View Full Version
Senin, 20 Mar 2017

Jika Ulama di Penjara, kepada Siapa Umat Bertanya tentang Agamanya?

Oleh: Meyra Kris Hartanti, S.KM (Praktisi Pendidikan)

Pada zaman sekarang, begitu banyak umat manusia yang meremehkan ulama, bahkan tak jarang menghina ulama, baik dengan nada sindiran maupun dengan kata-kata keji yang sangat tidak beradab. Penghinaan tersebut justru muncul dari beberapa public figure yang notabene dikenal banyak orang.

Mulai dari komika bernama Uus dengan menjadikan Habib Rizieq Siehab sebagai bahan lawakan di Twitter, tokoh politik sekelas Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), dan yang baru saja ramai dibicarakan artis yang sekaligus Mu’allaf Angel Lelga yang secara terang-terangan menuduh ulama mengeluarkan fatwa haram memilih pemimpin kafir karena pesanan pihak politik tertentu (https://hot.detik.com/celeb/3403571/diangap-menghina-ulama-uus-komika-di-bully).

Lebih jauh ia (AL) menganggap para pemberi fatwa sebagai penjual agama (Detikfokus.com, 20/2/2017). Sungguh  ironi! Umat Islam tidak percaya pada ulama mereka sendiri, bahkan lebih buruk lagi, di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini, ulama dikriminilasisasi, dilaporkan ke polisi denga tuduhan-tuduhan tertentu. Astagfirullah.

 

Posisi Ulama dalam Setiap Masa; Pengantar umat Memahami Hukum Al-Quran

Bagi setiap pemeluk Islam, mereka mengimani apapun yang dikabarkan dalam kitab sucinya. Terlepas apakah ia sudah memahami maknanya tanpa perlu mendatangkan mufassir, atau ia memerlukan mufassir tertentu agar ia bisa memahami apa yang dimaksud pada untaian kata yang termaktub di dalamnya. Karena tiap ayat bukanlah dogma yang tidak bisa dimengerti. Jikalau ayat Al-Quran tidak bisa dimengerti berarti Al-Quran tidak diturunkan untuk manusia di muka bumi. Tetapi faktanya, ayat Al-Quran seberapapun sulitnya dimengerti, tetap ia bisa dicerna oleh akal manusia maksud di dalamnya.

“Susungguhnya Kami menurunkannya Al-Quran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya” (TQS. Yusuf [12]: 2)

Bagi umat Islam, Al-Quran adalah petunjuk hidup, jalan hidup, tuntunan sikap manusia. Bagaimana saat manusia senang maupun saat susah, saat lapang maupun sempit, saat  kaya maupun saat miskin, semua dicontohkan dalam Al-Quran dan As Sunah sebagai penjelasnya. Karena setiap sikap umat manusia akan dihisab berdasarkan kadarnya, dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, Tuhan Pengatur Semesta.

“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dulu” (TQS. Al-Hijr [15]: 92-93).

“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran , dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya”

Jika dalam Al-Quran terdapat ayat yang multitafsir (mustayabihat), maka hal tersebut perlu penggalian lebih jauh menggunakan dalil yang lain, baik dalil sunnah, ijma’ dan qiyas oleh orang yang memang benar-benar memiliki ilmu di dalamnya. Pada jaman dulu umat Islam banyak merujuk pada imam-imam besar seperti imam Hanbali, Abu Hanifah, pun Imam Syarfi’I yang hingga saat ini kitab mereka masih menjadi rujukan dalam setiap penulisan.

Namun seiring berjalannya waktu, di mana umat Islam semakin jauh dengan pemahaman Islam, kebiasaan bertanya pada imam besar atau ulama pun semakin terkikis. Padahal ulama adalah jembatan ilmu agama. Dalam I’lamul Muwaqqin, Ibnu Al-Qayyim membatasi pengertian ulama sebagai orang yang pakar dalam hukum Islam, yang berhak berfatwa di tengah manusia, yang menyibukkan diri dengan mempelajari hukum-hukum Islam, kemudian menyimpulkannya, dan yang merumuskan kaidah halal-haram agar umat bisa lebih mudah memahaminya.

Ulama adalah jembatan umat dalam memahami Al-Quran. Mereka tidak berfatwa sesuka hatinya, berdasarkan kedangkalan berpikir yang layaknya dimiliki kebanyakan orang karena ulama menghabiskan waktunya untuk beribadah dan mempelajari Al-Quran tanpa dijanjikan gelimang harta oleh siapapun. Ulama tempat bertanya hukum suatu perbuatan yang tidak dimengerti oleh manusia sekaligus tempat bertanya umat tentang agamanya. Tanpa tendensi apapun, tanpa pengaruh siapapun. Karena ulama menjawab sesuai dengan dalil syari yang dipahami, bukan berdasarkan dalil yang dibuat oleh dirinya sendiri. Adapun ulama yang ia bisa dibeli dengan harta duniawi, maka jelas ini bertentangan dengan sifat dari ulama sendiri, dan tentu akan terlihat jelas berdasarkan fatwa/ketentuan hukum yang dikeluarkan berdasarkan dalil yang ia miliki.

 

Penerapan Sekulersime; Pangkal segala Kriminalisasi Ulama

Paham Sekulerisme menjadikan agama tidak selayaknya mengatur kehidupan publik manusia. Ketika paham sekulerisme ini diterapkan Negara, maka selamanya agama akan ditinggalkan oleh negara dan negara pun menolak setiap campur tangan agama dalam urusannya. Karena agama hanya boleh mengatur urusan tertentu saja, namun tidak diperkenankan mengurus persoalan manusia yang lainnya. Tidak heran jika pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sistem sanksi tidak berbasikan Islam, justru berbasiskan undang-undang Barat.

Negara yang menerapkan sekulerisme akan menganggap ulama bukanlah tiang penting dari berdirinya negara dan penjaga negara, melainkan sebatas kumpulan orang yang mengeluarkan fatwa. Inilah yang semakin menjauhkan umat Islam dengan agamanya sendiri. Selama paham sekulerisme diterapkan, ulama tidaklah memiliki fungsi apa-apa kecuali sebatas pengeluar fatwa, dan selama itu pula umat Islam akan semakin jauh dari agamanya, bahkan akan semakin menganggap remeh terhadap para alim ulama.

Padahal ulama adalah warisan nabi satu-satunya. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah :

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh, para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham . sungguh, mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil warisan tersebut, ia telah mengambil bagian yang banyak” (HR. Al-imam At- Tirmidzi)

Allah saja memuliakan ulama sedemikian rupa, bagaimana bisa umat menyepelekannya dengan mudahnya? Seharusnya kita malu pada ulama. Mencari sisi kebenaran pada mereka yang menghabiskan waktunya untuk bermunajat padaNya, bukan lantas menyombongkan diri di atas ulama sementara kita sendiri amat dungu terhadap ilmu agama.

Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para guru dan ulamanya? Mari mengembalikan kebiasaan umat Islam seperti pada jaman Rasul dan para sahabat yang seumur hidupnya senantiasa mencintai ilmu dan gurunya, mencintai agama dan ulamanya, serta mencintai Allah dan RasulNya melebihi segalanya. Karena hanya dengan kehidupan Islam dan peraturan Islam umat akan terjamin dalam setiap pelaksanan perintah dan laranganNya, pun Islam akan terlihat nyata sebagai rahmatan lil alamin.

Jika ulama dipenjara, umat Islam kepada siapa umat bertanya tentang agamanya? Jika ulama saja dipenjara, bagaimana umat Islam mau belajar ilmu agama? Jika ulama dibui, siapa yang akan diikuti? Wallahu ‘alam bi ash shawwab. [syahid/voa-islam.com]

Referensi:

Khalil, Bin Atha’. 2014. Ushul Fiqih; Kajian Ushul Fiqih Mudah dan Praktis. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah

http://muslim.or.id/24516-mengenal-ulama-lebih-dekat-1.html

 


latestnews

View Full Version