View Full Version
Senin, 30 Apr 2018

Quo Vadis Kebijakan Student Loan di Indonesia, Masihkah Relevan?

Oleh: Muhammad Rijal Wahid Muharram

(Pemerhati Pendidikan, Ketua PP KAMMI Bidang Pendidikan dan Pemuda)

Wacana program yang akan digulirkan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, berupa kredit Pendidikan atau yang dikenal dengan istilah Student Loan kembali ramai diperbincangkan. Kredit Pendidikan kembali mencuat setelah terjadinya pertemuan Kepala Negara dengan para direksi bank umum pada hari Kamis (15/3) lalu di Istana Negara.

Perlu diketahui, sejatinya program Kredit Pendidikan bukanlah hal yang baru diterapkan di Indonesia. Pada masa orde baru dahulu, tepatnya pada tahun 1980-an, Kredit Pendidikan dengan nomenklatur Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) pernah diterapkan. Skemanya, mahasiswa yang telah lulus kuliah, Ijazah ditahan dahulu hingga akhirnya kredit dapat dilunasi. Namun, alih-alih berjalan dengan baik, program KMI pun terhenti begitu saja. Alasannya? Karena cukup banyak kasus pengguna program KMI yang kesulitan untuk melunasi pinjamannya yang diistilahkan dengan Non-Performing Loan (NPL) atau kredit macet.

 

Berkaca dari Amerika Serikat, Student Loan masih relevan?

Ide student loan memang terinspirasi dari negara Amerika Serikat. Negara ini dapat dikatakan negara yang paling serius dalam penyelenggaraan student loan. Amerika Serikat melalui kementerian pendidikannya, bahkan sampai menyediakan tiga jenis, yakni yang diperuntukkan untuk orangtua dari mahasiswa (PLUS Loans), mahasiswa perguruan tinggi negeri (Stafford and Perkins Loans), dan orangtua atau mahasiswa dari Perguruan Tinggi Swasta (Private Student Loans).

Bahkan, di Amerika Serikat sebanyak 70 persen mahasiswanya lulus dengan student loan. Bila dikalkulasi dengan lebih dari 44 juta warga negara AS yang mengakses program ini, total pinjaman pendidikan senilai 1,4 Triliun Dolar Amerika (Rp 19.258 triliun).

Berdasarkan hasil riset yang diterima dari Citizens Financial Group, dilansir dari CNBC Make It, dari keseluruhan peminjam student loan di Amerika Serikat, 60 persen mampu melunasi hutangnya pada usia 40an tahun. Hal ini pun dikuatkan oleh data dari pemerintah setempat. Penelitian lain yang dilakukan oleh OneWisconsin Institute bahkan menemukan rata-rata mahasiswa lulusan universitas di Wisconsin membutuhkan waktu 19,7 tahun untuk melunasi pinjaman jenjang S1 dan 23 tahun untuk melunasi pinjaman jenjang S2.

 

Kaji ulang, pemerintah perlu berkaca dari pengalaman

Pengalaman yang terjadi dalam penerapan program serupa di Indonesia maupun di Amerika Serikat dapat menjadi pembelajaran bagi pemerintah dalam penerapan program ini. Kredit macet yang terjadi baik di Indonesia pada 1980 silam dan di Amerika Serikat, seharusnya menjadi pertimbangan yang sangat serius dari pemerintah. Apalagi, literasi finansial masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Pada tahun 2016, hanya terdapat 29,7 persen masyarakat yang berkategori well literate dari 67,8 persen masyarakat yang menggunakan produk dan layanan keuangan.

Artinya, sebelum pemerintah mencoba menggulirkan program yang menuntut masyarakat melek literasi finansial, terlebih dahulu edukasi perlu banyak dilakukan. Sehingga, program yang digulirkan benar-benar menjadi program yang tepat guna dan dibutuhkan oleh masyarakat. Jangan sampai karena pertimbangan yang kurang matang, atau bahkan tercetus ide yang tanpa hitungan resiko, lantas program bergulir begitu saja.

Bila implementasi student loan adalah untuk menggenjot banyaknya masyarakat yang melanjutkan studi di Perguruan Tinggi, setidaknya pemerintah perlu mempertimbangkan bahwa animo masyarakat untuk mengambil studi di Perguruan Tinggi masih berada pada tingkat yang tinggi. Tanpa sistem student loan pun, berdasarkan data Organization for Economic Co-operation Development (OECD) pada tahun 2012, Indonesia diprediksi akan menjadi negara dengan jumlah sarjana terbanyak kelima di dunia pada tahun 2020. Melihat data tersebut, sebenarnya tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan berkenaan dengan ketersediaan sarjana di Indonesia.

 

Student Loan berpotensi bertentangan undang-undang

Setiap program yang digulirkan pemerintah perlu menyimak dasar hukum penyelenggaraan program tersebut. Dalam hal ini, merujuk pada Undang-undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada paragraf 2 Pemenuhan Hak Mahasiswa, pasal 76 poin (1) dan (2), disana jelas pihak yang berkewajiban untuk memenuhi hak mahasiswa ada Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi. Berikut isi poin tersebut.

Pasal 76

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.

(2) Pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan:

a. beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi;

b. bantuan atau membebaskan biaya Pendidikan; dan/atau

c. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.

(3) Perguruan Tinggi atau penyelenggara Perguruan Tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung oleh Mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak yang membiayainya.

Berdasarkan pasal tersebut, pihak perbankan tidak tercantum sebagai pihak yang menyediakan bantuan pendidikan. Selain itu, regulasi kredit pendidikan yang melibatkan bank dengan bunga yang ada dalam pinjamannya, tidak sesuai dengan pasal 76 poin (1) c dimana isi pasal tersebut menyebutkan bilamana pinjaman dana yang diberikan adalah tanpa bunga. Seandainya student loan tetap dilaksanakan, undang-undang mana yang dijadikan dasar hukumnya?

 

Student Loan "memaksa" Golongan Menengah ke Bawah Berhutang, lantas dibayar darimana bila lapangan kerja masih minim?

Cita-cita untuk meraih kehidupan yang lebih layak dan memutus mata rantai kemiskinan adalah harapan ketika orangtua menyekolahkan lebih tinggi anak-anaknya. Begitupun dengan mereka yang melanjutkan kuliah, lingkungan yang lebih baik serta gengsi pun menjadi alasan mengenyam pendidikan tinggi. Jangan sampai harapan yang tinggi tersebut, pada akhirnya menjadi pepes kosong belaka. Kredit pendidikan mau tidak mau akan memaksa golongan menengah ke bawah untuk berhutang. Memang, dalam waktu dekat tuntutan kredit pendidikan tersebut tidak terasa berat, namun lama kelamaan hal itu justru akan memberatkan. Alih-alih mendapatkan kesejahteraan pasca kelulusan, seseorang malah akan terus disibukkan untuk melunasi hutangnya yang cukup besar.

Selain itu, keterlaksanaan kredit pendidikan bisa menjadi alasan mengenai tingginya biaya pendidikan. Hal ini dikarenakan sudut pandang keterjaminan pembiayaan pendidikan yang dibayarkan oleh bank ketika seseorang mengakses kredit pendidikan. Pihak perguruan tinggi tidak lagi berpikir dua kali saat menaikkan UKT karena kesiapan mahasiswa membayar biaya pendidikan seolah-olah telah terjamin Bank. Bila seperti itu, golongan yang masuk dalam kategori kurang mampu, pada akhirnya menanggung sendiri biaya kuliah yang terakumulasi hingga nominal yang cukup besar.

Setelah lulus, seorang mahasiswa yang mengambil program student loan ini pun akan menghadapi sisi dilematis, yakni ketersediaan lapangan kerja. Sampai saat ini daya serap lulusan perguruan tinggi masih berkisar pada angka yang cukup rendah, yakni 17,5 persen. Bisa dibayangkan bila pada akhirnya mahasiswa yang mengambil program student loan lulus dan kesulitan mencari pekerjaan karena kepastian kerja selepas kuliah masih minim. Apalagi isu pekerja asing yang menambah daftar ancaman bagi ketersediaan lapangan kerja.

 

Pengembangan program bantuan biaya pendidikan yang ramah masa depan

Dorongan yang kuat dari Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) patut diacungi jempol. Beberapa kali kesempatan, Menristekdikti selalu mendorong bahwa lulusan pendidikan menengah perlu melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Sebagai informasi, pada tahun 2017, ada sekitar 2,4 juta lulusan pendidikan menengah dan baru sekitar 1,5 juta yang melanjutkan untuk kuliah.

Kesadaran masyarakat pun semakin tinggi dengan peningkatan persentase angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi yang meningkat setiap tahunnya. APK pendidikan tinggi saat ini berada pada angka 31 persen. Meski memang masih jauh dari Malaysia (38 persen) dan Singapura (78 persen), optimisme menristekdikti bahwa pada tahun 2023 ditargetkan mencapai 40 persen patut diapresiasi.

Salah satu upaya untuk meningkatkan APK tersebut adalah melalui bantuan biaya pendidikan berbentuk beasiswa. Bila dibandingkan dengan masa sebelumnya, bantuan biaya pendidikan dewasa ini sudah jauh lebih baik. Beasiswa yang dapat diakses oleh masyarakat lebih bervariasi.

Ada beasiswa bidikmisi, beasiswa unggulan, hingga beasiswa LPDP yang sangat membantu masyarakat dalam meraih pendidikan hingga perguruan tinggi. Program pemerintah yang sangat baik ini sudah sepatutnya untuk ditingkatkan. Alih-alih membuat program baru bernama Kredit Pendidikan, revitalisasi terhadap program beasiswa yang sudah ada dipandang jauh lebih baik. 

Revitalisasi yang dimaksud adalah penguatan akses informasi dalam meraih kesempatan untuk mendapatkan beasiswa yang ditawarkan pemerintah. Akses informasi ini bertujuan agar masyarakat Indonesia yang memiliki keinginan untuk mengakses perguruan tinggi dapat lebih banyak dijangkau.

Tidak hanya itu, kolaborasi dengan berbagai pihak terus ditingkatkan. Misalnya, pemerintah dapat bekerjasama dengan pemerintah daerah hingga ke tingkat desa untuk merumuskan kebijakan yang sangat relevan untuk mendorong masyarakat, terutama yang di desa, melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

Sehingga, bisa saja ketika kebijakan ini dirumuskan, setiap desa dapat mendorong satu atau beberapa masyarakat terbaiknya untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi dan setelah lulus, dapat membangun desanya menjadi lebih baik.

Disadari memang, sumber beasiswa tidak mungkin hanya mengandalkan satu sumber saja, yakni APBN. Sumber lain yang berpotensi untuk mendorong dan meningkatkan APK Pendidikan Tinggi adalah bekerjasama dengan pihak swasta. Baru-baru ini, kerjasama Pemerintah dengan Tanoto Foundation ihwal pengadaan bantuan biaya pendidikan sudah sangat bagus.

Merujuk kepada kondisi tersebut, tidak menutup kemungkinan kerjasama dengan pihak swasta lain bisa lebih ditingkatkan. Hal ini dinilai lebih positif ketimbang membuat program yang membebani masyarakat baik saat ini maupun di kemudian hari.

 

Penutup

Tidak ada yang salah berkaitan dengan niat pemerintah untuk mendorong APK Pendidikan Tinggi agar terus meningkat. Namun, program yang digulirkan tentu harus tepat guna sehingga dapat dirasakan masyarakat dan tidak membebani di kemudian hari. Bantuan biaya pendidikan berupa beasiswa sudah sangat baik dan sepatutnya perlu lebih ditingkatkan, baik dalam kuota penerima beasiswa, anggaran, hingga program yang didesain agar para penerima beasiswa dapat berkontribusi penuh untuk kemajuan bangsa.

Digulirkannya wacana student loan hanya akan membuat publik menganggap pemerintah mulai lepas tangan untuk membantu biaya melanjutkan studi ke pendidikan tinggi. Bila anggapan ini terbukti, tentu menjadi suatu hal yang sangat disayangkan.Oleh karena itu, wacana student loan sebaiknya dikaji kembali. Kebijakan ini sejatinya sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Daripada mengurusi hal tersebut, sebaiknya pemerintah lebih serius untuk menyediakan beasiswa pendidikan sebanyak-banyaknya.

Alih-alih menjadikan Amerika Serikat sebagai kiblat dalam merumuskan kebijakan, lebih baik melihat ke swedia, jerman, austria, norwegia, dan finlandia yang bahkan sudah mampu menggratiskan kuliah.

Apalagi hari ini mata dunia sedang tertuju ke Indonesia karena di masa yang akan datang Indonesia akan menikmati apa yang dinamakan bonus demografi. Kita perlu optimis bahwa suatu saat Indonesia akan benar-benar menjadi negara yang hebat dan kuat di tengah persaingan dan perubahan yang begitu pesat.

Dalam upaya meraih itu, kebijakan kebijakan pemerintah yang pro-rakyat sangat diharapkan. Setidaknya, negara perlu dirasakan kehadirannya dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat, baik saat ini maupun di masa yang akan datang.

Bila pemerintah berhasil membuat kebijakan yang benar-benar pro-rakyat, hal tersebut akan menjadi nilai positif yang tentu tidak akan pernah dilupakan oleh masyarakat. Dan pada akhirnya, semoga semakin banyak insan-insan terdidik dan juga tercerahkan yang bersemangat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version