View Full Version
Jum'at, 20 Jul 2018

Menjaga Keluarga dari Ancaman Liberalisasi, Mungkinkah?

Oleh : Widy Tsabitah*

Ada yang terlewat di bulan sebelumnya, Harganas. Hari Keluarga Nasional, yang selalu diperingati setiap 29 Juni. Dan tahun ini mengangkat tema : Cinta Keluarga, Cinta Terencana. Hal ini dicanangkan mengingat akan pentingnya mencintai dalam keluarga dan pentingnya perencanaan dalam membangun keluarga (Tribunnews.com). Adalah masih persoalan Ketahanan Keluarga yang sampai saat ini menjadi cikal bakal munculnya banyak ”penyakit” dalam masyarakat bahkan negara.

Banyaknya kasus kekerasan dan kejahatan pada anak oleh keluarganya, serasa menjauhkan kita dari slogan manis yang hadir di setiap Harganas. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, dalam kurun waktu Januari hingga Maret 2018 setidaknya sebanyak 23 kasus anak mengalami kekerasan. Dari 23 kasus itu, 16 anak di antaranya meninggal di tangan orang tuanya. Dan ibu menempati pelaku kekerasan tertinggi sebanyak 44 persen, ayah 18 persen, ibu dan ayah tiri sebanyak 22 persen, pengasuh 8 persen, dan pengasuh pengganti seperti tante dan ayah tiri sebanyak 8 persen (Republika, 26/03/2018).

Demikian juga angka perceraian yang semakin hari makin meningkat saja angkanya. Indonesia menempati ranking teratas dengan jumlah perceraian tertinggi di dunia. Tercatat ada sekitar 40 kasus perceraian yang terjadi di setiap jamnya. Dari data tersebut juga didapat bahwa ada sejumlah 70,5 % adalah gugat cerai (Khulu’), dan cerai talaq hanya sekitar 29,5 % kasus. Makin bertambahnya angka perceraian ini tentu membawa dampak besar bagi masa depan bangsa. Dan faktor keluarga merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap makin banyaknya generasi yang terjerumus dalam kenakalan remaja, narkoba, pergaulan bebas bahkan LGBT.

Memang tidak mudah menjaga keluarga di tengah masyarakat yang dikenal lebih ganyeng dengan sistem hidupnya yang sekuler dan liberal/bebas. Apapun bisa dilakukan atas nama Hak Azasi Manusia, hak kebebasan berpendapat dan berekspresi tanpa dibatasi dengan aturan yang jelas dan tegas.

Hal inilah menunjukkan bahwa Negara memiliki peran penting dalam mewujudkan keadaan yang kondusif bagi sebuah keluarga mencapai impiannya. Tidak cukup hanya dengan mengandalkan hubungan harmonis antar suami dan istri, kemapanan ekonomi, tahu pemanfaatan teknologi dan media untuk mewujudkan keluarga yang kuat, lahirnya generasi yang berkualitas, sehingga negara kuat dan bermartabat.

Negara sangat punya andil dalam menyediakn “habitat” yang kondusif supaya para keluarga bisa dengan “aman” mengakses media untuk ketahanan keluarganya. Memang, jika diperhatikan hancurnya keluarga secara internal tidak luput dari sebab banyak ditinggalkannya nilai-nilai islam dalam keluarga. Terkikisnya pemahaman tentang menjaga kewajiban dan hak antar anggota keluarga, dan tiadanya kesadaran untuk menyelesaikan segala persoalannya sesuai dengan tuntunan syari’at.

Juga, dikarenakan adanya aspek eksternal, yakni Sistem hidup yang cenderung meliberalisasi keluarga. Liberalisasi inilah yang membuat keluarga kehilangan pegangan agama dalam menerapakan hak dan kewajibannya dalam keluarga. Dengan dalih adanya hak perempuan, mereka banyak meninggalkan rumah untuk mencari kemandirian ekonomi demi memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin tinggi standartnya, sehingga peran utama seorang Ibu jadi terabaikan.

Perusakan peran ini terjadi secara simultan seperti sekarang. Perempuan sebagai pencari nafkah, pengasuhan terhadap anak bisa dilakukan siapa saja tanpa memperhatikan sistem hadhonah dalam islam, pendidikan semua diserahkan pada lembaga/sekolah, kepemimpinan keluarga tidak boleh ada dominasi suami, dan sebagainya.  Dan itu semua harus ditanggalkan, lalu memunculkan peran negara sebagai pilar utama dalam Ketahanan Keluarga.

Ketahanan keluarga yang jadi impian itu hanya akan terwujud jika semua pihak baik individu, keluarga dan negara kembali mengikatkan dirinya pada Syariat Islam secara paripurna di setiap aspek kehidupannya. Karena hanya Islamlah yang memiliki problem solving tuntas bagi seluruh persoalan hidup umat manusia di dunia, karena berasal dari Sang Pencipta yang paling tahu kebutuhan ciptaanNya. (rf/voa-islam.com)

*Pegiat Literasi, Sidoarjo

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version