View Full Version
Selasa, 03 Apr 2018

Semerbak Harum di Tanah Ghouta

Oleh: Humaida Aulia (Guru di STP Khoiru Ummah)

Lagi, rudal-rudal dan bom jatuh. Meledak hingga sudut-sudut kota. Tak bersisa. Yang ada hanyalah pekat. Langit putih pun ikut gelap. Suasana begitu mencekam, semencekam hati yang was-was ingin lari. Tapi ketika melangkah, yang dilihat hanya darah-darah bersimbah.

Rudal jatuh seperti hujan. Mayat-mayat bergelimpangan. Berjuta bangunan runtuh. Masjid dan sekolah roboh. Tak luput, rumah sakit ikut menjadi sasaran. Para dokter kebingungan, persediaan obat-obatan menipis. Pasien semakin banyak, sementara dentum peluru dan bom tak henti terdengar. Anak kehilangan orangtuanya, orang tua kehilangan anaknya.

Bertahun sudah, Ghouta menjadi tempat kepungan. Rezim Assad dan sekutu, Iran dan Rusia, terus melakukan serangan. Intensitasnya semakin tinggi sebulan belakangan. Ratusan orang tewas tak terkecuali wanita dan anak-anak.

Ghouta, sudah lama menjadi target operasi pemerintah. Klaim penyerangan terhadap pasukan oposisi di sana menjadi alasan yang hanya sebatas bualan untuk mengamankan Ibu Kota Suriah dari para pemberontak. Kenyataan yang terjadi di lapangan justru berbanding terbalik. Korbannya, bukan orang yang mereka anggap pemberontak, tapi justru banyak warga sipil berjatuhan.

Seruan gencatan senjata dari badan HAM dan PBB tak didengar. Rezim malah semakin sadis melakukan serangan. Patut kita pikirkan, apakah benar rezim Assad hanya menyerang militer oposisi di sana, atau memang sengaja melakukan pembantaian?

Jika tujuannya hanya menyerang militer oposisi, korban tak akan jatuh sebanyak ini. Kalau begitu bisa dipastikan, tujuannya memang sengaja melakukan pembantaian. Tak melihat lagi seberapa parah akibat yang ditimbulkan, tak peduli lagi seberapa banyak korban berjatuhan.

Kita tahu, geliat kebangkitan Islam di Suriah sudah lama bertebaran. Penduduk Suriah tersadar, bahwa konflik yang terjadi di dunia Islam, tak akan selesai dengan solusi semu. Kesadaran inilah yang mendorong mereka bergerak melawan. Berbagai solusi yang diberikan rezim ditolak. Karena mereka pun tahu, itu hanya bersifat parsial dan kembali akan menyengsarakan. Mereka hanya menginginkan kembali Islam diterapkan.

Rezim dengan segala upaya bergerak menghadang kebangkitan. Dibuatlah isu terorisme dan pemberontakan dengan Global Mapping yang sengaja dirancang untuk menghunus dunia Islam. Pembantaian tak manusiawi pun dilakukan, walau akan mendapat kecaman dari seluruh penduduk dunia.

Ya, respon dunia hanya mengecam. Tapi kecaman hanya sebatas kecaman. Gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan bukanlah solusi tuntas. Serangan Rezim Assad hanya bisa dikalahkan dengan kekuatan militer. Bukan dengan perjanjian dan gencatan senjata.

Teringat Khalifah Al Mu'tasim Billah yang mengirimkan pasukan sangat panjang hanya karena membela kehormatan satu wanita muslimah. Namun kini, kehormatan kaum muslimin dihinakan, disayat, dan dicabik-cabik. Tak ada pemimpin dunia Islam yang berada di garda terdepan membela kaum muslimin, membela Suriah, mengirimkan tentara untuk menghancurkan Rezim Assad dan sekutunya.

Permasalahan sebenarnya, bukan karena Rezim Assad dan sekutunya kuat, namun karena Islam tak punya perisai. Perisai yang melindungi, menjaga kehormatan dan darah kaum muslimin, Khilafah Islam. Selama perisai ini belum terwujud, kesengsaraan ini kan terus berulang menjadi luka yang menganga dan terus membesar.

Duhai para syuhada, namamu melangit hingga surga. Semerbak harum darahmu menyebar di tanah Ghouta. Tak hanya disana, juga di belahan dunia lainny. Terus menyeruak. Ghouta hanya sebagian kecil sesakitan kaum muslimin. Hingga genderang kemenangan itu terdengar, bunga-bunga kan kembali bermekaran.

"Sesungguhnya tempat berlindung kaum Muslimin pada hari huru hara adalah di Ghouta, sebelah kota yang disebut sebagai Damaskus. Tempat itu adalah salah satu tempat terbaik wilayah Syam.” (HR. Ahmad No. 21725, Abu Dawud No. 4298). [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version