View Full Version
Ahad, 26 Nov 2017

Ancaman Nyata Anti-NKRI: Kelompok Bersenjata Papua

Oleh:

Eka Rahmi Maulidiyah 

Mahasiswi Sastra Inggris Universitas Airlangga

 

TENTARA Pembebasan diri Tentara Pembebasan Nasional - Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) atau yang disebut pemerintah sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) kembali meresahkan warga Papua akhir-akhir ini, terutama di wilayah Kampung Banti – Utikini, Distrik Tembagapura. Dikabarkan bahwa mereka telah menyerang pos satuan tugas Brimob di Mile 67 dan Mile 66 area tambang PT Freeport pada tanggal 29 Oktober 2017 yang lalu. Meskipun tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu, tapi peluru mereka menembus kendaraan operasional Brimob yang parkir di depan pos tersebut. Tidak hanya itu, mereka juga menyerbu Markas Polsek Tembagapura dan memperkosa salah satu penduduk di wilayah tersebut.

Melihat hal tersebut, aparat kepolisian segera mengevakuasi warga sekitar, guru,  petugas medis, dan pasien dari RS Waa Banti menuju tempat yang dianggap aman agar tidak menjadi target sasaran oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo juga melakukan negosiasi untuk menyelamatkan warga sekitar yang diduga telah disandera oleh KKB.

Parahnya, mereka telah dengan jelas menyatakan perang melawan Indonesia melalui pernyataan yang disampaikan dalam upacara gabungan 7 KODAP yang dihadiri oleh ribuan rakyat Papua dan prajurit TPNPB. “Kami nyatakan siap perang dengan militer Indonesia untuk Papua merdeka,” kata Goliath Tabuni, pimpinan panglima tinggi Komando Nasional TPN-OPM pada tanggal 8 Januari 2017.

Pernyataan tersebut ditujukan kepada Pemerintah Indonesia, dunia internasional, Organisasi Papua Merdeka, dan birokrat orang asli Papua di seluruh wilayah Papua Barat.

Mereka telah menyatukan kekuatan senjata dan amunisi dan menentukan patok wilayah yang ingin mereka kuasai. Mereka juga melarang militer Indonesia melintasi wilayah yang telah dipatok. Jika militer Indonesia berani melintasi wilayah mereka, mereka tidak segan-segan untuk menembak mati.

Permasalahan tersebut menunjukkan potensi besar Indonesia akan kehilangan Papua. Namun, pemerintah terlihat tidak serius dalam menanggapinya. Hal itu ditandai dengan enggannya Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo untuk mengomentari petisi referendum Papua Barat yang telah ditanda tangani oleh lebih dari 70 persen penduduk Papua Barat atau sekitar 1,8 juta. Beliau malah melimpahkan masalah genting dalam negeri ini seluruhnya kepada Menko Polhukam Wiranto untuk menanggapi masalah tersebut.

Selain itu, Staf Khusus Presiden Lenis Kogoya meminta aparat menyelesaikan dengan cara damai walaupun KKB menggunakan kekerasan. "Kalau senjata dilawan dengan senjata, itu dunia sampai kiamat tidak akan selesai. Kalau kekerasan dilawan kekerasan terus, tidak akan selesai," kata Lenis. Beliau juga mengatakan bahwa mereka bukan teroris dan menyarankan kepada para tetua adat Papua untuk melakukan mediasi sehingga diketahui apa yang mereka inginkan. 

Jika dibandingkan dengan perlakuan pemerintah terhadap kaum Muslim, sungguh sangat bertolak belakang. Terlihat jelas adanya ketidakadilan pemerintah dalam menyikapi permasalahan antara kaum muslim dan anggota KKB. Jika pelaku penembakan adalah kaum muslim, pasti akan dicap sebagai teroris.

Namun, jika pelaku penembakan adalah non-muslim maka dikatakan mereka bukan teroris. Jika kaum muslim berdakwah untuk menerapkan Islam kaffah, maka dikatakan sebagai pemecah belah NKRI dan anti-pancasila. Namun, faktanya TPN-OPM yang telah menyatakan memerangi militer, ingin memisahkan diri dari Indonesia, dan telah nyata melakukan perbuatan kriminal masih disebut sebagai kelompok kriminal bersenjata, tidak dianggap mengancam NKRI dan anti-pancasila. Hal ini menunjukkan bahwa definisi anti-pancasila dan anti NKRI merupakan persepsi tunggal dari penguasa yang seharusnya dikritisi oleh kaum muslim.

TPN-OPM telah bediri sejak tahun 1960-an dan sampai saat ini hanya memiliki anggota yang sedikit. Jika pemerintah tegas untuk membasmi mereka, pasti permasalahan ini akan selesai dengan mudah. Namun, lambatnya pemerintah dalam menangani permasalahan ini justru memberikan ruang kepada mereka untuk berkembang. Jika hal tersebut dibiarkan, maka dengan mudahnya pemerintah akan kehilangan potensi besar berupa sumber daya alam yang dimiliki Papua.

Jika kemudian hari Papua berhasil memisahkan diri, apakah pemerintah kita bisa dikatakan berhasil? Padahal negara-negara kapitalis, sebut saja salah satunya AS dengan surga emas Freeport di tanah itu, siap menguasai mereka dengan bantuannya untuk memerdekakan mereka. Tentu saja, politik balas budi pasti akan berlaku. Lalu, masih santai kah penguasa menghadapi permasalahan ini? Di mana kegarangan ‘gebuk' siapapun yang melawan Pancasila saat ini? Bukankah “persatuan Indonesia” sedang dikoyak oleh OPM di depan mata mereka?

Pantas untuk kita renungkan bersama dengan akal sehat, di mana letak saktinya Pancasila dan kuatnya NKRI bila hanya dimaksudkan untuk menggebuk dan membungkam suara Islam yang mengkritisi kerusakan penguasanya. Lalu, di mana akal sehat kita bila ini semua terus berlangsung namun kita diam saja? Bersuaralah wahai umat Islam!*


latestnews

View Full Version