View Full Version
Kamis, 06 Sep 2018

Mimpi Toleransi Antarumat Beragama

Oleh: Idea Suciati (Anggota Revowriter tinggal di Jatinangor)

Tanggapan masyarakat cukup ramai tentang jatuhnya vonis terhadap Meiliana dalam kasus penodaan agama. Pengadilan Negeri Medan memvonis Meiliana 18 bulan penjara karena terbukti menodai agama setelah meminta pengurus masjid mengecilkan volume pengeras suara azan.

Kasus seperti ini memang sangat sensitif.  Hanya saja,  perlu kiranya masyarakat lebih bijak menanggapinya. Pertama,  perkara penodaan agama sudah selayaknya diselesaikan secara hukum dan tegas. Agar tidak tidak ada lagi kasus serupa.

Saat ini,  telah ada Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama. Aturan ini harus didukung dan diperkuat dalam rangka membuat jera serta mencegah orang lain berbuat serupa. Ini demi terwujudnya ketentraman beragama dan hidup bersama sesama masyarakat dengan beragam agama.

Hanya saja memang, aturan buatan manusia selalu memiliki kekurangan. Memungkinkan banyak multitafsir. Wajar,  beberapa pihak menggugat dan menuntut agar UU tersebut direvisi.

Dalam Islam, penodaan terhadap agama sama halnya dengan penghinaan agama. Istilah penghinaan agama dikenal dengan sabb ad-diin. Penghinaan itu meliputi penghinaan terhadap sumber hukum Islam, yaitu Al-Quran dan hadis serta menyelisihi dan berpaling dari hukum yang ada pada keduanya; penghinaan terhadap Allah dan rasul-Nya. Dalam Islam, penghinaan terhadap agama bertentangan dengan Al-Quran dan hadis, bahkan perbuatan itu merupakan.

Kedua,  sering berulangnya kasus penodaan agama akan cenderung terjadi, jika kehidupan saat ini memang jauh dari agama. Ketika urusan agama dianggap hanya urusan pribadi. Agama dipisahkan dari kehidupan alias sekularisme. Agama dianggap tidak terlalu penting dalam kehidupan bermasyarakat bahkan kehidupan individu sekalipun.

Kebebasan berekspresi, berbicara yang dijamin dalam sistem demokrasi ibarat lahan subur bagi orang-orang yang 'jahil' dalam berkata-kata,  tak peduli lagi perkataannya menghina suatu agama atau tidak.

Kasus penodaan agama di Indonesia cukup banyak.  Hasil riset dilakukan Setara Institute menyatakan sepanjang 1965-2017 terdapat 97 kasus penistaan agama. Kasus dugaan penistaan agama ini makin banyak sejak rezim Orde Baru tumbang.

Dia menyebutkan sebelum reformasi hanya ada sembilan perkara penistaan agama, namun sehabis reformasi jumlah kasusnya membengkak menjadi 88. (voaindonesia.com,05/17). Yang paling heboh adalah Kasus yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Jumlah kasus penodaan agama diatas harus diupayakan agara jangan terus bertambah. Caranya dengan mencampakan sekularisme dan demokrasi. Karena paham itulah yang menjadi lahan subur tempat tumbuhnya kasus penodaan agama.

Ketiga, jangan sampai kasus Meiliana digoreng untuk menajamkan isu intoleransi dan isu minoritas. Adanya pengaduan masyarakat jika terjadi penodaan agama harus dipandang sebagai kasus hukum. bukan karena ada hegemoni mayoritas terhadap minoritas.

Karena, jika pihak minoritas pun misalnya merasa terganggu dan ternoda agamanya, memiliki hak hukum yang sama.Masyarakat sangat berharap pihak berwenang secara adil menerapkan hukum. Tidak tebang pilih.

Keempat, kehidupan toleransi antar beragama sesungguhnya sangat bisa diwujudkan. Bahkan, justru umat Islamlah yang memberikan teladan bagaimana praktik toleransi dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara yang terbukti secara empiris dan historis.

Hal ini bisa kita lihat dari fakta sejarah ketika Kekhilafahan islam terbentang meliputi berbagai negara, berbagai agama, suku, bernaung di dalamnya. Khalifah Umar bin Khattab ketika menaklukan baitul maqdis, memberikan jaminan kepada warga non-Muslim agar tetap bebas memeluk agama dan keyakinan mereka.

Khalifah Umar tidak memaksa mereka untuk memeluk Islam dan tidak menghalangi mereka untuk beribadah sesuai keyakinannya. Bahkan saat kekuasaan kaum Muslim saat itu sudah meliputi tiga benua (Asia, Afrika dan Eropa) di Masa Abbasiyah, toleransi di antara umat beragama tetap menjadi perhatian para khalifahnya.

Besar harapan, kehidupan penuh toleransi antar umat beragama yang hakiki seperti itu bisa terwujud di Indonesia.  Bukan hanya mimpi apalagi sekedar narasi.  Insya allah. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version