View Full Version
Sabtu, 18 Nov 2017

Menyoal Penyederhanaan Listrik

RENCANA Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT PLN (Persero) untuk menyederhanakan penggolongan pelanggan listrik menciptakan pro korntra ditengah masyarakat. Pasalnya masyarakat khawatir jika penyederhanaan ini terjadi dan mereka diminta menaikkan golongan listriknya maka biaya yang dikeluarkan akan semakin banyak, tagihan semakin naik dan sikap konsumtif masyarakat tidak terkontrol. Dari serikat buruh menolak rencana ini.

Emak emak pun siap menjerit jika penyederhanaan dilakukan karena beban keluarga akan semakin tinggi. Sementara itu disisi lain PLN menjanjikan beberapa hal diantaranya abonemen akan tetap, Tarif dasar listrik juga akan tetap, dan penamabahan daya akan digratiskan. Pemerinta dan PT PLN menggodok aturan penyederhanaan golongan pelanggan listrik rumah tangga, agar masyarakat lebih leluasa menggunakan perangkat elektronik.

Rencananya pelanggan non subsidi golongan 900-4.400 Volt Ampere (VA) akan bergabung menjadi satu di 5.500 VA. Sementara golongan 2 yaitu 5500 VA dan 12.400 VA naik jadi 13.000 hingga loss stroom. Apabila masyarakat tidak menambah daya listrik sekarang sesuai program pemerintah maka nanti jika membutuhkan penambahan daya harus bayar dengan harga yang mahal.

Sehingga seolah himbauan ini menekan masyarakat untuk menambah meskipun mereka mengatakan tidak memaksa masyarakat. Kemelut listrik sebenarnya hampir terjadi setiap tahunnya. Tarifnya naik tahun demi tahun dan semakin mencekik rakyat. Memang wacana untuk menyederhanakan golongan listrik ini baru, namun dari dulu masalahnya sama yaitu seputar akibat dan kerugian yang dialami masyarakat dengan kebijakan pemerintah yang semakin berwarna warni.

Kalau kita lihat bagaimana nasib rakyat hari ini, yang pertama pemerataan listrik hingga hari ini belum terjadi, diberbagai pelosok daerah di Indonesia masih banyak yang diliputi kegelapan tanpa adanya penerangan PLN. Akses yang tidak mudah dijangkau. Klise sekali. Salah satu teman saya ada di pelosok Sulawesi hidup belasan tahun tanpa ada aliran listrik PLN.

Penerangan seadanya dari diesel dan sampai hari ini baru ada tiang listriknya saja, belum ada listriknya. Daripada meninggikan golongan listrik dengan alasan agar lebih leluasa menggunakan alat elektronik apakah tidak lebih baik menggunakan dana yang banyak -untuk menggratiskan penambahan daya- itu dialihkan untuk meratakan listrik didaerah pelosok? Ijinkanlah mereka melihat cahaya lampu di malam hari agar nanti juga bisa berkontribusi untuk negeri. Daerah pelosok identik dengan daerah tertinggal karena pemerintah juga meninggalkan dari pengurusannya.

Kemudian masalah kedua, dan ini yang terberat adalah daya beli masyarakat terhadap listrik. Indonesia negeri kaya sumber daya gemah ripah ini menyimpan jutaan penduduk miskin dan menengah kebawah yang terengah-engah memenuhi kebutuhan hidupnya. Bukan hanya kebutuhan sandang pangan papan, tapi lebih miris untuk makan saja susah! Lihat saja banyak kisah berseliweran di media social bagaimana rakyat mati satu demi satu karena tidak bisa memenuhi kebutuhannya yang paling mendasar, tidak bisa makan! Makan saja susah apalagi bayar listrik? DItambah pula bebannya dengan penambahan daya oleh pemerintah, kira kira rakyat mau bayar pakai apa? Daun?

Padahal kebutuhan mendasar pada manusia bukan hanya sandang, pangan, papan saja. Tapi ditambah dengan pendidikan, kesehatan dan keamanan. Ini asasi/ hak mendasar. Bukan bermaksud menolak semua kebijakan pemerintah, tapi tolonglah melihat realita yang terjadi sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan yang pro terhadap masyarakatnya. Susah memang ketika kita hidup dalam jeratan kapitalisme, listrik pun dikapitalisasi. Dua permasalahan mengenai listrik ini terjadi karena negara tidak optimal dalam meriayah (mengurusi) masalah rakyatnya. Listrikpun dijual belikan, harusnya dengan Negara se-kaya ini listrik yang merupakan kebutuhan mendasar bisa diberikan Cuma-Cuma atau gratis.

Apakah ide gila memberikan listrik gratis? Tentu saja tidak. Dengan syarat Negara memiliki banyak penghasilan. Penghasilan yang banyak bisa diperoleh ketika Negara mengelola dengan baik sumber daya alam dan manusianya. Indonesia memiliki laut yang luas dan kaya, tambang tak terhitung banyaknya, dan manusia manusia yang bisa berdaya dengan pemuda yang sangat banyak.

Tapi yang dilakukan justru menjual kepada asing dan asheng. Sibuk menawarkan sumber daya alamnya yang seharusnya bisa dikelola sendiri dengan prinsip kemandirian ekonomi. Indonesia bisa memajukan sector ekonomi real dan tidak bingung dengan investasi merugikan atau pejualan asset negeri. Yang terburuk adalah penguasa sibuk untuk menutupi kesalahan, pencitraan, korupsi tiada henti dan bergelut dengan kepentingan korporasi. Walhasil Indonesia hanya memunguti remah remah kapitalisme global dan malah bebani masyarakat dengan pajak pajak pajak! *

 

Masyithoh Zahrodien

Kota Malang, Jawa Timur


latestnews

View Full Version