View Full Version
Ahad, 19 Mar 2017

Demokrasi, Biang Perpecahan dalam Memilih Pemimpin Muslim

Berdasarkan data tahun 2014 prosentase penduduk Jakarta yang beragama Islam sebesar 83% dari total populasi 10 juta jiwa. Sedang sisanya terbagi untuk penganut agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu dan juga aliran kepercayaan. (databoks.katadata.co.id, 6 September 2016). Dengan populasi yang demikian, andaikan umat Islam pada Pilgub Jakarta, 15 Februari 2017 lalu memilih Gubernur Muslim maka kekalahan ada di tangan Ahok. Tapi fakta tidak demikian.

Ahok sang penista Al Quran dan didemo oleh sekitar 4 juta muslim masih mampu meraih suara 40% lebih sehingga harus ada Pilgub putaran kedua. Bila kasus Pilgub putaran pertama ini tidak ingin terulang maka umat Islam harus mendulang kemenangan dengan memilih pemimpin yang seaqidah/seiman dengan mereka, bukan malah  memilih pemimpin yang menistakan kitab suci mereka.

Demokrasi Menjauhkan Umat dari Figur Pemimpin dalam Islam

Keberhasilan Ahok menjadi kandidat Calon Gubernur DKI adalah buah dari demokrasi. System demokrasi tidak mensyaratkan Islam sebagai agama bagi calon pemimpin. Bahkan dalam system ini pun tidak mensyaratkan harus laki-laki. Inilah demokrasi yang memberikan ruang kebebasan seluas-luasnya bagi setiap individu atas nama hak asasi manusia.

Konsep halal dan haram pun juga tidak dikenal dalam system ini, sehingga wajar jika dalam setiap moment pemilu praktek suap suara pemilih selalu ada. Segala cara akan ditempuh agar bisa meraih kekuasaan. Lagi-lagi uang memegang peranan vital. Sehingga bisa dikata siapa yang memiliki banyak uang maka ia yang akan menang. Dan ketika menjabat maka akan mencari balikan modal, bukan focus pada amanah jabatan tapi sibuk mengembalikan dana yang telah diinvestasikan dalam pemilu. Na’udzubillah.

Demokrasi yang lahir dari ide sekulerisme ini pula yang telah menjauhkan umat Islam dari pemahaman yang benar akan arti seorang pemimpin bagi mereka. Ide pluralisme yang telah dielu-elukan oleh kalangan liberal telah melekat disebagian kalangan umat Islam. Sehingga mereka tidak lagi berpandangan bahwa Islamlah satu-satunya agama yang benar, meski dirinya mengaku beragama Islam.

Adapun faktor lain yang menjadikan sebagian umat Islam tidak percaya dengan figur pemimpin muslim adalah adanya ulah politikus muslim yang tidak menunjukkan moral dan sikap amanah dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Beberapa skandal korupsi yang menimpa para politisi muslim telah menurunkan indeks kepercayaan rakyat terhadap politisi muslim. Sekali lagi inilah demokrasi, yang bisa membuat orang baik menjadi tidak baik dengan praktik materialismenya. 

...Demokrasi yang lahir dari ide sekulerisme ini pula yang telah menjauhkan umat Islam dari pemahaman yang benar akan arti seorang pemimpin bagi mereka...

Stop Perpecahan Umat: Pilih Pemimpin Muslim dan Terapkan Sistem Khilafah

Wajar jika pecahnya suara umat Islam dalam Pilgub Jakarta putaran pertama ini melahirkan rasa kecewa dan marah diantara umat Islam sendiri. Kekecewaan dan kekesalan itu memunculkan spaduk dibeberapa Masjid di Jakarta bertuliskan “Tidak akan mengurusi jenazah orang yang memilih penista agama”. Hal ini pun langsung mendapat respon dari Menteri Agama Bapak Lukman Hakim S dengan menjelaskan bahwa masjid atau rumah ibadah adalah tempat paling aman bukan tempat pemicu konflik. Kemarahan ini wajar mengingat beberapa kedholiman yang telah Ahok lakukan, sehingga umat Islam yang memilih Ahok dinilai oleh pihak muslim yang kontra Ahok sangat keterlaluan.

Perpecahan ini tidak akan terjadi andaikan seluruh umat Islam mengerti dan memahami agamanya. Alloh swt telah memerintahkan hambanya untuk tidak menjadikan orang kafir sebagai teman kepercayaannya. Alloh Swt berfirman, “Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian menjadikan kaum kafir sebagai wali diluar kaum Mukmin” (TQS. An Nisa’: 144). Selain daripada itu keberadaan pemimpin dalam Islam bukanlah masalah yang sepele. Karena pemimpin dalam Islam memiliki dua tugas utama, yaitu menerapkan syariah Islam dan mengurusi urusan rakyat.

Tugas menerapkan syariat Islam ini tidak mungkin akan dilaksanakan oleh pemimpin yang bukan muslim. Sedangkan tugas mengurusi urusan rakyat juga tidak akan terlaksana dengan baik dalam system kapitalistik-materialistik seperti saat ini. Yang terjadi malah pengurusan kepetingan para pemilik modal dan pelayanan yang syarat bisnis dengan rakyatnya sendiri. Inilah demokrasi sekuler yang meletakkan dunia di tangan kanan sedang Tuhan di tangan kiri yang hanya diperlukan sebagai pemanis hasrat kekuasaan dihadapan rakyatnya.

Oleh karena itu sudah saatnya umat Islam menyatukan suara dan langkah untuk memilih pemimpin sesuai kriteria syara (muslim, laki-laki, baligh, berakal, tidak gila, mampu, adil dan bukan budak) dan  menuntut penegakan system Khilafah bukan demokrasi. Khilafah inilah yang akan menyatukan, menyejahterakan dan membawa rahmat bagi seluruh alam dengan penerapan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupannya.

Pemimpin terbaik adalah pemimpin yang taat pada Alloh dan RasulNya serta menerapkan syariah Islam dalam bingkai Kekhilafahan Islam. Nabi saw bersabda, “Pemimpin kalian yang terbaik adalah yang kalian cintai dan dia mencintai kalian, juga yang kalian doakan dan dia mendoakan kalian. Pemimpin kalian yang terburuk adalah yang kalian benci dan dia membenci kalian, juga yang kalian laknat dan dia melaknat kalian” (HR Muslim). Wallahua’lam. (riafariana/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version