View Full Version
Rabu, 19 Jul 2017

Ironi Negara Hukum: Tolak Perppu

Oleh : Aruum Mujahidah

Gemah ripah loh jinawe, ayem, tentrem, kerto raharjo”, slogan inilah yang dulu begitu dielu-elukan bangsa ini. Namun, itu dulu, faktanya kini berbeda. Negeri Indonesia yang katanya makmur, katanya orang-orangnya jujur, katanya sangat toleransi, katanya beradab timur, saat ini bak jauh panggang dari api, nihil. Slogan nenek moyang kita ini sudah lama sekali terkubur, bukan oleh para penjajah, tapi anak leluhur, kita warga Indonesia.

Bagaimana tidak, permasalahan negeri ini semakin kompleks seakan tak berujung. Mulai dari kondisi hilir seperti kemiskinan, kurangnya pendidikan, harga pangan melangit, kenaikan TDL dan lain-lain sampai kepada ranah hulu yang dalam hal ini difigurkan oleh orang-orang yang menjadi kepercayaan masyarakat, seperti kasus korupsi di jajaran pejabat pemerintahan, penyuapan, kolusi dan lain sebagainya.

Dari sekian banyak polemik yang mendera negeri ini, yang paling menyedot perhatian rakyat Indonesia mulai Sabang sampai Merauke adalah kasus penistaan AL-Qur’an yang dilakukan oleh Basuki Tjahya Purnama (Ahok). Dari kasus tersebut, mampu membangunkan rakyat Indonesia yang selama ini seakan-akan tertidur dan apatis dengan berbagai masalah yang ada, sekaligus membangkitkan ghiroh juang rakyat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam.

Hal itu terbukti dengan terselenggranya berbagai Aksi Bela Islam I, II, dan III berikut disusul aksi-aksi kebangkitan lainnya. Masyarakatpun semakin kritis dan cerdas. Mulai level pejabat sampai masyarakat bawah, mereka semakin mampu melihat kebatilan yang berbungkus kebenaran palsu ataupun sebaliknya. Sekaligus semakin mengerti permasalahan sebenarnya yang melanda negeri ini.

Namun, dari bangkitnya kesadaran masyarakt ini, ada pihak-pihak yang merasa kepentingannya terganggu. Dan munculah berbagai fitnah, adu domba antar anak bangsa atas nama isu pancasila, NKRI atau apapun itu yang tujuaanya memecah belah persatuan bangsa. Masyarakat dibuat resah dengan simpang siurnya informasi yang ada. Ditimbulkannya rasa curiga antar anggota masyarakat melalui berbagai sarana dan media. Sampai akhirnya ditetapkannya Perppu No. 2 tahun 2017 tentang Ormas yang seharusnya menurut pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan mengacu keputusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, Perppu hanya dibentuk ketika ada kegentingan yang memaksa.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI No. 2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat (Perppu Ormas) ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017. Perppu ini diterbitkan menindaklanjuti pernyataan Menkunham Wiranto tentang pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia. Padahal untuk membubarkan sebuah ormas harus melalui prosedur hukum peradilan yang jelas. Dan hal ini telah diatur dalam aturan hukum kita.

Lebih dari itu, Hizbut Tahrir Indonesia adalah ormas yang sah dan legal di mata hukum Indonesia. Dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai ormas sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Aktivitas yang dilakukan juga tidak bertentangan pancasila ataupun dasar negara. Sejauh ini, masyarakat sangat merasakan bahwa keberadaanya selalu memberikan kontribusi positif bagi negara, apakah dalam mencedaskan generasi dengan pemikiran lurus (islam) untuk menjauhi liberalisme, seks bebas, narkoba, ataupun kepeduliaanya terhadap masalah negeri ini yang selalu dengan sigapnya memberikan solusi dengan pandangan-pandanganya, khususnya terkait neoimperialisme dan neoliberalisme yang jelas-jelas mengancam negeri.

Maka dari itu wajar jika muncul pernyataan bahwa Perppu No. 2 Tahun 2017 ini berpotensi sebagai “senjata pemusnah massal” terhadap hak politik rakyat yang berdampak pada pembubaran ormas sekaligus juga berpotensi mengkriminalkan anggotanya baik yang langsung maupun tidak langsung melakukan perbuatan yang dilarang dalam Perppu tanpa proses peradilan. Hal ini disampaikan secara langsung oleh Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN UI) Mustafa Fakhri dalam keterangan persnya, Jum’at (14/7/2017) di Jakarta. 

Selain itu, Perppu ini juga bertentangan dengan konstitusi yang telah memberi jaminan bagi kemerdekaan berserikat dan berkumpul sebagai hak asasi yang diakui secara umum. Perppu ini juga berpeluang kepada pemerintah secara subjektif  bertindak otoriter untuk membubarkan ormas manapun yang dibidik, bisa diciptakan stigma negatif bukan hanya Hizbut Tahrir Indonesia tanpa proses peradilan karena telah menghilangkan asas Due Process Off Law (penegakkan hukum dengan cara tidak bertentangan hukum). Karena melalui Perppu ini pembubaran ormas dapat dilakukan oleh Mendagri dan Menkunham tanpa melibatkan proses pengadilan. Dengan demikian, terbitnya Perppu tersebut merupakan sebuah ironi dari negara yang dikatakan menjunjung hukum ini.

Akhirnya banyak suara bermunculan menolak tegas Perppu tersebut. Polling di berbagai media sosial seperti akun twitter DPR RI, harian Bernas, CNN Indonesia, BeritaSatu.com. MetroTvNews, hasilnya sebagian besar didominasi oleh mereka yang menyatakan ketidaksetujuan terbitnya Perppu tersebut. Tidak hanya itu, berbagai tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan, pakar hukum, lembaga hukum serta lapisan masyarakat yang lain juga beramai-ramai menyatakan penolakan terhadap hadirnya Perppu ini.

Namun, kiranya ambisi pemerintah begitu besar untuk membungkam aspirasi rakyat. Sosial media sebagai penyebar informasi tercepat turut merasakan dampaknya. Fakta terbaru, telegram disinyalir untuk diblokir karena telah memberi peluang” perang opini” dan tidak menutup kemungkinan akan disusul instruksi pemblokiran terhadap facebook, twitter ataupun youtube.

Dari sini jelas bahwa pemerintah begitu arogan dan ingin menjadi otoriter dengan menekan hak rakyat. Ini jelas membahayakan negara. Tentu, kita tidak ingin mengulang kembali sejarah kelam bangsa ini di mana ketika “kadiktatoran” dijadikan alat untuk melenggangkan kekuasaan, kewibawaan dan kemerdekaan negara hancur. Maka, kita jangan menutup mata, lihatlah dengan bijaksana dan katakan TOLAK pada Perppu No. 2 tahun 2017. Wallahu a’lam[syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version