View Full Version
Ahad, 19 Aug 2018

Siapa Pilihanmu?

Oleh: Khawla Tazkia, Member Komunitas Pena Langit

Kontestasi politik dalam sistem demokrasi akan segera dimulai. Capres dan Cawapres yang diusung oleh koalisi partai telah diumumkan dan pendaftaran ke KPU sedang dilakukan.

Porak poranda serta antusias rakyat begitu luar biasa. Begitu pula dua tagar yang tengah bertanding didunia nyata ataupun media social yakni #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi ramai diperbincangkan.

Demi memenangkan calon yang diusung segala daya dan upayapun dilakukan. Sebagaimana tradisi pemilu sang calon mencari dukungan kepada para tokoh, sebab rakyat biasanya akan mengikut pada pilihan tokoh yang dipercaya.

Ajang pemilihan pemimpin inipun semakin seru setelah dijadikannya KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres Joko Widodo serta Sandiaga Uno sebagai cawapres Prabowo Subianto. Hal itu tersebab isu yang akan menggandeng ulama bukanlah capres Jokowi, namun muncul dari pihak capres Prabowo.

Tentu ini berakibat pada kebingungan bagi umat islam siapakah yang akan dipilihnya?. Di satu sisi ada ulama yang harapannya mampu menjadikan ilmu (islamnya) teraplikasi sebagai sosok pemimpin, disisi yang lain ada sebuah trauma terhadap kepemimpinan sebelumnya.

Kemudian muncullah pertanyaan, siapakah pilihanmu wahai umat islam?. Tidak ada pilihan lain untuk bisa memecahkan pertanyaan ini kecuali dengan memahami bagaimana pandangan islam dalam memilih pemimpin. Didalam islam disebutkan para pemimpin (kepala Negara) sebagai ulim amri. Maka marilah kita rujuk pada Firman Allah swt yakni :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (TQS. An-Nisa’: 59)

Pernyataan penting Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari  mengenai ulil amri yang ditulis dalam bukunya, Al-Wajîz fî ‘Aqîdah As-Salaf Ash-Shâlih Ahl As-Sunnah wa Al-Jamâ‘ah.

“Adapun para pemimpin yang meniadakan syariat Allah dan tidak berhukum kepadanya, akan tetapi berhukum kepada selainnya, maka mereka keluar dari hak (memperoleh) ketaatan dari kaum muslimin. Tidak ada ketaatan bagi mereka dari rakyat, karena mereka menyia-nyiakan fungsi-fungsi imamah yang karenanya mereka dijadikan pemimpin dan berhak didengarkan, ditaati serta tidak diberontak. Karena, wali (pemimpin) tidak berhak mendapatkan itu, kecuali ia menunaikan urusan-urusan kaum muslimin, menjaga dan menyebarkan agama, menegakkan hukum, menjaga perbatasan, berjihad melawan musuh-musuh Islam setelah mereka diberi dakwah, ber-wala’ kepada kaum muslimin, dan memusuhi musuh-musuh agama.

Pernyataan tersebut diperkuat pula oleh hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,

“Sama sekali tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, ketaatan itu dalam kebaikan” (HR Bukhari)

Dalam ayat ini juga secara jelas disampaikan agar setiap pemimpin dan yang dipimpin senantiasa menggunakan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pemutus atas semua pertikaian dan perselisihan. Karena wajib bagi manusia untuk menerapkan hukum-hukum Allah.

Maka sebelum memecahkan persoalan memilih pemimpin ini yang sangat penting dipahami adalah dalam sistem apakah dia memimpin dan dengan apa ia akan memimpin umat islam. Jika hukum-hukum Allah swt belum mampu terterapkan secara menyeluruh sebagaimana dalam (QS. Al-Baqoroh : 208),

Lalu apakah yang bisa kita diharapkan ?. Bukankah hidup ini untuk mati, dan kematian yang indah itu ada pada Ridho Allah swt. Sedangkan Ridho Allah tidak akan datang pada hamba yang meninggalkan perintahnya. Wallahua’lam bishawab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version