View Full Version
Senin, 12 Mar 2018

Menanti Pemimpin Terbaik

Oleh: Moswaa

Muhammad Zaadit Taqwa,  Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) sontak menjadi perhatian publik atas aksi kartu kuningnya pada Presiden Jokowi saat peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia ke-68. Dalam aksi itu, Zaadit mengkritisi 3 hal,  salah satu diantaranya adalah Dwi Fungsi POLRI/ABRI

Sebagaimana kita ketahui, beberapa waktu lalu, Mendagri, Tjahyo Kumolo, mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan. Mendagri menunjuk dua perwira petinggi (Pati) Polri menjadi  pengganti dua pelaksana tugas (Plt) Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara. Mereka adalah Asisten Kapolri bidang Operasi (Asops) Irjen Mochamad Iriawan menjadi Plt Kepala Daerah Jawa Barat dan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Irjen Martuani Sormin yang diplot menjadi Plt Kepala Daerah Sumatera Utara.

Pernyataan Mendagri tak ayal memunculkan reaksi pro kontra di tengah masyarakat.  Bagi yang pro menyatakan keputusan Mendagri tak menyalahi aturan. Mereka menyatakan tujuan yang diutarakan Mendagri cukup baik yakni demi menjaga stabilitas di beberapa daerah yang dianggap memiliki tingkat kerawanan cukup tinggi menjelang pilkada

Namun,  banyak juga yang kontra terhadap pernyataan Mendagri.  Mereka bukan hanya dari kalangan Parpol Oposan, tetapi dari kalangan intelektual maupun pengamat politik. Menurutmereka,  menjaga kewenangan dan pemerintahan jelaslah dua hal yang berbeda.  Jika digabungkan penunjukkan Pati menjadi Plt dinilai sudah menabrak UU Polisi  yang melarang dwi fungsi. Sehingga, rezim saat ini terlihat semakin keluar jalur dalam pengelolaan kenegaraan.

Jika kita telaah,  beginilah wajah demokrasi. Sistem yang sejak awal  sudah salah karena menempatkan akal manusia sebagai standar menentukan salah-benar,  baik-buruk. Sistem yang memungkinkan manusia membuat peraturan hidup sendiri, dan karena hal itulah menjadi rentan untuk dibelokkan sesuai dengan kepentingan pembuat peraturan/ penguasa.

Bahkan jika peraturan dianggap kurang memadai, maka akan ada revisi terhadap peraturan yang telah dibuat sebelumnya. Selain itu, dalam sistem ini tidak menutup kemungkinan penunjukkan pejabat didasarkan kepentingan golongan tertentu dalam rangka melanggengkan kekuasaan.

Berbeda dengan Islam. Islam memandang urusan kepemimpinan merupakan perkara yang sangat penting karena menyangkut fungsinya.  Mahsyur kisah wafatnya Rasulullah yang ditunda proses pemakamannya selama 3 hari karena para sahabat mendahulukan urusan mengangkat pemimpin pengganti rasulullah (al Khalifah) pada masa itu. Pentingnya peran seorang pemimpin tergambar dari hadits Rasulullah sebagai berikut:

”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll).

Pemimpin  yang dimaksud dalam Islam adalah Junnah/perisai yakni penanggung jawab seluruh urusan ummat yang dipimpinnya. Jabatan pemimpin adalah amanah yang berat, yang mengandung konsekuansi dunia hingga akhirat. Dalam Sistem Islam,  pemimpin merupakan jabatan yang memiliki fungsi untuk menjamin tegakkannya aturan-aturan Allah disetiap lini kehidupan masyarakat yang dipimpinnya.

Jadi,  jabatan pemimpin bukanlah jabatan yang diperebutkan dengan penuh ambisi untuk berkuasa, sebagaimana yang dipertontonkan hari ini.  Karena kepemimpinan sejatinya kontrak kerja antara seorang manusia terpilih dengan Tuhannya. 

Karena jabatan sejatinya Amanah yang berat dalam pertanggung jawaban. Sungguh kami rindu,  hadirnya pemimpin terbaik dalan sistem terbaik, sistem Islam. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version