View Full Version
Jum'at, 04 May 2018

Politik Islam Wujud Ketakwaan, Bukan Syahwat Kekuasaan

Oleh: Tuti Rahmayani, dr (Praktisi kesehatan di Surabaya)
 
Setiap muslim wajib untuk terikat dengan aturan Islam sebagai konsekuensi dari keimanan yang kokoh. 
 
"Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya."  TQS an Nisa: 65.
 
Seorang muslim, sebagai individu, dia harus memastikan dirinya untuk melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi laranganNya. 
 
Sebagai bagian dari masyarakat, ia juga harus memperhatikan kondisi lingkungan tempat ia tinggal. Sudahkah masyarakatnya bertakwa? Apakah pemikiran, perasaan dan aturan yang diterapkan bersumber dari Islam sehingga mengantarkan keridhoan Allah SWT? Apakah halal haram menjadi standar perbuatan masyarakat? 
 
Karena sejatinya, individu tidak bisa dipisahkan dari masyarakat dan demikian pula sebaliknya. Rosul saw mengibaratkan masyarakat seperti penumpang kapal. 
 
Rasul saw bersabda : "Perumpamaan orang-orang yang mencegah berbuat maksiat dan yang melanggarnya adalah seperti kaum yang menumpang kapal. Sebagian dari mereka berada di atas dan yang lain di bawah. Jika orang yang berada di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati orang yang berada di atasnya. Lalu mereka berkata: "Andai saja kami lubangi (kapal) pada bagian kami, tentu kami tidak akan menyakiti orang-orang yang berada di atas kami". Tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh orang-orang yang berada di atas (padahal mereka tidak menghendaki), maka binasalah seluruhnya. Dan jika dikehendaki dari tangan mereka keselamatan, maka akan selamatlah semuanya." (HR Bukhari).
 
Karenanya, menjaga masyarakat agar tetap dalam koridor syariat adalah kewajiban setiap muslim. Pengaturan urusan umat inilah makna politik sesungguhnya dalam Islam. 
 
Implementasinya, bila dia adalah seorang penguasa maka dia akan menetapkan kebijakan, membuat Undang-Undang dengan berlandaskan pada Al Quran dan As Sunnah. Ia akan menciptakan suasana keimanan atas rakyatnya agar senantiasa dalam ketakwaan. Ia akan merumuskan kurikulum pendidikan agar terwujud kepribadian Islam.
 
Ia akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjamin hak kepemilikan sesuai syariat, mencegah privatisasi, praktek riba dsb. Ia juga akan menjadikan dakwah dan jihad sebagai arah kebijakan luar negeri, karena Islam menuntut yang demikian. Islam sebagai ajaran bagi seluruh umat manusia. 
 
Bila ia adalah warga negara, maka ia akan memiliki kepedulian dan melakukan pengkajian terhadap kebijakan yang diterapkan oleh penguasa. Bila didapati ada kedzaliman, kesewenang-wenangan dan pelanggaran syariat Islam, maka ia tak segan melakukan aktivitas amar ma'ruf nahi munkar terhadap penguasa. 
 
Hal ini seperti yang dilakukan oleh kaum muslimin di sepanjang masa kekhilafahan. Seperti kisah yang terjadi di masa khalifah Umar bin Khaththab r.a:
 
“Wahai Amirul mukminin, apakah yang wajib kita ikuti itu Kitab Allah ataukah ucapanmu?” seorang wanita dengan penuh keberanian melontarkan pertanyaan kepada Khalifah Umar yang baru selesai berkhutbah. Wanita itu menanggapi pernyataan Umar yang melarang memahalkan mahar. Umar membatasi mahar tidak boleh lebih dari 12 uqiyah atau setara 50 dirham. Seraya menyatakan, “Sesungguhnya kalau ada seseorang yang memberikan atau diberi mahar lebih banyak dari mahar yang diberikan Rasulullah shalallahu alaihi wasalam pastilah aku ambil kelebihannya untuk Baitul mal.”
 
Muslimah pemberani itu pun kemudian mengutip ayat Allah, “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (QS: an-Nisa’ [4]:20)
 
Khalifah Umar menyadari kekhilafannya, kemudian dengan tanpa merasa malu, ia membenarkan ucapan wanita itu dan mengakui kesalahannya. “Wanita ini benar dan Umar salah,” ucapnya di depan banyak orang.
 
Kesemuanya ini adalah cerminan aktivitas politik. Dengan demikian aktivitas politik adalah bagian dari kewajiban seorang muslim, tak hanya sebagai penguasa, tapi juga sebagai rakyat biasa. 
 
Hal ini berbeda jauh dengan politik dalam bingkai demokrasi saat ini.  Aktivitas politik sering dikaitkan dengan aktivitas para pejabat, baik anggota dewan ataupun kepala pemerintahan. Sehingga perpolitikan identik dengan upaya meraih syahwat kepemimpinan dengan berbagai macam kontestasi. Hal ini dikarenakan pemimpin hari ini lekat dengan berbagai hak dan fasilitas istimewa yang menggiurkan. 
 
Dengan demikian, politik dalam Islam adalah bagian dari kewajiban. Politik dalam Islam muncul dari dorongan ketakwaan bahwa dirinya dan masyarakat harus terjaga fitrahnya sebagai hamba Allah SWT yakni hidup untuk beribadah. 
 
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu." (TQS adz-Dzariyat: 56).
 
Ibadah bermakna ketaatan totalitas seorang hamba. Islam tak hanya sebagai aqidah ruhiyah yang mengatur urusan ibadah hamba kepada Rabb-nya. Namun Islam juga aqidah siasiyah (politik) yang mengatur perbuatan dirinya dengan manusia lain. [syahid/voa-islam.com]
 

latestnews

View Full Version