View Full Version
Selasa, 12 Dec 2017

Liberalisasi Listrik membuat Rakyat makin Tercekik

Sahabat VOA-Islam...

Pemerintah memastikan akan mencabut subsidi listrik berdaya 900 Volt Ampere yang dinikmati 18,94 juta pelanggan terhitung mulai awal tahun 2017. Subsidi listrik yang akan dicabut itu berkisar 82,2 persen dari total jumlah pengguna listrik 900 VA yang sebanyak 23,04 juta pelanggan. 

Akhirnya  tagihan rekening listrik pelanggan 900 VA non-subsidi akan meningkat dari angka saat ini Rp74 ribu menjadi Rp180 ribu pada Mei 2017 atau ketika subsidi sepenuhnya dicabut. Dengan kata lain, anggaran masyarakat untuk membayar tagihan listrik 900 VA akan melonjak 143 persen dalam enam bulan (cnn.indonesia).

Daya minimal kelistrikan untuk keperluan rumah tangga dinaikkan standarnya menjadi 4400 VA. Tak ayal wacana ini mengundang pro dan kontra.Menaikkan daya listrik sendiri bukan perkara murah. Masyarakat akan dibebani biaya kenaikan daya yang tidak murah, mencapai jutaan rupiah per sambungan. Penyetaraan ini pun bisa menghapus tarif listrik subsidi, disetarakan dengan tarif listrik non subsidi. Double blow.

Dirut PLN, Sofyan Basir, menyatakan bahwa kenaikan daya listrik ini permintaan masyarakat. Pertanyaannya, masyarakat yang mana? Masyarakat kecil yang sekarang ekonominya ngos-ngosan sampai harus berhemat listrik? Ya jelas bukan. Ini bukan permintaan masyarakat.

Ternyata, pemerintah merasa khawatir dengan kondisi keuangan PLN yang harus membayar pembayaran pokok dan pinjaman yang tidak didukung oleh pertumbuhan kas bersih operasi. Ditambah lagi PLN harus investasi untuk program pembagunan 35.000 MW yang merupakan penugasan pemerintah. Kemenkeu berpandangan, pembayaran pokok dan bunga utang PLN terus meningkat di beberapa tahun mendatang. Sementara itu pertumbuhan penjualan listrik tak sesuai target akibat ekonomi yang lebih rendah dari proyeksi. Pemerintah juga tidak ada kebijakan kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) (finance.detik.com, 27/9/2017) .

UU No15/1985 tentang ketenagalistrikan ini mengijinkan pihak swasta, yakni Independent Power Producer (IPP) untuk turut menyediakan pembangkitan listrik di negeri ini. Mega proyek 35 GWe melibatkan IPP pada sekitar 25 GWe kapasitas pembangkitan listrik. Sebagian besar proyek ini diadakan di Pulau Jawa yang notabene Jawa-Bali tidak kekurangan suplai listrik. Malah, dengan melesunya daya beli masyarakat, konsumsi listrik belakangan ini justru berkurang.

Celakanya, PLN tetap harus membayar ke IPP walau listriknya tidak dikonsumsi. Hal ini merupakan cerminan liberalisasi sektor kelistrikan. UU No.22 tahun 2001 juga menjadi payung hukum legalisasi minyak dan gas di Indonesia. Indonesia mempunyai sumber energi primer yang melimpah tapi dijual untuk menerangi negara lain.

Beban hutang yang ditimpakan negara kepada rakyat dan pemaksaan program penyederhanaan daya, dan pemaksaan program 35GWe adalah imbas ketika adanya liberalisasi. Rakyat diminta untuk menanggung sendiri kebutuhannya, termasuk listrik. Liberalisasi menjadikan pemerintah lepas tangan dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Pemaksaan penyederhanaan daya keperluan rumah tangga pun mendorong rakyat menjadi lebih konsumtif. Sehingga akan lebih besar lagi biaya pengeluarannya.

Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, ternyata masih belum mengenal bahwa Islam punya solusi atas permasalahan ini. Islam yang diturunkan Allah swt., ternyata tidak hanya mengatur perkara ibadah saja, ia pun mengatur segala aspek kehidupan, termasuk kelistrikan. Dalam Islam, listrik termasuk ke dalam kepemilikan umum. Listrik yang digunakan sebagai bahan bakar termasuk ke dalam kategori ‘api’ atau energi, sabda Rasulullah saw, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, padang rumput, air, dan api (energi).” (HR. Ahmad)

Sumber energi pembakit listrik sebagian besar berasal dari barang tambang, seperti migas dan batu bara, yang juga masuk ke dalam kepemilikan umum. Karena masuk ke dalam kepemilikan umum, barang tambang migas dan batu bara tidak boleh dikomersilkan pengelolaannya dan juga hasilnya. Barang tambang ini harus dikelola oleh pemerintah dan hasilnya dikembalikan sepenuhnya untuk memenuhi kepentingan rakyat.

Negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan listrik setiap rakyatnya, baik yang kaya atau yang miskin, yang tinggal di kota atau di pedalaman. Islam pun memandang negara dan pemerintahannya sebagai ra’in, sebagai pemimpin, yang bertanggung jawab mengurusi semua urusan rakyatnya, bukan pedagang dengan prinsip untung rugi.

Indonesia yang Allah anugerahi kekayaan alam yang melimpah pasti bisa memenuhi kebutuhan listrik rakyatnya dengan kuantitas dan kualitas yang baik jika mau menggunakan prinsip di atas. Wallahu’alam bish shawab. [syahid/voa-islam.com]

Kiriman Witia, Bandung


latestnews

View Full Version