang dikeluarkan pemerintah untuk subsidi," ‎terang Wianda, di Jakarta, ‎Senin (22/2/2016). Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya ‎Mineral (ESDM) I Gusti Nyoman Wiratmaja. Menurut Wirat, harga Elpiji non subsidi dan subsidi di Indonesia sudah termasuk yang paling murah. Dilihat dari komponen penentuan harga elpiji ada sekitar 12 komponen lebih. Terutama komponen harga dasar dari pihak swasta sebagai penyedia elpiji. Komponen-komponen harga tersebut mulai dari harga dasar elpiji dari CP Aramco, alpha pengadaan, biaya shipping cost, margin Pertamina, COGS, harga dasar eks pertamina, PPN 10%, harga jual ke agen, transport fee SPPBE, filling fee SPPBE, margin agen, dan lainnya. Terutama bagi pihak Pertamina dan swasta yang pasti akan selalu mengharapkan keuntungan dari bisnis elpiji ini.

Pengurangan subsidi terutama untuk BBM dan elpiji tahun ini termasuk cukup besar hampir Rp 10 triliun jika di bandingkan tahun lalu hingga sekarang tersisa Rp 32,3 triliun. Kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi selama ini  selalu beralasan bahwa subsidi tidak tepat sasaran. Bahkan akhir-akhir ini diopinikan subsidi menjadikan rakyat tidak produktif. Sehingga salah satu upaya yang ditempuh pemerintah yaitu pengketatan dalam hal distribusinya yang dikhususkan hanya bagi rakyat miskin. Berdasarkan 14 Kriteria rakyat miskin oleh BPS per 2014 salah satunya adalah jika pendapatan perbulan kurang dari Rp. 600.000,-. Maka berdasarkan kriteria ini jumlah orang miskin yang berhak mendapatkan subsidi menurut data BPS per September 2016 adalah sebesar 27,76 juta atau 10,7 persen. Hal ini tentu akan menimbulkan gejolak dalam masyarakat karena elpiji adalah kebutuhan hajat hidup orang banyak.

Pengurangan subsidi yang berujung tingginya harga elpiji yang membebani rakyat sebagai dampak liberalisasi total migas itu pada dasarnya merupakan apa yang diinginkan oleh asing. Mereka mendiktekannya melalui instrumen utang yang terus dikucurkan pada negeri ini baik utang melalui pemerintah negara Barat (AS, Kanada, Australia, Jepang, Inggris dsb) maupun utang melalui lembaga-lembaga internasional seperti IMF, Bank DUnia, ADB, USAID dan sebagainya.

Jika dirunut ke belakang, IMF dan Bank Dunia berperan mendektekan berbagai peraturan dan UU yang meliberalisasi sektor migas. Hal itu tercantum dalam Letter of Intent (LoI) Pemerintah dengan IMF.

...Kebijakan pengurangan subsidi selama ini merupakan bentuk konsekuensi dari sistem ekonomi liberal kapitalis. Dimana posisi negara hanyalah sebatas regulator dan fasilitator. Pemerintah melepaskan tanggungjawab sebagai pelayan rakyat yang mengurusi terpenuhinya kebutuhan rakyat...

Di dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan. 2000) disebutkan: (pada sektor migas, Pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional).

Lalu di dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, July 2001) disebutkan: ..Pemerintah [Indonesia] berkomitmen penuh untuk mereformasi sektor energi yang dicantumkan pada MEFP 2000. Secara khusus pada bulan September, UU Listrik dan Migas yang baru akan diajukan ke DPR. Menteri Pertambangan & Energi telah menyiapkan rencana jangka menengah untuk menghapus secara bertahap subsidi BBM dan mengubah tarifl listrik sesuai dengan tarif komersil.”

Pada tahun 2000 Bank Dunia melakukan studi mengenai minyak dan gas di Indonesia (Indonesia Oil and Gas Sector Study–World Bank, June 2000). Studi tersebut merekomendasikan agar draf UU Migas yang diajukan kepada parlemen pada tahun 1999 harus berlandaskan pada semangat kompetisi, berorientasi pasar, menghilangkan intervensi pemerintah, serta konsisten mengikuti auturan-aturan yang berlaku di internasional.

Berikutnya di dalam dokumen Bank Dunia, Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank, 2001)disebutkan: (Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja publik…Banyak subsidi khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang kaya).

Lalu dilanjutkan pada program energy and mining development, Loan No. 4712-IND tahun 2003 melalui kucuran utang luar negeri sebesar US$ 141 juta untuk proyek “Java Bali Power Sector Restructuring and Strengthening Project” untuk mendorong pemerintah menghilangkan subsidi BBM secara bertahap. Tujuan dari proyek yang akan berakhir pada bulan Desember 2008 ini, adalah untuk mendukung pemerintah menghilangkan subsidi BBM serta membangun pondasi untuk sektor energi yang layak secara komersil.

Semua itu mencerminkan intervensi asing dan penjajahan barat atas negeri ini. Mereka yang terlibat dalam proses itu boleh jadi melakukannya tanpa mereka sadar bahwa mereka sedang memebri jalan, membantu bahkan menjadi operator dari intervensi asing dan penjajahan itu. Mereka yang seperti itu sungguh sangat disayangkan. Sebab mereka bisa diperalat oleh penjajah untuk kepentingan penjajahan mereka. Tentu mereka harus disadarkan. Namun ada dua pihak yang jauh lebih berbahaya. Pertama, yang melakukan semua itu secara sadar bahkan mengangapnya sebagai sesuatu yang harus dilakukan atau diwujudkan di dan untuk negeri ini. Mereka adalah orang-orang yang sudah terkooptasi oleh ide-ide dan konsepsi barat. Menyadarkan mereka adalah perkara yang tidak mudah. Kelompok kedua adalah mereka yang mlakukan semua itu dengan sadar dan paham bahwa itu adalah intervensi dan penjajahan. Namun mereka tetap melakukannya untuk mendapatkan kepentingan duniawi. Mereka inilah yang layak disebut sebagai komprador sejati.

Meski migas hakikatnya milik rakyat, kenyataannya 85% ladang migas dikuasai pebisnis asing. Semua sumber gas bumi dengan cadangan besar juga telah dikuasai modal asing. Sebagai contoh ada 28 Blok lapangan Migas di Jatim, yang 90%-nya dikuasai oleh korporasi. Blok Cepu dikuasasi Exxon. Blok Pangkah di Kabupaten Gresik dikuasai Amerada Hess. Di Perairan Sampang Madura dikuasai Santos Oyong Australia. Di Tuban-Bojonegoro-Lamongan dan Gresik dikuasasi Petrochina. Dll.

Kebijakan pengurangan subsidi selama ini merupakan bentuk konsekuensi dari sistem ekonomi liberal kapitalis. Dimana posisi negara hanyalah sebatas regulator dan fasilitator. Pemerintah melepaskan tanggungjawab sebagai pelayan rakyat yang mengurusi terpenuhinya kebutuhan rakyat. Pemerintah justru memposisikan dirinya sebagai penyedia jasa, sementara masyarakat adalah pengguna jasa yang harus membayar kepada Pemerintah. Hubungan negara dengan rakyat akhirnya seperti hubungan pedagang dan pembeli, bukan hubungan pelayan dan yang dilayani. Rakyat harus membayar harga atau biaya pelayanan yang disediakan oleh negara. Berikutnya, harga atau biaya itu akan disesuaikan indikator ekonomi dan harga pasar. Alasan harus ada penyesuaian dengan inflasi, karena harga komponennya naik, atau alasan biaya naik agar pelayanan lebih baik, adalah cerminan dari cara pandang komersial.

Semua kenaikan itu jelas akan makin membebani masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah. Mereka akan terpukul dari dua sisi. Pertama, berbagai kenaikan itu akan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa. Ada yang memperkirakan harga barang naik 7-15%. Kedua, daya beli mereka turun karena pendapatan tidak naik, sementara biaya makin besar karena berbagai kenaikan itu. Alhasil, masyarakat kebanyakan akan paling banyak merasakan beban berat dari kebijakan pengurangan subsidi yang berakibat naiknya harga.

Untuk mengatasi masalah ini, ada beberapa langkah praktis yang bisa ditempuh Pemerintah: Pertama: Memfokuskan pelayanan migas di dalam negeri semata-mata untuk kepentingan rakyat, bukan fokus pada ekspor. Kalaupun harus ekspor, jelas itu harus dilakukan setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan dengan harga yang semurah mungkin. Kedua: Melakukan negosiasi ulang seluruh kontrak migas dengan pihak swasta/asing, yang nyata-nyata telah merugikan negara. Ketiga: Memanfaatkan seoptimal mungkin sumberdaya alam (migas, emas, batubara, dan lainnya) yang sangat melimpah itu, yang hakikatnya adalah milik seluruh rakyat. Sumberdaya alam tersebut harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat, bukan justru dijual atau diserahkan pengelolaannya kepada swasta, baik asing maupun domestik.

Rasulullah saw. bersabda: Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: padang gembalaan, air dan api (HR Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Karena itu, langkah yang paling riil dan rasional saat ini adalah, negara wajib mengambil-alih kembali kepemilikan serta pengelolaan sumberdaya alam, khususnya di sektor energi, dari tangan para pemilik modal dan menghentikan kontrak-kontrak yang telah terlanjur diberikan kepada korporasi, bukan malah memprivatisasinya. Negara wajib menjadikan energi sebagai sumber kekayaan untuk mensejahterakan masyarakat dan tetap memberikan energi murah kepada rakyat.

Lebih dari itu, untuk mengakhiri penderitaan rakyat akibat dari permasalahan energi di atas, negara harus berani menerapkan syariah Islam—yang notabene bersumber dari Allah, Pencipta manusia dan alam ini—untuk mengatur semua aspek kehidupan masyarakat, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam, terutama di sektor energi. Syariah Islam jelas telah mewajibkan agar pengelolaan dan distribusi atas sumberdaya alam yang menguasasi hajat hidup orang banyak berada di bawah kekuasaan negara demi menjamin kesejahteraan rakyatnya. Apalagi sumberdaya alam yang menguasasi hajat hidup orang banyak itu memang milik rakyat. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google

 


latestnews

View Full Version