View Full Version
Kamis, 16 Mar 2017

Siapa Pengendali 'Rejeki' Manusia?

Oleh: Pipit Agustin, S.Pt

(Alumni IPB, Bogor Tim Analis di Muslimah Voice)

Januari berlalu. Menjadi saksi serentetan peristiwa awal tahun 2017, gempita dan suka cita pesta kembang api ditemani bersahutannya tiupan terompet. Januari juga menjadi saksi sederetan kenaikan harga dan tarif baru yang berbaris rapi. Diantaranya kenaikan biaya pengurusan STNK, BPKB, TNKB, harga baru BBM, kenaikan Tarif Dasar Listrik untuk pelanggan 900 VA hingga kenaikan memukau komoditas andalan dunia kuliner, cabai.

Pemberitaan mengenai naiknya harga kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan, kesehatan, atau inflasi sampai krisis ekonomi tampaknya berpola periodik, selalu mengikuti trend naik. Hal ini menjadi kian lazim membersamai kehidupan masyarakat sebagaimana orang tua membersamai kehidupan anak-anaknya. Sampai-sampai masyarakat tak mampu mengingat kapan awal mula periodisasi ini.

Apakah sejak kelahiranya, kelahiran tanah airnya, atau saat negara adikuasa penjajah bernama Amerika ini ada di muka bumi? Beginilah masyarakat kita dibesarkan. Pada saat mereka sedang menjalani kehidupan sehari-hari dan mencoba menjadi warga negara yang baik, penguasa justru sedang sibuk mengisahkan dongeng berkali-kali. Hari ini, ketika harga sekilo cabai melebihi harga sekilo daging, pemerintah bersikukuh bahwa ini terjadi akibat kurangnya pasokan, cuaca buruk, atau gagal panen, dll.

Juga kisah tentang harga baru BBM, dilakukan semata-mata karena menyesuaikan dengan kenaikan harga minyak dunia. Begitu pula mengenai kebaikan tarif listrik, tak lain adalah karena inflasi, selain juga untuk merealisasi Pemasukan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditargetkan harus naik. Pada akhirnya, subsidi niscaya dicabut sebab tidak tepat sasaran atau memicu kerugian negara. Pesona Lain Kapitalisme Neo-Liberal Para ahli ekonomi dan penguasa itu ingin agar masyarakat percaya bahwa kondisi ini bukan buatan parlemen.

Para ahli ekonomi yang pro-sistem tentu sering memakai istilah supplay dan demand sebagai penjelasan atau lebih tepatnya pembenaran atas kebijakan tersebut. Istilah-istilah yang mengacu pada ekonomi kapitalis-neoliberal antara lain ekonomi pasar, pasar bebas, sistem ekonomi yang bergantung pada mekanisme pasar, dan bisnis yang dimiliki pihak swasta. Penguasa dan para ahli ekonomi aliran ini ingin agar masyarakat tidak semestinya menyalahkan kebijakan tersebut dengan menuduh adanya ketamakan, spekulasi, manipulasi, bahkan kriminalitas karena perbuatan tak terpuji semacam ini ditunggangi oleh supplay dan demand tadi.

Begitulah hukumnya. Jangan dilanggar. Hukum ini bekerja bagai hukum alam. Fakta tak bisa dielak. Bahwa hari ini kita saksikan dan rasakan beban hidup masyarakat bukannya berkurang, melainkan makin berat. Jadilah jumlah kemiskinan dalam angka semakin mengkhawatirkan. Darimana kemiskinan ini muncul? Bagaimana ia bisa menjadi problematika massal dan dominan? Kemiskinan dan kezaliman yang tersebar di seluruh negeri, termasuk di negeri kita yang kaya ini tidak lain akibat praktik ekonomi kapitalis-neoliberal. Selama ini, sistem kapitalis inilah yang mengendalikan kehidupan masyarakat dan mengendalikan ‘rejeki’ mereka.

Melalui kebijakan ekonomi neo-liberal dengan merujuk kepada IMF, Indonesia benar-benar menuju liberalisasi ekonomi. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari beberapa fakta :1). Penghapusan subsidi pemerintah secara bertahap dan diserahkannya harga barang-barang strategis ke mekanisme pasar; 2). Privatisasi BUMN, yaitu dengan menjualnya kepada swasta, baik swasta nasional maupun asing; 3). Peran serta Indonesia dalam WTO, GATT, yang semakin memperjelas komitmen Indoneaia kepada kapitalisme global.

Akibat menganut sistem mekanisme pasar bebas, pemerintah harus cuci tangan, melepas perannya sebagai pengelola perekonomian. Sebagai gantinya, pihak swasta banyak menguasai sektor-sektor kepemilikan umum, berupa perusahaan-perusahaan besar. Masyarakat akhirnya menjadi pelayan. Mereka bekerja siang malam hanya sekedar untuk bisa mendapat sesuap makan. Mengais rejeki dari para pemilik perusahaan yang mendominasi harga komoditas dan upah mereka.

Kehidupan merekapun seolah berada di tangan para pemilik perusahaan. Mereka miskin dan jumlah mereka banyak, mendominasi setiap jengkal bumi nusantara yang kaya ini. Ini adalah sebagian kecil dari sehamparan luas fakta menyakitkan akibat praktik ekonomi neo-liberal, khususnya di Indonesia. Lalu, apakah masyarakat diam saja menyaksikan semua kezaliman ini?

Gerakan protes, demonstrasi, konferensi, dan sebagainya bisa jadi bukanlah taktik yang sakti ataupun cara ajaib yang akan mengatasi persoalan yang kita hadapi saat ini. Tetapi itu merupakan suatu kegigihan, tentang apa yang bisa kita perbuat. Yaitu dalam rangka mengedukasi diri sendiri dan sebanyak mungkin orang lain sampai hal ini menjadi benih munculnya kesadaran majemuk dan dalam frekuensi yang sama agar masyarakat menginginkan perubahan hidup yang hakiki.

Mengarah kepada fitrahnya yaitu sebagai umat mulia, umat terbaik. Itulah kehidupan islam sebagaimana pernah dipraktikkan secara gemilang selama lebih dari 13 abad. Jika pada hari ini tak ada satu negarapun yang dapat menghalangi negara adikuasa Amerika dari ‘jihadnya’ dalam menerapkan kapitalisme yang fundamental, maka kita harus yakin, bahwa esok hari dan itu tak lama lagi, Khilafah Islamiyahlah satu-satunya penawar racun pemusnah massal bernama kapitalisme itu. [syahid/voa-islam.com]  


latestnews

View Full Version