View Full Version
Sabtu, 18 Aug 2018

Penguasa Kehilangan Empati Dampak Noeliberalisme

Sahabat VOA-Islam...

Beberapa hari yang lalu seorang gubernur Jawa Tengah diminta responnya tentang warga Banyumas yang memakan tiwul karena tidak mempunyai stok beras. Ganjar Pranowo justru memberi respon cukup mengejutkan.

Enggak apa-apa makan tiwul, itu boleh, malah saya anjurkan. Kalau enggak ada beras makanlah tiwul, makanlah umbi-umbian yang miliki, dan itu bagian dari diversifikasi pangan. (www.sindonews.com).

Lagi-lagi seorang penguasa memberikan respon yang tidak simpatik terhadap rakyatnya. Alih-alih berupaya memberikan solusi bagaimana agar stok beras bisa didapatkan warganya justru menganggapnya sebagai suatu hal yang wajar.

Respon tidak wajar ini tidak hanya terjadi sekali. Beberapa waktu yang lalu kita mendapati para penguasa kita sering memberikan tanggapan yang tidak masuk akal tentang kenaikan harga barang-barang.

Seperti ketika kenaikan harga beras, daging, cabai dan beberapa barang lainnya. Ketika harga beras naik maka Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita memberi solusi kepada masyarakat untuk menawar harga beras (www.detik.com).

Harga daging naik, solusi yang ditawarkan oleh Menteri Pertanian RI Andi Amran adalah dengan beralih ke keong sawah (www.tribunnews.com). Kenaikan harga cabaipun disikapi oleh Menteri Perdagangan dengan memberi solusi agar masyarakat menanam sendiri cabai di rumah (www.detik.com).

Tanggapan yang aneh juga terjadi pada saat harga telur meningkat. Menteri perdagangan mengatakan bahwa penyebab naiknya harga telur adalah karena momen Pilkada dan Piala Dunia sehingga permintaan naik (www.detik.com).

Respon dari para penguasa ini menimbulkan sakit hati pada rakyat Indonesia. Pasalnya selama ini penguasa tidak berempati dengan kondisi rakyat yang menjerit akibat kenaikan harga kebutuhan pokok, elpiji dan juga TDL.

Rakyat menderita namun para penguasa tidak peduli dan tidak berpihak pada mereka. Janji-janji mereka untuk memperhatikan nasib rakyat selama kampanye menjelang pemilu seolah menguap ditelan waktu.

Ini menunjukkan kebobrokan sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Demokrasi memaksa penguasa mengikat janji dengan para investor demi memperoleh modal untuk berkampanye saat pemilu. Kebijakan ekonomi yang diterapkannyapun adalah kebijakan neoliberalisme yang lebih berpihak kepada konglomerat dibandingkan rakyat.

Dalam sistem neoliberalisme memberikan kebebasan kepada siapa saja untuk ikut dalam roda perekonomian. Namun seperti halnya di hutan rimba maka  yang menang tentunya yang memiliki kekuatan ekonomi yaitu para investor dan pemilik modal.

Sedangkan rakyat yang tidak memiliki modal tersingkir. Sistem inipun memberi batasan peran negara sebagai regulator dan fasilitator semata. Sementara yang menjalankan perekonomian secara nyata adalah investor swasta. Walhasil rakyatlah yang dikorbankan karena harus bertarung sendiri dengan para pemilik modal.

Di sinilah Islam menjawab semua masalah tersebut. Dalam sistem ekonomi Islam, tujuan utamanya adalah terpenuhinya seluruh kebutuhan hidup manusia orang per orang. Negara Khilafahlah yang menjamin pemenuhan kebutuhan hidup mereka sesuai dengan aturan Allah SWT.

Selain itu Khilafah juga memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada rakyatnya untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka dengan memberikan akses sebesar-besarnya pada faktor-faktor ekonomi.

Meskipun demikian syariat Islam juga memberikan batasan-batasan berupa aturan-aturan untuk memberikan jaminan kemaslahatan hidup bagi rakyatnya. Batasan-batasan itu melingkupi konsep kepemilikan, mekanisme perolehan dan pengembangan kepemilikan, serta pembelanjaan kepemilikian.

Dalam hal kepemilikan, Islam menetapkan bahwa kepemilikan terhadap barang menjadi kepemilikan individu, kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Pada barang-barang yang masuk kepemilikan umum maka itu adalah milik umat.

Sehingga Negara tidak boleh menjualnya. Barang-barang yang masuk dalam kepemilikan umum sebagaimana yang tertuang pada sabda Rasulullah SAW, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, air, rumput dan api. Harganya adalah haram.

Yang termasuk didalamnya listrik dan migas. Maka kepemilikan terhadap ketiga hal itu ada di tangan umat haram hukumnya bagi negara untuk melakukan swastanisasi. [syahid/voa-islam.com]

Kiriman Desi Maulia, SKM (Pemerhati Sosial, Tinggal di Surabaya)               


latestnews

View Full Version