View Full Version
Ahad, 19 Aug 2018

Menjadi Sebenar-benarnya Hamba yang Merdeka

Oleh: Salsabila Maghfoor

(Anggota Revowriter, Koordinator Komunitas Penulis Pena Langit)

Perayaan ceremonial kemerdekaan telah sejak lama kita peringati, kurang lebih sebanyak 73 kali hingga saat ini. Bukan main, euforia-nya masih saja diisi dengan banyaknya kegiatan perlombaan dengan tujuan menghidupkan semangat perjuangan kemerdekaan yang dahulu pernah ada. Namun, apakah cukup demikian adanya?

Penulis merasakan, fenomena yang terus berulang ini tidak lebih hanya sekadar kebiasaan temurun yang entah akan sampai dimana ujungnya. Makna kemerdekaan yang ingin ditinjaui ulang pun belumlah nampak pengaruhnya terhadap effort penjagaan terhadap negeri ini dari segala rongrongan dan hegemoni asing dan juga aseng yang menggerogoti potensi di segala penjuru negeri.

Agaknya kesalahpahaman ini timbul karena terlebih dahulu kita belum menuntaskan pemaknaan istilahnya. Maka tidak heran bila penyikapan terjadap topik itu sendiri terkadang masihlah melenceng dari esensinya. Mengacu pada KBBI, makna ‘merdeka’ itu sendiri adalah bebas (dari penghambaan, penjajahan, dan sebagainya), berdiri sendiri.

Adapun makna ‘kemerdekaan’ ialah keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagim dan sebagainya), kebebasan. Terakhir, makna ‘semerdeka-merdekanya’ ialah tidak terpengaruh (oleh apa dan siapapun) ; bebas atau lepas sama sekali.

Sayangnya, sedari dulu peringatan kemerdekaan ala masyarakat belumlah sebagaimana maknanya. Kita belum bebas terpengaruh dari penghambaan pada sesama, pada yang lebih tinggi soalan takhta dan bahkan pada yang lebih banyak berkalang harta. Tidak heran jadinya, ketika hegemoni yang bertuan-kan Kapitalisme dan bertuhankan Sekulerisme itu hari ini terus menggempur kita di segala lini, tanpa mampu kita halau barang setepis pun. Arusnya justru kian deras.

Dalam kasus pembangunan infrastruktur misalnya, semua akan berkiblat pada pengembang dan investor, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Tol yang sudah jadi, lantas dijual ke swasta dengan alasan klise. Dalam banyak kasus sosial budaya, ada upaya sistematis lewat kebijakan pariwisata dan hiburan yang ada untuk semakin meningkatkan pendapatan lewat banyaknya lawatan yang berdatangan.

Maka dalam hal apapun kita belumlah merdeka, belumlah terbebas terlepas seutuhnya. Ditambah lagi, sistem pencaturan perpolitikan dunia saat ini memanglah demikian adanya, menjadikan poros kepemimpinan yang ada didasarkan pada pusaran keinginan nafsu materi semata. Semua mengacu pada bagaimana negara adidaya mendikte dalam kekuasaan dan intervensinya atas negara-negara berkembang yang ada.

\Menjadikan setiap keputusan yang diambil bukan sebagai pilihan, tapi arahan yang tentu diaruskan sesuai kepentingan adidaya. Alhasil, kita bisa melihat hari ini tidak hanya Indonesia, bahkan negara lain pun sebenarnya belum ada yang mampu untuk mendesain kemerdekaannya sendiri dengan sebenar-benarnya kemerdekaan.

Sebagai seorang muslim, kita mestilah memandang dari kacamata keimanan yang utuh agar bias kebathilan itu bisa lantas sirna. Mengutip pendapat dari KH Hafidz Abdurrahman, hakikat merdeka itu adalah kita bebas diperhamba oleh sesama manusia. Karena kita hakikatmya hanya hamba Allah, bukan hamba manusia, harta, wanita dan dunia. Ketika kita menjadi hamba Allah, maka kita pun hanya mentaati titahNya.

Perintah dan larangan-Nya pun kita tegakkan dengan sempurna. Semua itu termaktub dalam syariatNya. Karena itu, kita pun terikat dan taat menjalankannya. Ketaatan dan keterikatan kita kepada syariatNya itulah yang menjadikan merdeka, bukan hanya pengakuan dan peresmian ceremonial dari negeri adidaya dan negeri lain yang ada.

Karena itu artinya tidak ada siapapun yang bisa mendikte kita, menguasai kita, bahkan menindas dan menjajah kita. Merampas kekayaan alam kita, menguasai tanah-tanah kita, dan memiskinkan kita. Dengan kata lain, ketika kita menjadi orang shalih, orang yang hanya taat dan terikat dengan syariat-Nya, maka kita pasti akan memimpin dunia, menguasai bumi ini. Saat itulah, kita akan menjadi Khalifah Allah di muka bumi.

Itulah, mengapa Khilafah hanya dijanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih, serta tidak menyekutukan Allah dengan yang lain (Q.s. an-Nur: 55). Sebaliknya, jika kita menolak,  menjauhi dan bahkan mengkriminalisasi syariat-Nya, maka jangan harap kita akan merdeka. Jangan harap kita akan menjadi penguasa di muka bumi dan menguasai dunia dan seisinya.

Itulah mengapa negara penjajah sangat takut kepada umat Islam yang taat pada syariat-Nya. Karena itu artinya penjajahan mereka akan sirna. Mereka dicap radikal, fundamentalis, ekstrimis, bahkan teroris. Karena merekalah yang mengancam penjajahan negara-negara penjajah di dunia Islam.

Merdeka! Kita hanya bisa merdeka dengan tunduk dan senantiasa taat kepada syariat-Nya secara kaffah. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version