View Full Version
Rabu, 17 Jan 2018

LGBT Bersarang Dibalik Demokrasi?

 
Oleh: Ayunin Maslacha
 
(Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Surabaya)
 
Ini adalah negri Demokrasi. Ini adalah negri hukum. Yang bermakna negara ini dengan sistem Demokrasi yang dianutnya mengadopsi kebebasan dalam 4 hal: beragama, berpendapat, berperilaku dan berkepemilikan, sebab rakyat berdaulat didalamnya, tak ada otoriter dari para penguasa. Hingga hukum yang terlahir dalam negri Demokrasi akan selalu memuat nilai ketiganya. Seperti ungkap John F. Kennedy: “Hak setiap orang berkurang ketika hak orang lain terancam.” (Cummings and Wise, 1985: 95).
 
Jadi, tidak ada batasan mutlak mengenai kebebasan dalam Demokrasi, sebab akal manusia memiliki pemahaman berbeda tentang batasan dimana ia bisa bebas berbuat. Itulah cita-cita para pembesar Amerika Serikat, tempat dimana Demokrasi lahir pada tahun 1783, sebagai ujung tombak atas segela kekesalan penduduk dunia Barat terhadap Monarki dimasa sebelumnya (Garis Besar Sejarah Amerika, hal.87, 92-95).
 
Akan tetapi, yang selalu dilupakan dalam pembahasan Demokrasi ialah bahwa dalam memimpin dunia, Demokrasi selalu berkoalisi dengan Kapitalisme, Sekulerisme, dan Liberalisme. Kapitalisme telah nyata membuat kesenjangan sosial sebab distribusi kekayaan yang tidak merata. Sekulerisme yang dianggap telah menjadikan lemahnya peran agama dan terjadinya kerusakan akhlak. Liberalisme dinyatakan menjadikan semua orang ingin bebas, berani menentang agama, dan tak peduli pada nilai-nilai. Hingga wajarlah, keberadaan penyakit sosial semacam LGBT ini menjadi marak dalam negri-negri Demokrasi. Pembiaran atau bahkan pelegalan terhadap LGBT terjadi diberbagai negara yang menganut sistem Demokrasi. Secara de facto, PBB mengakui 22 negara telah melegalkannya (Freedom to Marry Organization, 2014).
 
LGBT kini telah menjelma sebagai kekuatan politik yang telah diakui oleh Amerika Serikat dalam konstelasi internasional dan mendukung "pernikahan sejenis" sebagai puncak perjuangan kaum LGBT. AS bahkan secara serius mendanai program baru bernama “Being LGBT in Asia” yang diluncurkan oleh UNDP dengan pendanaan US$ 8 juta dari USAID dan dimulai Desember 2014 hingga September 2017. Program ini fokus beroperasi di Asia Timur dan Asia Tenggara khususnya di Cina, Indonesia, Filipina dan Thailand, dengan tujuan meminimalisir kendala bagi kaum LGBT untuk hidup di tengah masyarakat.
 
Terbukti! Di Indonesia pada 14 Desember 2017, Secara tekstual MK tidak mensahkan perbuatan LGBT. Akan tetapi, dengan menolak uji materi terhadap ayat 1 sampai 5 dalam pasal 284, 285, dan pasal 292 KUHP. Itu memuat makna tersirat bahwa ada pembiaran terhadap LGBT dalam negara ini. Dengan berdalih, bahwa bukan ranahnya MK membuat ketentuan perundang-undangan yang baru jika permohonan dikabulkan, sebab itu adalah otoritas Presiden dan DPR sebagai pembentuk UU (validnews.co, 14/12/2017). Pembiaran terhadap LGBT ini terjadi sudah sejak lama oleh pemerintah Indonesia. Sebab dianggapnya sebagai rana privasi yang mana negara tak berhak mengurusinya. Padahal dampak buruk dari perbuatan LGBT ini tak hanya dirana privasi pelakunya saja, tapi juga pada sosial  masyarakat yang akan mengalami degradasi moral.
 
Penguasa tak membendung jajahan ini, justru menerimanya dengan tangan terbuka. Dari sini nampaklah, betapa pragmatis paradigma penguasa. Padahal telah jelas apa yang diupayakan AS adalah menentang salah satu ajaran Islam yang mengharamkan perbuatan LGBT. Dan Islam adalah agama mayoritas penduduk negeri ini. Tentu saja, kekuatan politik dibalik perjuangan LGBT akan tumbuh subur didalam ruang Demokrasi yang memberikan kebebasan. Yang menyasar kaum Muslim untuk merusak pola pikir dan pola sikapnya. Supaya menjadi pribadi liberal sebagaimana pribadi mereka. Dan tak menutup kemungkinan, bisa saja Indonesia mengikuti negera-negara Demokrasi lain yang lebih dulu mengakui eksistensi LGBT secara konstitusional sebab konsekuensi dari menganut sistem Demokrasi. Ini tak bisa dibiarkan!
 
Memberantas penyimpangan seksual ini haruslah dilakukan mulai dari akarnya, yakni dengan mencampakkan ideologi sekuler berikut paham Liberalisme, sistem politik Demokrasi dan sistem ekonomi Kapitalisme. Kemudian diganti dengan ideologi Islam yang diterapkan dengan syari'ahnya secara total. Sebab Islam memiliki langkah preventif (pencegahan) terhadap perilaku LGBT ini.
 
Seperti mewajibkan negara untuk terus membina keimanan dan memupuk ketakwaan rakyat, supaya ridho atas segala bentuk peraturan tentang interaksi sosial antar sesama manusia. Dan bagi rakyat non-Islampun akan mengikuti aturan negara. Islampun memiliki langkah kuratif (menyembuhkan). Seperti bagi kaum LGBT pemula yang belum melakukan seks sesama jenis, maka akan diajarkan bertaubat kepada Allah. Namun bagi kaum LGBT yang sudah melakukan seks sesama jenis, maka Islam akan memberi hukuman mati untuk memutus siklus LGBT yang ada ditengah masyarakat.
 
Seperti yang pernah Rasulullah saw. sabdakan: "Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Nabi Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi)" (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi). Wallahu a'lam bisshawab. [syahid/voa-islam.com]
 

latestnews

View Full Version