View Full Version
Rabu, 29 Nov 2017

Listrik Mubazir, Kesalahan Liberalisasi Listrik

SETELAH surat Menteri Keuangan Sri Mulyani yang berisikan potensi gagalnya PLN akibat proyeksi hutang jatuh tempo yang semakin membengkak sementara kinerja keuangan makin turun, kata Menkeu proyek 35.000 MW yang menjadi program pemerintah perlu ditinjau ulang. Meskipun proyek ini sebetulnya telah berjalan sebesar 10.000 MW dari keseluruhan pada tahap 1. Proyek ini memang tidak menguntungkan negara ini sama sekali karena PLN bekerjasama dengan swasta dimana sebesar 35 proyek dengan kapasitas 10.681 MW dikerjakan oleh PLN dan 74 proyek dengan kapasitas 25.904 MW dikerjakan oleh swasta/Independent Power Producer (IPP).

Wacana meratakan daya listrik rumah tangga menjadi 4400 VA itu adalah akal pemerintah untuk mengurangi mubadzirnya listrik yang sudah dibeli ke IPP berdasarkan PPA. Pasalnya harga per KWh listrik tetap, cuma dayanya ditambah. Hal ini didukung oleh pernyataan menteri ESDM Ignasius Jonan PLN bakal menghapus kelas golongan pelanggan listrik Rumah Tangga. Masyarakat pasti enggan jika kapasitas listrik rumahnya tiba-tiba berubah drastis ke angka yang lebih tinggi. PLN juga menduga bahwa ini adalah salah satu cara untuk menyeragamkan tarif listrik di seluruh golongan. Jika semua warga sudah menggunakan listrik dengan golongan yang sama bukan tidak mungkin tarif listrik per KWh juga akan disamakan.

Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir mengatakan program peralihan daya listrik Rumah Tangga ke 4400 VA nantinya tidak bersifat memaksa dan diserahkan kebutuhan masyarakat. Program penyederhanaan golongan listrik rumah tangga bakal dilakukan secara bertahap. Rencana transisi akan berlangsung sampai Juli 2018. Jikalau demikian, harusnya pemerintah mengadakan soasialisasi terebih dahulu, sehingga masyarakat yang akan meminta untuk dinaikkan atau tetap.

Pemerintah mengklaim penambahan daya listrik cuma-cuma akan mendorong pertumbuhan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). UMKM jenis apa yang akan terdorong ? pasalnya tidak semua UMKM membutuhkan daya listrik sebesar itu, perusahaan yang berkategori sedang saja biasanya hanya membutuhkan listrik kisaran 2000 VA tidak sampai 4400 VA. Daya listrik yang demikian besar sesuai jika memang usahanya berskala besar dan skala yang besar hanya dimiliki oleh pabrik-pabrik yang besar bukan UMKM.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa meminta pemerintah mengkaji terlebih dahulu rencana penyederhanaan golongan listrik non-subsidi. Menurut dia, pemerintah juga perlu menimbang aspek penghematan energy. Fabby beralasan,dengan daya yang tersedia lebih besar maka akan mendorong seorang pelanggan untuk mengonsumsi listrik lebih banyak, sehingga ujung-ujungnya pada potensi tambahan investasi di pembangkit. Perlu adanya sosialisasi, jika terjadi perubahan golongan, berarti juga harus mengganti miniature circuit breaker (MCB) sekian juta pelanggan dan ini membutuhkan biaya yang cukup banyak.

Disisi lain, Fabby menduga, program penyederhanaan ini merupakan strategi PLN untuk memanfaatkan pasokan listrik yang berlebih. Padahal, kata Fabby, pasokan tersebut tidak seharusnya dibebankan sebagai kebutuhan listrik rumah tangga masyarakat. Hal ini dikaitkan dengan nasib pembangkit listrik swasta (IPP) dan PLN. Pertumbuhan volume penjualan listrik memang sedang mengalami perlambatan konsumsi. Fabby mengatakan kajian secara matang perlu dibuat. Sebab, kesalahan strategi dalam penyederhanaan golongan listrik untuk rumah tangga dapat menyusahkan PLN ke depannya.

Dengan rencana ini, ke depan pemerintah mendorong agar rumah tangga Indonesia dapat menggunakan kompor listrik. Kompor listrik menggunakan sekitar 300-500 watt daya listrik dengan biaya per kalori lebih rendah dari penggunaan LPG 3 Kg. Pengurangan penggunaan LPG 3 Kg bertujuan untuk mengurangi angka impor dan subsidi LPG yang saat ini sudah membengkak dari Rp.7 trilliun menjadi Rp. 20 trilliun. Tujuan perubahan golongan listrik adalah memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk menggunakan listrik, sehingga bisa saja dengan akses yang lebih besar, konsumsi listrik turut meningkat. Jika hanya dialihkan dari satu komoditas yaitu gas ke komoditas yang lain yaitu listrik itu juga bukan solusi, pasalnya batu bara yang dimiliki oleh Indonesia sudah banyak yang di privatisasi oleh swasta. Sehingga Indonesia pun harus membeli dengan biaya yang tidak murah.

Alangkah baiknya sekiranya solusi yang ditawarkan adalah solusi yang memudahkan masyarakat untuk menggunakannya. Penggunaan listrik dalam suatu negara harusnya diatur secara baik sesuai aaturan dalam islam. Listrik. Islam mengatur bahwa sumber daya energy yang jumlahnya melimpah adalah milik umat, dan yang bertugas untuk mengelola adalah negara.

Negara memilki anak bangsa yang kompeten untuk mengelola itu semua. Lulusan perguruan teknik elektro, mesin dsb mampu dikerahkan untuk mengelola sumber daya alam milik negara. Sayangnya negara tidak memfasilitasi untuk itu justeru negara menyerahkan pengelolaan kepada asing dan aseng. Sumber daya alam milik negara banyak dikuasai oleh negara lain, diprivatisasi oleh swasta.

Sumber daya alam merupakan milik umat (milkiyyah ‘ammah), maka perusahaan swasta tidak berhak untuk ikut campur mengelolanya. Pengelolaan sumber daya alam pun tetap dengan memperhatikan lingkungan dan hasilnya dikembalikan kepada masyarakat. Negara membangun sendiri infrastruktur dan dikembalikan dalam bentuk tarif. Tarif ini dalam bentuk nol (gratis), tarif margin negatif (subsidi), tarif margin impas nol (impas) maupun tarif margin positif (untung). Intinya tidak membebani masyarakat untuk menjangkaunya. Inilah pengaturan listrik dalam islam, masyarakat akan menikmati suplai listrik yang murah, bersih, selamat, reliabel dan berkelanjutan dengan pengelolaan energi yang sesuai syariat.*

Defi Winarsih
Mahasiswa Unesa Surabaya, Jawa Timur


latestnews

View Full Version