View Full Version
Senin, 10 Apr 2017

Islam dan Simbolnya dalam Wacana Kebhinekaan

Oleh: Fitri Amelia, S.Pi (Aktivis MHTI Kabupaten Bogor)

Isu kebhinekaan atau keberagaman selalu hangat untuk digaungkan, terlebih lagi adanya pihak-pihak komprador asing yang senantiasa turut menggembosi isu kebhinekaan untuk membungkam aspirasi umat islam .
 
Sebagai contoh kasus penista agama yang melibatkan pasangan calon gubernur. Awalnya rakyat terutama kaum muslim hanya ingin dapatkan keadilan atas laporan penistaan tersebut. Penanganan kasus yang berjalan sangat lambat membuat kaum muslim menjadi resah hingga bermunculan berbagai reaksi.  Berbagai opini yang semakin melebar melenceng dari akar masalah penistaan.

Tercetusnya aksi bela islam sebagai bentuk kecintaan dan keimanan kaum muslim yang mencintai alquran.  Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk  mengacaukan fokus  penistaan dengan mengkaitkan pelaporan atas calon gubernur tersebut sebagai upaya intoleran dari kaum muslim atas kebhinekaan. Berbagai tuduhan dilontarkan bahwa kini kaum muslim di Indonesia sudah mulai radikal untuk tunjukkan eksistensinya ditengah pluralitas bernegara. Berujung pada penangkapan beberapa ulama yang konsisten atas keadilan.

Ini juga terlihat dari sikap pemerintah yang seolah mengamini opini intoleran tersebut. Saat kedapatan ada pihak dari kaum muslim yang turun kejalan dalam aksi bela islam  membawa bendera merah putih yang diimbuhi kalimat tauhid "laa illaha illaallah",  pihak kepolisian justru menangkap Fahmi seorang hafidz quran karena telah lakukan pelanggaran pasal 67 Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang simbol negara. Tindakannya dianggap telah melakukan penghinaan pada simbol negara dan bisa menjadi ancaman radikalisme. Namun disisi lain polisi sebelumnya tidak pernah menangkap pihak yang juga mengimbuhkan kalimat, kata-kata hingga digambari wajah seseorang di bendera merah putih.

Kebijakan pendataan ulama yang hanya diperuntukkan kepada umat islam pun menjadi kontroversi  ditengah masyarakat. Pasalnya kebijakan ini dianggap sebagai upaya pengekangan dan kriminalisasi terhadap ulama.

Seolah kebakaran jenggot. Video yang viral ditunjukkan melalui media sosial atas tindakan pihak kepolisian beberapa waktu lalu. Secara sepihak aparat menyita paksa selembar kain hitam bertuliskan kalimat tauhid yang dibawa oleh sekelompok kaum muslim di Bogor yang hendak menyambut kedatangan Raja Salman dari Arab Saudi. Padahal kalimat tauhid tersebut sama seperti yang tertulis pada Bendera Arab Saudi. Hanya warna latar kainnya saja berbeda tanpa terdapat dua belah pedang sebagaimana Bendera Arab Saudi. Kemudian disusul dengan munculnya  berbagai sikap pihak tertentu yang pobia pada setiap kain yang bertulis kalimat tauhid tersebut. Karena dianggap dapat menjadi penyebab timbulnya diskriminasi, perpecahan dan radikalisasi di dalam negeri.

Salahkah ketika kaum muslim membawa salah satu simbol islam untuk menyambut seorang pemimpin muslim dari wilayah yang dulu pernah hidup seorang Rasul Muhammad SAW disana? salahkan kaum muslim bangga membawa simbol islamnya karena ternyata kain hitam bertuliskan kalimat tauhid itu adalah panji islam yang senantiasa menyertai Rasulullah SAW dalam perjuangan islamnya?

Justru sikap-sikap antipati dan menganggap kaum muslim tidak toleran pada kebhinekaan akan menghantarkan pada ambiguitas kebhinekaan itu sendiri. Justru kenyataannya isu kebhinekaan hanya diperuntukkan bagi kaum muslimin dan para pejuang islam yang istiqomah dalam dakwahnya.

 

Islam dan Kebhinekaan

Sejatinya syariah islam sudah lama memberikan tempat khusus atas kebhinekaan atau kemajemukan umat manusia. Hanya Islam yang mengakui keberagamaan manusia baik secara suku bangsa, bahasa, kedudukan sosial, bahkan akidah.

Allah SWT menjadikan umat manusia beragam dari berbagai sisi; jenis kelamin, suku, warna kulit, bahasa, status ekonomi, juga posisi di tengah masyarakat. Keberagaman itu adalah realita umat manusia. Allah SWT menciptakan manusia dalam ragam suku dan bangsa, misalnya, agar manusia saling mengenal. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sungguh Allah Mahatahu lagi Maha Mengenal (QS al-Hujurat [49]: 13).

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menjelaskan bahwa lafal li ta’ârafû bermakna: agar sebagian kalian saling mengenal sebagian yang lain dalam nasab. Allah SWT berpesan, “Sungguh Kami menjadikan bangsa-bangsa dan suku-suku ini untuk kalian, wahai manusia, agar kalian saling mengenal satu sama lain lain dalam ikatan kekerabatan, bukan untuk keunggulan bagi kalian, tetapi kekerabatan yang mendekatkan kalian kepada Allah. Justru yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling takwa kepada Allah.”

Syariah Islamlah yang akan menjamin kebebasan beribadah bagi setiap agama, menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat, menjamin pendidikan, keamanan, dan pendidikan gratis bagi setiap rakyat, menjamin kekayaan alam yang merupakan milik rakyat digunakan untu kepentingan rakyat, menjamin persamaan hukum.   Semua itu tanpa melihat apakah suku, ras, warna kulit, atau agamanya"

Persoalan apakah islam dan simbolnya akan membawa arah radikalisme serta perpecahan bangsa bukanlah terletak pada keberagaman atau kebhinekaan di tengah masyarakat. Karena keberagaman adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri, tapi yang dibutuhkan adalah sistem yang bisa menjamin kebaikan bagi setiap individu masyarakat yang beragam itu.

Tidak ada sistem yang bisa menjamin kebaikan bagi setiap individu yang beragam ditengah masyarakat tersebut kecuali syariah Islam. Karena syariah Islam adalah rahmatan lil alamin, kebaikan bagi setiap umat manusia, tanpa pandang ras, warna kulit, bangsa, dan agama.


latestnews

View Full Version