View Full Version
Ahad, 21 May 2017

Spirit Hardiknas: Narasi Pendidikan Berkelas Dunia

Oleh: Arista Indriani

(Mahasiswi S2 Fak. Sains dan Tekhnologi Universitas Airlangga)

Prof. Mohamad Nasir, Menteri, Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, dalam sambutannya pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2017 menyampaikan bahwa pencapaian PUI (Pusat Unggulan Iptek) di berbagai bidang fokus sungguh membanggakan.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Direktorat Lembaga Litbang Kemenristekdikti, hingga akhir 2016 terdapat 253 undangan menjadi pembicara dan pemakalah pada konferensi internasional, 291 publikasi dalam jurnal nasional terakreditasi, 149 publikasi dalam jurnal international.

Prestasi lain yaitu sebanyak 33 lulusan S3 sesuai dengan fokus riset unggulan, dicapainya 40 paten yang granted maupun terdaftar, terjalinnya 196 kerja sama riset pada tingkat nasional dan internasional, terwujudnya 1.014 kerja sama non riset pada basis keunggulan lembaga, dan 128 kontrak bisnis dengan pihak industri.

Pemerintah begitu fokus terhadap agenda-agenda untuk menjadikan pendidikan tinggi sebagai World Class University (WCU). Pendanaan inovasi sebesar Rp 171 miliar pun siap diberikan. Pendanaan diberikan terhadap perguruan tinggi dan industri yang saling berkolaborasi mendorong hilirisasi inovasi agar menjadi produk yang dimassalkan.

Pendanaan inovasi itu diwujudkan melalui Penandatanganan Kerja Sama (PKS) antara Kemristekdikti dengan sejumlah industri dan PT yang lolos seleksi. Dana sejumlah Rp 9 miliar dikucurkan untuk revolusi orange Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam mengembangkan buah lokal unggulan.

Selain itu, sejumlah Rp 10 miliar bagi pengembangan katalis oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) dan pengembangan steam cell untuk terapi penyakit degeneratif oleh Universitas Airlangga (UNAIR) sebesar Rp 4 miliar. Topik lain yang dikerjakan melalui pendanaan inovasi perguruan tinggi di industri antara lain industri radar cuaca, industri base station, smartphone 4G, sepeda motor gesit, alat-alat kesehatan dan teknologi plasma untuk pangan.

Akreditasi internasional merupakan syarat mutlak yang harus dicapai untuk PT (Pendidikan Tinggi) yang ingin menjadi WCU. Untuk mencapai akreditasi internasional, PT harus dapat memenuhi berbagai kriteria yang telah ditetapkan sesuai standar internasional. Wajar jika pemerintah berupaya cukup keras untuk ikut membantu PT memenuhi standar yang telah ditetapkan dunia internasional dalam hal ini kiblat terarah ke barat. Tiap PT pun berupaya secara mandiri untuk mewujudkannya.

UGM misalnya, telah menambah 300 dosen asing untuk membimbing mahasiswa S2 dan S3. Namun data ranking web of universities menunjukkan 10 pendidikan tinggi terbaik Indonesia hanya berada di urutan UGM (724), UI (809), ITB (895), IPB (1321), UB (1333), Unpad (1492), Undip (1517), Unair (1906), Udayana (1959) dan Unsyiah (1976) (www.webometrics.info, Januari 2017).

Tentu hal ini jauh dari apa yang diharapkan, yang mejadikan target pendidikan tinggi masuk peringkat 500 besar dunia. Pendidikan merupakan ruh kemajuan bangsa. Tidak ada kemajuan bagi suatu bangsa tanpa ditopang oleh pendidikan. Narasi pendidikan kelas dunia atau World Class University (WCU) wajar diidamkan oleh setiap institusi pendidikan.

Visi ini memang seharusnya menjadi napas PT, menyiapkan lulusan yang mampu bersaing dan menyelesaikan permasalahan yang ada hingga level masalah dunia. Namun, benarkah standar internasional atas penetapan WCU pada masa ini mampu mengantarkan pada tujuan tersebut? Begitu banyak upaya telah dilakukan.

Penulis teringat ketika mendapat kesempatan menjadi finalis PIMNAS, sebuah ajang kreativitas mahasiswa tingkat nasional. Penulis dan tim yang didukung dosen dan pihak kampus melakukan persiapan dengan matang. Upaya dilakukan optimal dengan semangat mengharumkan almamater dan mewujudkan universitas menuju WCU.

Ratusan ide cemerlang dari penjuru nusantara dilombakan. Sungguh menakjubkan potensi putra-putri bangsa ini. Saat itu medali emas dan perunggu pun berhasil diraih, tentu ada kebanggaan tersendiri, tapi itu hanyalah euforia sesaat. Nyatanya karya-karya yang dipamerkan dan dipresentasikan di sana, hanya dijadikan kenangan. Hal demikian terjadi dari tahun ke tahun karena ini merupakan agenda yang diselenggarakan tiap tahun.

Kondisi yang sama terjadi pada berbagai hasil karya anak negeri. Sejumlah besar jurnal berhasil publikasi terindek scopus, tak terhitung dosen yang menjadi pemakalah internasional, tak terhingga penelitian didanai Dikti, sekian doktor lulus dengan predikat memuaskan, tak sedikit lulusan luar negeri. Untuk apa semua itu?

Jika kemudian manfaat itu hanya dapat terasakan secara personal, tidak menyentuh permasalahan masyarakat sama sekali. Nyatanya dengan perjuangan dan dana yang tidak sedikit, angka-angka itu bahkan tak mampu membawa PT-PT terbaik kita masuk ke 500 besar standar dunia. Dan yang paling krusial, berbagai prestasi tersebut nyatanya tidak mampu menyelesaikan problem di tengah masyarakat.

Angka-angka yang tersebut di atas sesungguhnya menunjukkan kualitas Sumber Daya Manusia negeri ini yang tidak bisa dianggap remeh. Namun jika pendidikan masih tetap berkiblat ke Barat, selamanya tak akan mampu mewujudkan narasi pendidikan berkelas dunia yang hakiki. Pendidikan hanya akan terjebak pada standar-standar yang dibuat Barat. Jika berkiblat ke Amerika, maka program memperbanyak jumlah doktor akan digencarkan. Jika mengikuti standar Jerman, maka akan diperbanyak jumlah publikasi.

Sementara perhatian sivitas akademika terfokus oleh ambisi meraih WCU, para kapitalis melanjutkan penguasaannya atas berbagai SDA strategis dalam negeri. Bahkan tak jarang, kalangan akademisi pun terlibat dalam perumusan berbagai kebijakan pemerintah yang pro kapitalis. Sekali lagi, ini terjadi karena hilangnya sensitifitas akademisi karena terjebak pada pragmatisme yang diaruskan oleh Barat.

Nilai keilmuan hanya berupa penghargaan materiil, namun jauh dari kebermanfaatannya pada umat. Jika menengok pada kegemilangan peradaban Islam, maka nyaris mustahil ditemui fenomena sebagaimana yang terjadi pada saat ini. Sistem pendidikan dibangun dengan landasan keimanan dan ketaqwaan. Setiap intelektual memiliki dorongan untuk mewujudkan manfaat sebesar-besarnya bagi umat.

Iman dan taqwa yang menjadi sumber motivasi, sehingga mereka pun berbuat yang terbaik karena ingin mengharapkan pahala yang terbaik pula. Hal ini didukung oleh sistem politik Islam yang memiliki semangat yang sama dalam melayani umat. Para penguasa memimpin dengan paradigma politik yang benar, yaitu mengatur urusan rakyat.

Maka penguasa akan menjadikan keilmuan para intelektual untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat. Para intelektual didorong dan didukung oleh negara untuk melakukan penelitian-penelitian yang bermanfaat bagi umat dalam menyelesaikan problem-problem di tengah masyarakat. Ini merupakan buah dari penerapan syariat kaaffah dalam kehidupan bernegara. Suatu sistem hidup paripurna yang tak perlu diragukan karena berasal dari Allah SWT.

Suatu sistem yang sudah terbuktikan kecemerlangannya. Peradaban mengenal universitas-universitas skala dunia di Baghdad, Kufah, Isfahan, Cordoba, Alexandria, Kairo, Damaskus dan beberapa kota besar dunia lainnya. Universitas-universitas yang mencetak para intelektual yang tak hanya ahli dalam keilmuan, namun sekaligus faqih dalam agama.

Buah pikir para intelektual muslim ini masih dapat dirasakan oleh dunia, bahkan hingga masa kini. Pertanyaannya, dengan gambaran kegemilangan yang ditawarkan Islam, masihkah ingin bertahan dengan pendidikan ala barat kapitalis? [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version