View Full Version
Ahad, 26 Aug 2018

Tatihan Lombok Ditengah Kemewahan

Oleh:

Dessy Fatmawati, S. T, Tim Komunitas Remaja Smart With Islam Semarang

 

"NANTI TURIS LARI!" komentar Luhut Binsar Panjaitan terkait gempa Lombok. Publik terhenyak mendengar alasan keengganan pemerintah menetapkan gempa Lombok sebagai bencana nasional. Status bencana nasional dianggap akan merugikan negara lebih besar lagi.

 "Kalau kami menyatakan bencana nasional berarti bencana itu seluruh nasional, dan menjadikan travel warning. Negara-negara bukan hanya ke Lombok tapi bisa ke Bali dampaknya luar biasa, yang biasanya tidak diketahui oleh publik," ujar Pramono di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (20/8). "Begitu dinyatakan bencana nasional maka seluruh Pulau Lombok akan tertutup untuk wisatawan dan itu kerugiannya lebih banyak."

Harapan publik, naiknya gempa Lombok menjadi bencana nasional, manajemen penanggulangan lebih cepat dan efisien. Saat ini pemerintah telah mencairkan dana Rp985,8M untuk penanganan darurat dan kemanusiaan bencana gempa Lombok, yang terdiri dari Rp557,7 miliar melalui BNPB dan Rp428,1M melalui kementerian/lembaga. Ini di luar bantuan yang sudah disalurkan BNPB sekitar Rp100 milyar. Sedangkan alokasi Rp 4T untuk membangun kembali infrastruktur yang hancur. Total bantuan ini lebih kecil dari perkiraan kerugian akibat gempa Lombok yang dirilis BNPB sebesar  Rp 7,7T.

Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB menyatakan di Lombok sudah terjadi 248 kali gempa susulan, dimana 14 kali diantaranya gempa dirasakan pascagempa M 6,9 SR (19/8/2018) sampai 22/8/2018 pukul 15.00 WITA. Tercatat 555 orang meninggal dunia dan 390.529 orang masih mengungsi akibat gempa Lombok selama Agustus 2018. 

Di lain sisi untuk Asian Games, pemerintah telah menggelontorkan dana Rp 685M pada opening ceremony dari total Rp 30T anggaran yang disiapkan. Sedangkan untuk Annual Meeting IMF-World Bank pemerintah telah mengeluarkan anggaran total sebesar Rp 6,9T. Lagi Pil pahit harus kembali ditelan, pemerintah sudah mencanangkan alokasi dana untuk kenaikan gaji PNS pada tahun 2019 dan pencairan dana gaji ke-13.

 

Matinya Sensitivitas

Gema tuntutan pada pemerintah agar menaikan gempa Lombok menjadi bencana nasional bukan tanpa sebab. Para relawan yang terjun di lapangan menilai, meski bantuan sudah banyak namun efektivitas pemulihan  akan lebih besar jika dikomando oleh pemerintah pusat. Sebagaimana dalam bencana Aceh tahun 2004 silam. Dua minggu setelah tsunami telah dibangun rumah-rumah petak untuk berlindung warga, sedangkan di Lombok nyaris sebulan dan warga bahkan banyak yang tidak mendapatkan tenda untuk bernaung.

“Bukan lagi soal skala richter. Melainkan skala kelalaian pemerintah memahami kecemasan rakyat Lombok setiap detik!” tulis Rocky Gerung di akun twitternya (20/8/2018).

Kebijakan-kebijakan yang digulirkan tak pelak membuat publik semakin bertanya-tanya, semua nilai agama, moralitas, kebajikan tak mampu mengetuk hati nurani penguasa. Apa yang salah? Mengapa penguasa sedemikian tidak sensitif pada warganya yang kesusahan dan lebih mementingkan pencitraan? 

Mencurangi kebajikan publik, moralitas, dan agama sesungguhnya bukanlah hal baru. Pola ini sudah ada sejak manusia memutuskan mengatur kehidupan tanpa agama. Yang kini kita kenal sebagai asas sekulerisme. Dibalik luar biasanya kemampuan akal manusia, fakta bahwa akal manusia terbatas dan manusia tidak lepas dari kepentingan. Kombinasi keduanya mengingatkan kita akan praktik politik tidak manusiawi yang pernah dan masih eksis, politik Marchiavelli. 

Praktek dari teori kekuasaan Machiavelli berfokus pada metode apa yang harus digunakan seseorang dalam memperebutkan serta mempertahankan kekuasaan. Dalam buku The Princedan The Discourses, “Siapa yang mempunyai senjata akan mengalahkan siapa yang tidak mempunyai senjata”. Gagasan Machievelli menyatakan bahwa kebajikan, agama, moralitas merupakan alat untuk mempeoleh kekuasaan. Bukan kekuasaan untuk agama, kebajikan, ataupun moralitas karena inti dari kekuasaan adalah kekuasaan itu sendiri. 

Dengan mudah bisa kita indra tidak sensitifnya pemerintah akan persoalan bangsa. Dibanding Lombok tentu megahnya Asian Games, Annual meeting IMF-World Bank dan kenaikan gaji PNS lebih menjanjikan keuntungan elektabilitas di tahun 2019. 

 

Model Ideal Penanganan Bencana

Kapitalisme mengajarkan bahwa segalanya harus ditimbang dalam hitungan untung rugi. Tidak ada yang abadi kecuali kepentingan. Maka wajar dalam menanggapi suatu hal kaum kaya adalah prioritas. Padahal yang paling membutuhkan andil penguasa dalam hidupnya adalah kaum lemah.

Islam, aturan sempurna yang diturunkan untuk manusia memberi pedoman bagi pemerintahan. Bukan dalam kadar untung rugi tapi ketaatan pada syariah, mendudukan penguasa sebagai rain(pelayan) dan junnah (pelindung) bagi orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Bukan untuk untung rugi atau penilaian manusia, karena sejatinya yang berhak menerima persembahan amal manusia hanyalah Allah semata.

Managemen penanggulangan bencana dalam Islam berpijak pada prinsip “wajibnya seorang khalifah melakukan ri’ayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya”. 

Sebagai contoh pada tahun 18H di Hijaz terjadi kekeringan parah selama 9 bulan. Umar Radhiyallahu ‘anhu yag mendengar langsung cepat tanggap dan menindaklanjuti laporan ini. Beliau segera membagi-bagikan makanan dan uang dari baitul mâl hingga gudang makanan dan baitul mâl kosong total. Juga memaksakan dirinya untuk tidak makan lemak, susu maupun makanan yang dapat membuat gemuk hingga musim paceklik ini berlalu. Jika sebelumnya selalu dihidangkan roti dan lemak susu, maka pada masa ini ia hanya makan minyak dan cuka hingga bencana sudah lewat. 

Dalam melengkapi proses ri’ayah warganya dalam menghadapi bencana, khalifah akan mengistruksikan penanganan dalam dua bagian. Pra-bencana, berupa edukasi warga dan pembangunan fisik berbasis ecofriendly serta pembentukan tim penanggulangan untuk meminimalisir resiko bencana. 

Paska bencana, berupa recovery korban dan recovery lingkungan. Recovery korban bencana berupa aksi cepat tanggap dalam pemenuhan logistik darurat berupa sandang, papan, pangan dalam lokasi-lokasi pengungsian. Selain kebutuhan fisik juga pengadaan mental healing dengan kajian-kajian keislaman untuk mendekatkan diri kepada Allah. Recovery lingkungan, pembangunan kembali infrastruktur yang rusak akibat bencana. Jika dirasa perlu, korban akan direlokasi demi keselamatan. 

“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).**

 


latestnews

View Full Version