View Full Version
Rabu, 20 Sep 2017

Mewujudkan Makna Laa Ilaaha Illallah

Oleh:

Ummu Yaseer

 

KECENDERUNGAN untuk mensucikan, mensakralkan atau menyembah sesuatu merupakan fitrah setiap manusia. Itulah naluri beragama (gharîzah at-tadayyun) yang ada pada setiap manusia. Karena itu manusia akan merasa tenang ketika melaksanakan ibadah karena tuntutan gharizah tadayyun (naluri beragama)-nya telah terpenuhi.

Akal dapat membuktikan bahwa Al-Khâliq itu wâjib al-wujûd(keberadaannya mutlak), bersifat azali (tidak berawal dan tidak berakhir) serta memiliki kesempurnaan mutlak. Berdasarkan itu ibadah hanya boleh dan layak dilakukan kepada Al-Khâliqsemata dan tidak boleh dilakukan kepada selain Diri-Nya. Jika manusia telah meyakini keberadaan Al-Khâliq maka keyakinan itu mengharuskan dia untuk hanya menyembah dan mengabdi kepada Allah SWT, tidak kepada selain Diri-Nya.Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam QS al-Mu’minun [23]: 86-90.

Dengan demikian, pengakuan manusia bahwa Allah SWT adalah Al-Khâliq, Yang menciptakan segala sesuatu dan memiliki kekuasaan atas segala sesuatu, mengharuskan diri mereka untuk hanya menyembah dan mengabdi kepada Allah SWT semata. Dalam banyak ayat al-Quran Allah SWT telah menegaskan bahwa Dialah satu-satunya Zat Yang layak disembah. Allah SWT, misalnya, berfirman dalam QS al-Baqarah [2]: 163, QS Ali Imran [3]: 2, QS Shad [38]: 65.

Ayat-ayat al-Quran juga menunjukkan secara qath’i penafian atas berbilangnya ilâh (tuhan).  Kata ilâh baik secara bahasa maupun secara syar’i hanya memiliki satu makna, yaitu al-ma’bûd (zat yang disembah). Jadi, makna lâ ilâha tidak lain adalah lâ ma’bûda (tidak ada zat yang berhak disembah/diibadahi). Karena itu makna syahadat Lâ ilâha illâlLâh bukan hanya kesaksian atas keesaan Al-Khâliq saja, tetapi sekaligus kesaksian bahwa tidak ada yang berhak untuk disembah dan diibadahi kecuali Allah SWT. Hal ini berkonsekuensi pada upaya mengesakan Allah SWT semata dalam wujud ibadah kepada Allah SWT dalam segala bentuknya sekaligus menolak segala bentuk ibadah kepada selain Diri-Nya.

Syahadat Lâ ilâha illâlLâh mencakup penisbatan segala sifat kesempurnaan secara mutlak dan nama-nama agung kepada Allah SWT. Syahadat Lâ ilâha illâlLâh mencakup pengesaan dalam hal permohonan dan doa hanya kepada Allah SWT saja. Syahadat Lâ ilâha illâlLâh juga mencakup ibadah dan pengabdian kepada Allah SWT dengan selalu terikat hanya pada syariah-Nya. Tidak boleh seorang Muslim terikat dengan aturan apapun yang bertentangan dengan syariah-Nya. Syariah Allah SWT sendiri mengatur segala aspek kehidupan manusia baik dalam konteks individu, masyarakat maupun negara.

Pengabdian Hanya kepada Allah

Allah SWT telah melarang ibadah dan pengabdian kepada selain Diri-Nya. Dengan kata lain Allah SWT melarang tunduk dan patuh pada aturan atau hukum yang bertentangan dengan syariah-Nya. Ketundukan dan kepatuhan pada selain syariah-Nya dipandang sebagai bentuk ibadah dan pengabdian kepada selain Diri-Nya. Allah SWT berfirman: Mereka (kaum Yahudi dan Nasrani) telah menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah (TQS at-Taubah [9]: 31).

Saat mendengar ayat di atas, Adi bin Hatim berkata, “Wahai Rasulullah, mereka tidaklah menyembah para pendeta dan rahib mereka.” Namun, beliau menyanggah pernyataan itu:Benar (mereka menyembah para pendeta dan para rahib mereka). Sungguh para pendeta dan para rahib itu telah mengharamkan yang halal atas mereka dan menghalalkan yang haram untuk mereka. Lalu mereka mengikuti para pendeta dan para rahib mereka itu. Itulah ibadah (pengabdian) mereka kepada para pendeta dan para rahib mereka (HR Ahmad dan Tirmidzi).

Mewujudkan semua bentuk ibadah dan pengabdian itulah yang menjadi seruan dakwah dan misi yang diemban oleh Rasul saw., yang dilanjutkan oleh para sahabat dan generasi kaum Muslim. Rasul saw. menyeru manusia untuk beriman dan masuk Islam. Berikutnya beliau menyeru mereka yang beriman dan masuk Islam untuk menjalankan ibadah serta menjalankan semua hukum Islam dan meninggalkan semua hukum selain hukum Islam.

Yunus bin Bukair menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Najran. Di antara isinya:

“Amma ba’du, aku menyeru kalian untuk beribadah (menghambakan diri) kepada Allah dengan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian untuk tunduk pada kekuasaan Allah dengan meninggalkan ketundukan pada kekuasaan hamba (manusia)… (Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553, Maktabah al-Ma’arif, Beirut).

Rasul saw. pun langsung menerapkan hukum-hukum Islam di wilayah-wilayah yang bergabung atau wilayah-wilayah yang dibebaskan tanpa menunda-nunda pelaksanaannya seperti di wilayah Bahrain, Yaman dan seluruh Jazirah Arab hingga Tabuk yang berbatasan dengan Syam. Hal yang sama dilakukan oleh para sahabat pada masa Khulafaur Rasyidin seperti di wilayah Syam, Persia, Mesir dan lainnya. Hukum-hukum Islam itu diterapkan kepada siapapun yang ada di bawah kekuasaan Rasul saw., yakni di bawah kekuasaan pemerintahan Islam.

Alhasil, syahadat Lâ ilaha illâlLâhmencakup pengesaan Allah SWT dalam wujud ibadah dan pengabdian dengan segala bentuknya. Makna syahadat itulah yang mesti diwujudkan oleh setiap Muslim dalam semua aspek kehidupan mereka. Mewujudkan makna syahadat Lâ ilaha illâlLâh sebagaimana diamalkan oleh Rasul saw., para sahabat dan generasi kaum Muslim terdahulu itu menjadi tugas dan tanggung jawab kita. Karena itu memperjuangkan tegaknya syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan—sebagai konsekuensi dari syahadat Lâ ilaha illâlLâh—adalah hal yang niscaya.WalLâh a’lam bi ash-shawâb.*


latestnews

View Full Version