View Full Version
Rabu, 17 May 2017

Dukung Aturan Bebas LGBT untuk Mahasiswa Baru!

FENOMENA mahasiswa tertarik menjadi LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) atau mempromosikan LGBT melalui skripsi dan kegiatan semakin marak dan meresahkan. Namun muncul pro kontra saat ada perguruan tinggi (Universitas Andalas Padang) yang berinisiatif mensyaratkan mahasiswa baru (Maba) bebas LGBT.

Universitas Andalas (Unad) Padang, Sumatera Barat mengeluarkan aturan baru. Tentang larangan bagi mahasiswa baru yang lolos Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) berasal dari kalangan Lesbi Gay Biseksual dan Transgender (LGBT). Hal itu terlihat dari surat pernyataan bermaterai yang diunduh di website UNAD beberapa hari lalu, namun belakangan dihapus karena menuai polemik (okezone.com 2/5/17).

Tak ada yang salah dari keputusan yang dikeluarkan oleh UNAD. Itu adalah aturan yang wajar dan tidak perlu dihapuskan. Demikianlah seharusnya setiap Perguruan Tinggi (PT) memiliki kualifikasi dalam seleksi mahasiswa baru. Aturan ini seharusnya juga perlu mendapatkan dukungan pemerintah. Diharapkan agar bisa diterapkan seluruh PT di Indonesia baik negeri maupun swasta. Artinya, kecerdasan intelektual saja tidak cukup tanpa disertai kebaikan moral dan kepribadian dalam memasuki PT.

Namun sangat disayangkan, masih banyak kalangan masyarakat yang menentang aturan tersebut. Ini menggambarkan masih kacaunya pemahaman dan sikap masyarakat terhadap perilaku keji LGBT. Mengapa bisa terjadi? Sebenarnya sikap masyarakat secara umum menolak LGBT. Apalagi jika mengikuti petunjuk agama maka LGBT termasuk kemaksiatan besar yang tidak boleh ditoleransi dan disebarluaskan.

Namun, saat ini ada dukungan besar terhadap kelompok LGBT. Bahkan bisa menekan rektor UNAD untuk membatalkan keputusannya. Ini tidak lain karena pelakunya adalah NGO (Non Govermental Organization) lokal dan asing. Media sekuler di back up dengan kampanye global lembaga dunia yang bertema anti homophobia. Serta didanai korporasi raksasa atas nama Hak Asasi Manusia (HAM) kemanusian.

Kondisi ini dapat terjadi di sistem sekuler. Segala bentuk perilaku merusak tidak tahu diri meminta hak kebebasan dan ingin dilindungi. Berbeda dengan sistem Islam. Negara bertanggung jawab membentengi rakyat dari pemikiran dan perilaku merusak. Baik yang disebarkan oleh kelompok maupun media lokal ataupun asing. Negara harus tegas menolak segala komitmen global lembaga dunia yang merusak. Apalagi yang bertententangan dengan syariat dan merugikan masyarakat. *Amalidatul Ilmi, Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya


latestnews

View Full Version