View Full Version
Kamis, 01 Mar 2018

Gencatan Senjata, Bergunakah untuk Ghouta?

Oleh: Novia Roziah (Komunitas Revowriter Jember)

Pemerintah Rusia dibawah komando Presiden Vladimir Putin mengusulkan setiap hari semua pihak yang berseteru di Damaskus meletakkan senjata selama lima jam. Mulai pukul 09.00 hingga pukul 14.00 waktu Suriah. Per tanggal 27 Februari 2018, usulan ini diberlakukan.(Jawapos)

Gagasan yang diberikan oleh Presiden Rusia  ini mendapatkan dukungan dari seluruh anggota Dewan Keamanan PBB. Gencatan senjata selama lima jam setiap hari ini bertujuan untuk memberikan waktu kepada penduduk Ghouta untuk mengambil bahan pokok. Yang sakit bisa dirujuk ke kota atau daerah lain yang lebih aman. Serta bertujuan untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan. Benarkah demikian yang terjadi?

Di kutip The Guardian, kenyataan di lapangan berbicara lain. Penduduk Ghouta di kepung dengan ranjau dan penembak jitu. Kemudian ditambah dengan adanya hambatan berupa prosedur keamanan dan akses yang tak mulus. Dimana warga Ghouta  dihalang-halangi saat hendak mengungsi keluar dari Ghouta Timur. Jika mereka menuju ke area pro Pemerintah Bashar al-Assad, maka mereka akan dibunuh karena selama ini tinggal di area pertikaian.

Seorang dokter asal Turki yang menjadi relawan di syiria, menyatakan bahwa, “jeda pertempuran selama lima jam tidak akan membuat gencatan senjata bertahan. Apa yang bisa dilakukan dalam waktu lima jam jika kondisi Ghouta Timur seperti ini.” Keluhnya sebagaimana dilansir BBC. Syirian Observatory for Human Rights (SOHR) melaporkan bahwa baru dua jam jeda pertempuran berlaku, sejumlah mortir menghantam tiga lokasi di Ghouta Timur.

Pada hari minggu (24/2) serangan pasukan Assad yang di dukung oleh Rusia dan Iran menewaskan 14 warga, termasuk anak-anak. Senin lalu, gempuran kembali terjadi di kota Douma pussat Ghouta timur, dan menewaskan sedikitnya 10 orang. Data SHOR juga mencatat Selama sepekan terjadi serangan di Ghouta timur, ada 522 orang tewas. Pengeboman atas Ghouta timur ini memjadi salah satu fragmen terburuk dalam konflik suriah. (Kompas)

Hilangnya rasa kemanusian untuk penduduk Ghouta

Ghouta timur yang dihuni oleh sekitar 400.000 jiwa ini  berada dalam zona pembantaian. Klaim pemerintah Bashar al-assad untuk memberantas terorisme tak ubahnya hanya isapan jempol belaka. Korban yang berjatuhan malah lebih banyak dari kalangan sipil. Anak anak bahkan bayi yang tak berdosa pun ikut terkena serangan pasukan Assad yang membabi buta.

Nyawa umat islam  tidak pernah ada harganya. Penduduk dunia pun hanya bisa diam. Mereka hanya berdiskusi untuk  mengulur waktu penderitaan warga Ghouta. Berbagai retorika penyelamatan semu telah mereka berikan. Tapi, serangan demi serangan pasukan Assad pada warga sipil tak bisa dihentikan.

Entah sudah berapa korban jiwa yang berjatuhan sampai hari ini. Yang pasti, konflik di Ghouta tak kan pernah bisa terhenti dengan skema gencatan senjata yang diaminkan oleh seluruh anggota Dewan Keamanan PBB.

 

Ghouta butuh Perisai, bukan Gencatan senjata

Setelah dunia menyaksikan pembantaian yang tak manusiawi ini. Dunia juga menyaksikan bahwa solusi yang diberikan untuk ghouta takkan pernah bisa menyelamatkan warganya. Seberapapun besarnya bantuan kemanusiaan yang diberikan untuk warga Ghouta, tidak akan mampu membuat warga Ghouta hidup tenang dari intaian mortir dan rudal pesawat Rusia.

Yang dibutuhkan warga Ghouta adalah pelindung. Ghouta membutuhkan Perisai ynag mampu menjaga dan menaungi nya. Tidak hanya umat islam di Ghouta yang akan terlindungi, tapi seluruh umat islam di dunia akan hidup aman dan tentram dibawah naungannya.

Ialah khilafah Rasyidah ala minhajin nubuwwah, yang akan mewujudkan kekuasaan islam. Khalifahnya akan menjadi perisai. Menghadang setiap gangguan yang datang di hadapan umatnya, baik Ghouta dan seluruh dunia. Wallahu a’lam bisshowab. [syahid/voaa-islam.com]


latestnews

View Full Version