View Full Version
Senin, 24 Sep 2018

Mengembalikan Peran Politik Ulama dalam Islam

Oleh: N. Vera Khairunnisa

Sejak kasus penistaan agama yg akhirnya menggerakkan jutaan umat muslim sekitar akhir tahun 2016 silam, keterlibatan ulama dalam aktivitas politik mulai nampak terlihat.

Banyak peristiwa politik di negeri ini yang tak lepas dari perhatian ulama dan umat Islam. Mereka mulai kritis terhadap berbagai kezhaliman yg ada di negeri ini.

Saat ini, peristiwa politik yang sedang bergejolak adalah akan adanya pergantian presiden tahun mendatang. Dua pasangan yang akan menjadi capres dan cawapres mulai mencari suara dan dukungan.

Potensi suara umat Islam kini mulai diperhitungkan. Kepedulian umat Islam terhadap politik membuat para pemilik kepentingan berpikir bahwa suara umat tidak bisa dibeli dengan mudah dan murahan. Tidak bisa dibohongi dengan janji-janji, atau dibujuk dengan imbalan materi.

Kedua calon pun mulai serius untuk mencari cara agar tahun depan, mereka bisa mendapat kemenangan. Yang satu memilih pasangan cawapres berasal dari kalangan ulama. Sedang calon yang lain juga mendekati ulama untuk mendapat dukungan dari para ulama.

Sementara sebagian ulama pun tidak tinggal diam. Mereka menganggap bahwa umat Islam harus terlibat aktif dalam mensukseskan pergantian presiden mendatang.

Wujud dari pro aktif sebagian ulama dalam mensukseskan pergantian presiden adalah dengan diadakannya Ijtima Ulama II. Dalam agenda tersebut secara resmi dinyatakan dukungan kepada pasangan bakal calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, setelah ditandatangani pakta integritas oleh mantan Danjen Kopassus tersebut. (republika. co. id, 16/09/2016)

Di tempat yang lain, sebagian kiai dan pengurus pondok pesantren (ponpes) sepakat mendukung bakal capres-cawapres Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin pada Pilpres 2019, dalam acara silahturahmi di Ponpes Asshiddiqiyah, Kedoya, Jakarta Barat, Sabtu. (antaranews. com, 15/09/2018)

 

Kedudukan Ulama dalam Islam

Di dalam Islam, sudah sangat jelas ulama memiliki kedudukan yang sangat mulia. Allah mengabarkan bahwa ulama  adalah hamba yang paling takut kepada Allah SWT sebagaimana firman-Nya:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (QS. Fathir: 28).

Nabi Muhammad saw. bersabda: "Dan para ulama adalah warisan (peninggalan) para nabi. Para nabi tidak meninggalkan warisan berupa dinar (emas), dirham (perak), tetapi mereka meninggalkan warisan berupa ilmu."(HR. Ibnu Hibban).

Karena kedudukan ulama di dalam Islam ini sungguh mulia, maka sudah selayaknya jika para ulama menjaga agar kedudukan mereka tidak tergeser. Yakni dengan mengembalikan peran ulama dalam politik yang seharusnya. Jangan sampai, para ulama dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi kepentingan penguasa atau kelompok tertentu.

 

Peran Politik Ulama

Di dalam Islam, ulama sejatinya memiliki peran untuk menyampaikan dakwah Islam dan membangun kesadaran politik di tengah-tengah umat.  Menjelaskan pada umat bahwasanya Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah mahdhah saja, namun juga mengatur seluruh  aspek kehidupan, termasuk politik dan bernegara.

Ketika umat menganggap politik itu kotor dan agama harus terpisah dari politik, disebabkan mereka melihat aktivitas politik sistem demokrasi sekuler yang penuh dengan kebobrokan, maka tugas ulama untuk menjelaskan bagaimana politik di dalam Islam.

Menerangkan pada umat bahwasannya politik dalam Islam tak melulu tentang jabatan, kekuasaan, dan intrik kepentingan parpol ataupun individu. Mengoreksi kebijakan penguasa yang dzalim juga termasuk aktivitas politik. Menyeru penguasa untuk menerapkan syariah Islam sebagai aturan kehidupan juga disebut berpolitik.

Peran inilah yang seharusnya diemban oleh para ulama. Di saat umat  mengalami kebingungan dalam menentukan sikap politiknya, ulama hadir untuk menuntaskan kebingungan tersebut.

Dengan bersandar pada syariah, diharapakan para ulama tak terjebak dengan permainan politik pragmatis versi demokrasi. Yakni, tidak mudah terbawa arus dukung–mendukung parpol atau calon tertentu. Terlebih parpol atau tokoh yang dicalonkan belum jelas keberpihakannya pada Islam. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version