View Full Version
Jum'at, 29 Jun 2018

Orientasi Penerapan Hukum Islam

Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH.

“Hukum Islam sangat jelas manfaat agamanya, dan menuntaskan masalah hingga ke akar persoalannya. Hukum Islam sangat solutif, efektif, dan produktif. Berbagai hal positif dilahirkan oleh Hukum Islam, sehingga patut disebut hukum positif.” (Al-Habib Muhamamad Rizieq Shihab, Hancurkan Liberalisme, Tegakkan Syariat Islam, Jakarta, Suara Islam Press, 2013, hlm.129.).

Pernyataan Imam Besar Al-Habib Muhamamad Rizieq Shihab di atas, menegaskan bahwa kemanfaatan agama adalah inti dari hukum. Hukum Islam memiliki kemanfaatan yang pasti dan berlaku universal, termasuk dalam hal penegakan hukum.

Krisis yang terjadi dalam penerapan hukum - khususnya dalam terciptanya keadilan - disebabkan paradigma aparatur penegak hukum masih dengan paradigma lama yaitu semata-mata mengedepankan aspek kepastian hukum dengan mengabaikan aspek keadilan dan kemanfaatan. Artinya, aparatur penegak hukum lebih memperhatikan peraturan dan prosedur, sehingga keadilan dan kemanfaatan menjadi terpinggirkan.

Dalam menegakkan hukum memang diperlukan prosedur. Namun demikian, prosedur itu adalah tolok ukur untuk menilai apakah dalam penegakan hukum tersebut sudah sesuai dengan prinsip dan nilai kepastian hukum yang adil dan bermanfaat.

Terkesan aparatur penegak hukum terpaku dengan paradigma positivistik yang lebih mengedepankan rule making, hanya menerapkan undang-undang semata.

Paradigma yang demikian berhadapan dengan paradigma progresif melalui pendekatan rule breaking yaitu penerapan hukum yang melompat ke aspek nilai-nilai keadilan dan terutama kemanusiaan. Kemanusiaan dan keadilan menjadi tujuan utama dalam konsepsi Negara hukum Pancasila. Keadilan adalah ruh dalam penegakan hukum, bukan hanya keadilan formal tetapi keadilan substansial.

Di sisi lain, dalam diskursus hubungan antara hukum dan politik menurut pandangan Critical Legal Studies tiada batas pemisah antara hukum dan politik. Hukum bekerja sebagai agenda politik atau setidak-tidaknya bekerja dengan menyembunyikan agenda politik. Telah menjadi kenyataan, bahwa hukum dalam tahap penerapannya sebagai hukum in concreto, selalu saja merupakan hasil proses yang amat sarat dengan muatan motif-motif politik yang tersembunyi.

Pada penegakan hukum di Indonesia, nuansa positivistik sangat mendominasi dan ini terkait dengan agenda politik. Dengan demikian, dalam menerapkan norma hukum selalu terkait dengan muatan motif-motif politik yang melatarbelakanginya.

Tidak dapat dipungkiri, power relations demikian mewarnai dalam setiap penerapan hukum, sehingga keberpihakan dalam penerapan hukum selalu terkait dengan mereka yang mempunyai power, baik itu kekuatan ekonomi maupun politik.

Lebih lanjut, kelemahan mendasar dalam memahami hukum adalah terletak pada penggunaan ilmu hukum secara praktis, dengan menggunakan paradigma peraturan (rule), dan dengannya mengenyampingkan paradigma manusia (people).

Menurut alm. Satjipto Rahardjo, bagi ilmu hukum progresif, hukum adalah untuk manusia, sedang pada ilmu hukum praktis manusia adalah lebih untuk hukum dan logika hukum. Oleh karena ilmu hukum progresif lebih mengutamakan manusia, maka ilmu hukum progresif tidak bersikap submisif atau tunduk begitu saja terhadap hukum yang ada melainkan bersikap kritis.

Tradisi berhukum dengan pendekatan filsafat positivistik-legalistik telah membawa kita kepada kegagalan, mengaktualisasikan hukum tidak berada dalam ruang dan waktu yang tepat. Hukum tidak mampu menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia sebagai tujuan utama dari hukum.

Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa penegakan hukum lebih dari sekedar menerapkan undang-undang dan prosedur (black letter law), karena kualitas dan intensitas penegakan hukum dapat berbeda-beda.

Oleh karena itu diperlukan penegakan hukum yang mesu budi, yaitu pengerahan seluruh potensi kejiwaan dalam diri, sehingga menimbulkan penegakan hukum yang vigilante (pejuang) dalam arti menjalankan hukum dengan kecerdasan spiritual.

Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat.

Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Hukum progresif, seperti juga interessenjurisprudenz tidak sekali-kali menafikan peraturan yang ada sebagaimana dimungkinkan dalam aliran frei rechtslehre.

Meski begitu, ia tidak seperti legisme yang mematok peraturan sebagai harga mati atau analytical jurisprudence yang hanya berkutat ada proses logis-formal. Hukum progresif merangkul, baik peraturan maupun kenyataan/kebutuhan sosial sebagai dua hal yang harus dipertimbangkan dalam setiap keputusan.

Hukum progresif maupun interessenjurisprudenz dan legal realisme, memiliki semangat dan tujuan yang sama, yakni menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia sebagai tujuan utama dari hukum.

Dalam paradigma Islam, sebagaimana dikatakan oleh A-Habib Muhammad Rizieq Shihab, bahwa Hukum Islam sangat solutif, efektif, dan produktif, kesemuanya itu mengandung kemanfaatan (maslahat).

Menurut  Syathibi, Allah SWT menurunkan syariat (aturan hukum) bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid), baik di dunia maupun di akhirat.  Aturan-aturan dalam syariah tidaklah dibuat untuk syariah itu sendiri, melainkan dibuat untuk tujuan kemaslahatan.

Sejalan dengan Syathibi, Abu Zahrah juga menyatakan bahwa tujuan hakiki Islam adalah kemaslahatan. Tidak ada satu aturan pun dalam syariah baik dalam al-Qur’an dan as-Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan.

Dapat dipahami bahwa serangkaian aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT dalam syariah adalah untuk membawa manusia dalam kondisi yang baik dan menghindarkannya dari segala hal yang membuatnya dalam kondisi yang buruk, tidak saja di kehidupan dunia namun juga di akhirat.

Pendapat di atas, selaras dan sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang berpijak pada asumsi dasar, hukum adalah institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil sejahtera dan membuat manusia bahagia.

Penulis berpendapat, kemanfaatan dalam hukum tidak sekali-kali dikaitkan dengan kepentingan politik yang melingkupinya. Kepentingan politik harus dilepaskan dari kepentingan hukum. Hukum harus terbebas dari kehendak penguasa, termasuk dalam hal melegitimasikan kekuasaannya.

Menjadi jelas, bahwa hukum identik dengan kemanfaatan atau kemaslahatan, yang didalamnya sudah pasti terkandung kepastian yang berkeadilan. Hukum Islam bersifat universal, tiada yang dapat memungkirinya.

Sesuai dengan sifat universalitasnya, maka menuntut kecerdasan spiritual para penyelenggara Negara untuk mengantarkan kepada kebahagiaan manusia. Internalisasi nilai-nilai Hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia dengan dukungan kecerdasan spiritual merupakan suatu kebutuhan dan diselenggarakan secara legal-konstitusional.

Diharapkan nilai-nilai Hukum Islam menjadi dasar pembentukan hukum positif dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional, yakni menciptakan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version