View Full Version
Selasa, 03 Jul 2018

Rakyat Butuh Perubahan Revolusioner, Bukan Simbolis Belaka

Oleh: Novita Tristyaningsih, Amd.Ak (Muslimah Peduli umat)

Pemilihan kepala daerah serentak telah usai. Baru-baru ini, Indonesia menyelenggarakan pesta demokrasi, yaitu di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten telah menyelenggarakan pilkada serentak, Rabu (27/6). Bapak Presiden menginginkan pilkada benar-benar jadi pesta rakyat yang menggembirakan. Bukan kemudian malah mengundang ketakutan,” kata Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, di Jakarta, Selasa (26/6).

Menkopolhukam Wiranto juga mengatakan, kegembiraan karena rakyat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk memilih para pemimpinnya di daerah, tidak ada tekanan, satu kekangan, atau hambatan agar masyarakat memilih dengan gembira, riang gembira. Ini pesta demokrasi, bukan tahun politik yang penuh dengan ketegangan.

Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini sudah berulang kali menyelenggarakan pemilu, apakah ada perubahan yang berarti bagi rakyat ini? Pesta rakyat seolah hanya simbolis belaka, nyatanya rakyat jauh dari sejahtera.

Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Pesta rakyat hanya sehari, selebihnya rakyat tiada berarti. Seperti menunggu pisang berbuah dua kali ketika rakyat ingin sejahtera di sistem ini, Hal yang mustahil. Rakyat sudah lelah gonta ganti pemimpin, manis hanya di awal, kemudian rakyat di lupakan.

Sebenarnya, Pemilihan umum dalam Islam suatu hal yang mubah di lakukan. Yang menjadi permasalahan adalah di dalam demokrasi menjadikan kedaulatan berada ditangan rakyat. Sumber hukum dalam bernegara menggunakan hukum buatan manusia. Hal itu bertentangan dengan islam.

Karena di dalam Islam hukum harus di istinbath dari kitabullah dan Sunnah Rasul. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada [hukum] Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Al-Ma’idah: 50).

Manusia diciptakan bersifat lemah dan terbatas, tidak sepantasnya berhukum pada hukum buatan manusia. Bagi seorang muslim, Allah adalah ahkamul hakimin alias sebaik-baik pemberi ketetapan hukum. Hukum Allah adalah hukum yang tegak di atas keadilan.

Dia lah sang Khaliq yang berhak membuat hukum, ketika syari'at Nya yang di terapkan, maka rahmat Nya lah yang akan menyelimuti semesta ini. Tunduk kepada hukum Allah, ridha dengan syari’at-Nya, dan kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah ketika terjadi perselisihan merupakan konsekuensi keimanan dan penghambaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala (lihat at-Tauhid li ash-Shaff ats-Tsalits al-‘Ali, hal. 37).

Dengan segala kerusakan yang terjadi, masih percayakah kita dengan sistem demokrasi? Ridho kah kita ketika syari'at Allah di dua kan? Apapun alasan kita menentukan pilihan, semua akan di pertanggung jawabkan di hadapan Allah.

Pastikan  tidak hanya memilih pemimpin yang menurut kita benar, tetapi juga sistem yang sudah pasti benar, yaitu syari'ah dan khilafah yang menentramkan jiwa, menenangkan hati, serta tercurahnya rahmat Allah dari langit dan bumi. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version