View Full Version
Ahad, 30 Apr 2017

Pasca Pilkada Jakarta, Bagaimana Teka-tekinya?

Oleh: Abdul Latif (Pendidik Peduli Bangsa)
 
Hiruk pikuk pesta demokrasi di Jakarta begitu terasa di seluruh Indonesia. Betapa tidak, salah satu kandidat Jakarta 1 adalah terdakwa atas penistaan agama sehingga menjadi opini nasional. Walaupun telah menjadi terdakwa, tapi ternyata masih bisa mencalonkan diri dan bahkan masih aktif menjabat sebagai Gubernur DKI.
 
Inilah sejarah baru seorang terdakwa dan bahkan masih aktif menjadi Gubernur dan menjadi calon Gubernur. Inilah pertanyaan besar sebagian orang. 
 
Pemungutan suara pun telah dilaksanakan pada tanggal 19 April 2017. Hasil sementara perolehan suara sudah diberitakan di beberapa media. Kemenangan diraih oleh pasangan calon nomer 3 (tiga) yaitu pasangan dari Anies – Sandi dengan perolehan suara sementara 57,1 % lebih unggul dari pasangan Ahok- Djarot yang hanya 43,9 %. (detiknews,20/4/2017) dengan demikian pasangan Ahok – Djarot tersisihkan dari calon pemimpin Jakarta.
 
 
Ada Apa Setelah Pilkada DKI Jakarta Selesai?
 
Jika hasil ini benar adanya Lalu bagaimana dengan proyek – proyek besar Ahok yang didukung oleh 9 pengusaha besar kedepan ketika Ahok sudah tidak menjadi Gubernur DKI? Padahal proyek itulah yang selama ini ingin diselamatkan oleh Ahok secara keras dengan tetap menjadi Gubernur DKI. Adakah strategi baru untuk menyelamatkan proyek itu ? 
 
Ketika Ahok menyadari hasil perolehan suara Anies-Sandi yang lebih unggul dibandingkan dirinya. Ahok pun menerima kekalahan dengan besar hati. Artinya Ahok tidak akan berencana menggugat hasil pemungutan suara ke Makamah Kontitusi (cnnindonesia.com, 19/4/2017). Rupanya kekalahannya sudah diprediksi sehingga harus ada alternatif lain untuk menyelamatkan proyek reklamasinya 17 pulau dan proyek besar yang lain.
 
Ternyata jauh sebelum pilkada berlangsung, Ahok pernah berencana ingin jadi menteri dalam negeri di cabinet Jokowi. Bahkan belakangan ini Jokowi juga mengeluarkan sinyal akan Mereshuffle menteri – menteri yang ia anggap tidak dapat mencapai target yang telah ditetapkan. Hal tersebut ia ucapkan dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh MUI. 
 
Jika hal ini benar,maka jelas sudah kemana arah penyelamatan proyek reklamasi yang ditentang banyak kalangan. Artinya jika benar Ahok akan dijadikan Menteri Dalam Negeri oleh Jokowi dalam kebinetnya, maka Ahoklah yang akan melantik Gubernur terpilih. Calon Gubernur DKI Jakarta yang kalah dalam pilkada Jakarta 2017 akan melantik Gubernur Jakarta baru yang menjadi pesaingnya. Sebuah fenomena yang langka terjadi di Indonesia.
 
Fakta ini diperkuat dengan aksi cepat Jokowi yang ingin mengambil alih proyek reklamasi 17 pulau dan proyek Giant Garuda Project untuk dikelola pemerintah pusat (tribunews.com, 28/4/2017). Dengan demikian proyek besar itu akan tetap aman dan akan kembali dalam pengawasan pihak berkepentingan. Langkah ini diambil oleh Jokowi karena Anies Baswedan dan Sandiaga Uno berjanji akan menghentikan proyek reklamasi 17 pulau (jawapos.com, 21/4/2017). 
 
Beginilah wajah asli demokrasi. Ia akan menjadi manis saat ada kepentingan dan akan menjadi kejam saat kepentingan terancam. Dalam demokrasi senantiasa menghalalkan segala cara untuk mereih cita-cita politiknya. Biaya yang sangat besar telah mempengaruhi kebijakan. Karena yang membiayai adalah para pengusaha, maka kepentingan merekalah yamg paling utama dijaga dan rakyat hanya sebagai sarana pelampiasan kerakusan mereka. Dengan demikian mustahil sekali ada kesejahteraan di dalam sistem demokrasi. 
 
Para pemodal itulah sebenarnya yang memegang kendali dalam sistem demokrasi. Para pemodal akan mencari keuntungan dengan mengangkat penguasa. Maka tidak heran jika setiap kebijakan pemerintah selalu berpihak pada pemilik modal, karena merekalah yang mebiayai. Dan hari ini bisa dilihat sikap para penguasa itu terhadap rakyatnya. Rakyat dianggap kosumen untuk menjual produk-produk mereka. 
 
Hal ini telah disampaikan Rosulullah 1400 tahun silam. Dalam sebuah hadist dari Anas Ra. Nabi Muhammad saw bersabda: “Akan terjadi suatu jaman atas umatku  dimana para penguasa mereka seperti singa, dan menteri-menterinya seperti serigala, dan hakim (penegak hukumnya) seperti anjing, serta rakyatnya seperti domba / kambing. Bagaimana mereka para domba (rakyat) boleh hidup diantara kerumunan para singa, srigala, dan anjing? “ (HR. Ad-Dzahabi) diriwayatkan Ad Dzahabi dari sahabat Anas bin Malik antara lain ada dalam kitab Nashoihul ibad-Ibnu Hajar Al-Atsqolany. 
 
Inilah fakta rusaknya sistem demokrasi. Bagi pegiat demokrasi tiada kawan yang abadi dan tiada teman yang abadi yang ada hanyalah kepentingan abadi. Kepentingan itulah yang membuat orang menghalalkan segala cara, bertindak kejam bagai serigala. Masihkah sistem seperti ini kita pertahankan? Tidakkah kita rindu pada sistem yang baik? Sistem yang baik hanya bersumber dari Dzat Yang Maha Baik, itulah Allah SWT. Jadi sistem yang baik adalah sistem islam.
 
Sebuah sistem kehidupan yang sudah terbukti selama 14 abad membangun peradaban yang agung yaitu peradaban islam. Itulah sistem khilafah rosyidah ala minhaj nubuwah. Maka sistem inilah yang harus kita perjuangkan untuk diterapkan dalam kehidupan kita. [syahid/voa-islam.com]

latestnews

View Full Version