View Full Version
Sabtu, 18 Aug 2018

Raih Kemerdekaan Hakiki, bukan Retorika Menawan

Oleh: Novita Tristyaningsih

Semarak perayaan kemerdekaan Indonesia telah ramai di gaungkan. Mulai dari pemasangan bendera merah putih di setiap rumah warga, pernak pernik merah putih yang telah terpasang di jalanan, hingga berbagai perlombaan pun telah di selenggarakan, seperti lomba makan kerupuk, pacu goni, panjat pinang, dan sebagainya.

Apakah makna merdeka hanya sebatas perayaan-perayaan itu? Sungguh sempit jika makna merdeka hanya sebatas perayaan-perayaan itu.

Penjajahan merupakan fakta historis yang dialami oleh hampir semua negara-negara dunia ketiga, tidak terkecuali Indonesia. Selama 3,5 abad, para penduduk di tanah nusantara hidup dengan menjadi alat untuk memenuhi keinginan bangsa-bangsa lain, sebut saja Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang.

Mereka tidak memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, untuk menanam tanaman apapun yang mereka inginkan, untuk bepergian dan berpindah tempat tinggal, untuk mengenyam pendidikan dan mengaktualisasikan dirinya, untuk menikmati hasil kerja keras yang telah dilakukan, untuk memanfaatkan hasil bumi yang alam telah berikan, dan yang terpenting, untuk menikmati kesetaraan dan martabat sebagai manusia yang merdeka. (Suara kebebasan.org).

Kerja paksa, perampasan, dan penyiksaan sewenang-wenang merupakan kehidupan sehari-hari penduduk nusantara dibawah kekuasaan kolonial bangsa asing.

Sebut saja kebijakan tanam paksa yang diberlakukan gubernur jendral van den Bosch untuk memakmurkan kerajaan Belanda pada abad ke-19, hingga program kerja paksa romusha oleh pemerintah Jepang dalam rangka membantu negara matahari terbit tersebut dalam Perang Dunia II melawan Amerika Serikat. (Suara kebebasan.org)

Singkat cerita, pada tanggal 17 Agustus 1945 di proklamirkan kemerdekaan indonesia oleh bung Karno. Memang, secara kasat mata para penjajah itu sudah hengkang dari bumi Pertiwi. Kita tidak lagi di jajah secara fisik oleh para penjajah kolonial. Tetapi, tanpa disadari pemikiran kita yang sedang di jajah.

Para penjajah berganti haluan, mereka menyusupi pemikiran yang berbahaya untuk merusak generasi selanjutnya, yakni melalui makanan, kesenangan, dan pakaian. Perlahan tapi pasti, pemikiran itu mengakar di dalam kehidupan dan telah menjadi kebiasaan. Sehingga rusaklah yang namanya pemuda.

Mereka susupi pemikiran sekuler, khususnya generasi Islam. Sehingga umat muslim asing terhadap ajaran agamanya sendiri. Tidak hanya itu, meskipun kata merdeka telah diraih, namun para penjajah tetap menjarah kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah, dengan di sahkan nya UU yang memudahkan mereka.

Intervensi asing senantiasa menghiasi dunia perpolitikan Indonesia. Inilah bentuk penjajahan modern yang mencengkeram negeri ini.

Semestinya Kemerdekaan tidak hanya sebatas kata dan retorika, tetapi bentuk nyata aplikasinya dalam kehidupan bernegara. Nyata keadilannya, nyata kesejahteraannya, nyata perbuatannya sesuai dengan nilai-nilai agama. 73 tahun merdeka, jelas bukan waktu yang singkat, mestinya kita  ingin merdeka dari penjajahan modern ala kolonial.

Satunya cara ya melakukan perubahan secara revolusioner dengan menerapkan Islam dalam kehidupan bernegara. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version