View Full Version
Rabu, 28 Jun 2017

Hate Speech, Persekusi, Fatwa dan Sikap Kritis

Sahabat VOA-Islam...

Belakangan ini di tengah warganet masih ramai membincangkan tentang persekusi. Fenomena merasa terterornya seorang dokter karena unggahan tulisannya mengenai ulama HRS di media sosial hingga MUI mengeluarkan fatwa soal hukum dan pedoman bermedia sosial cukup menyita perhatian sebagian banyak warganet.

Sebetulnya apa yang terjadi adalah akibat kelambanan kepolisian menindak laporan atau hal yang dilakukan oleh satu pihak ketika menyinggung pihak yang lain. Yang mengunggah ujaran kebencian (hate speech), hoax (berita bohong), fitnah, ghibah, namimah, harus ditindak cepat dan tegas sebelum yang merasa didzalimi beserta sekelompok warganet yang mendukungnya bertindak sendiri melalukan persekusi. Wakil Ketua Majelis Syuro PKS HNW menegaskan persekusi adalah tindakan yang tidak dibenarkan hukum dan agama.

Nah yang disayangkan justru keluarnya fatwa MUI soal hukum dan pedoman bermedia sosial ini. Anggota DPR mengkiritik bahwa yang seharusnya mengeluarkan panduan tersebut adalah kemkominfo. Jangan sampai tertangkap kesan oleh masyarakat bahwa pemerintah ingin membungkam sikap kritis umat Islam di tengah kebijakan-kebijakan pemerintah yang mencekik rakyat yang sudah seharusnya menuai kritikan dari masyarakat. Hal ini karena pemerintah seperti tidak mendengarkan dan merasakan kesempitan hidup yang dialami rakyat. Contohnya kenaikan TDL yang terus akan naik hingga hari Idul Fitri menjelang.

Maka seharusnya persekusi ini tidak perlu terjadi lagi. Terlebih jangan sampai fatwa yang dikeluarkan lembaga keagamaan tertinggi di Indonesia sebagai reaksi persekusi dijadikan alat untuk membungkam sikap kritis rakyat yang terbebani kebijakan pemerintah. Harus dibedakan yang mana amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran) atau muhasabah lil hukam (koreksi terhadap penguasa) yang justru diwajibkan oleh Islam dan hate speech. Keduanya jelas dua hal yang jauh berbeda.

Dalam Islam ketika ummat Islam memiliki Majelis Ummat dalam institusi Khilafah Islam sebagai wadah aspirasi dan sebagai representasi ummat, menyampaikan pendapat tanpa keberatan apa pun menjadi hak dan muhasabah lil hukam menjadi kewajiban. Penguasa tidak akan sewenang-wenang mengeluarkan kebijakan yang jelas-jelas menyempitkan rakyat.

Memang praktik pemerintahan demokrasi yang kenyataannya semakin hari semakin liberal jauh dari praktik pemerintahan Islam yang mengikuti aturan sang Maha Pengatur. Tentu penyimpangan dalam penerapannya bisa jadi ada karena yang menjalankannya adalah manusia biasa, bukan nabi apalagi malaikat. Kesigapan aparat menindak hate speech dan hidupnya suasana amar ma’ruf nahi munkar hanya akan bisa dirasakan jika ummat Islam kembali lagi hidup dalam kehidupan Islami, Khilafah Islam. Aamiin. [syahid/voa-islam.com]

Kiriman Rahmi Rahmawati, STP. Ibu Rumah Tangga, Pengajar, Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia

%MCEPASTEBIN%


latestnews

View Full Version