View Full Version
Jum'at, 19 Jul 2019

Grasi Bagi Pedofili, Angin Surga Bagi Pemangsa

GERAM. Mungkin itu bahasa yang sanggup diungkapkan, melihat kenyataan yang tak semanis harapan. Entah bagi orang tua korban mungkin akan lebih dari itu, luka yang masih menganga karena buah hatinya menjadi korban, kini bertambah perih  karena sang predator kelamin anak kini dibebaskan atas belas kasih dan hak istimewa seorang presiden.

Neil Bantleman  dipenjarakan karena kasus pelecehen/pedofili yang dilakukan bersama rekannyaFerdinant Tjong di sekolah internasional (JIS) dengan masa hukuman penjara selama 11 tahun sejak  2015 lalu, baru menjalani 1/3 masa tahananya. Namun telah mendapat perhatian istimewa dari seorang presiden hingga akhirnya memberikan keringanan bahkan membebaskannya  dengan grasi Juni 2019.

Apa yang menjadi pertimbangan presiden sampai mau mengeluarkan hak istimewanya? Apakah sedemikian istimewa kedudukan seorang pedofilia asing di negeri ini? Sampai-sampai mengorbankan dan melukai hati warga negara sendiri? Apakah sudah diantisipasi dampak dari grasi yang diberikan itu bagi pemberantasan pelaku kejahatan seksual pada anak dan penegakan hukum yang berkeadilan?

Grasi memang hak istimewa seorang presiden, namun alangkah lebih bijaksana jika tidak sembarangan memberikan grasinya tersebut. Sebagai pemimpin tentu harus berpandangan jauh ke depan menimbang dengan matang sebelum memutuskan. Justru dengan pemberian grasi ini akan membuat predator-predator kelamin anak baik pelaku dalam negeri sendiri maupun asing semakin menjadi dan mendapat "angin surga" karena terindikasi melindungi pedofilia.

Grasi yang diberikan dapat memberikan gambaran buruk penerapan hukum di negara ini, karena masa tahanan yang dijalani belum cukup syarat menerima grasi. Padahal, masih banyak kasus yang tentunya lebih layak untuk menerima grasi, seperti pemberian grasi kepada Ustadz Abu Bakar Baasyir, nenek pencuri beras, nenek pencuri coklat dan masih banyak lagi yang lainnya.

Inilah realita dalam demokrasi, hukum bisa dipermainkan dan berubah disesuaikan kondisi. Seorang pelaku kejahatan sudah seharusnya mendapat hukuman setimpal dengan perbuatannya, memberikan keadilan bagi korban dan memberikan efek jera bagi pelaku. Namun, dengan kejadian ini justru berbalik, orang tua dan masyarakat umum akan semakin was-was dan tidak ada ketenangan ketika meninggalkan anaknya baik itu untuk sekolah atau lainnya.

Pelaku pedofilia akan tergoda untuk melakukan hal serupa karena merasa hukuman yang terlalu ringan. Alih-alih ingin memberantasnya, justru dengan grasi ini Indonesia akan menjadi wilayah tujuan predator pedofilia baik dari luar maupun dalam negeri.

Inilah tugas seorang pemimpin untuk melindungi rakyatnya dan sebagai perisai umatnya.  Seorang pemimpin harus bisa memberikan kenyamanan, keamanan, keadilan, kesejahteraan bagi warganya. Seorang pemimpin/imam suatu kaum harus yang paling banyak membaca dan menguasai Al-Qur'an. Dengan Al-Qur'an akan membimbingnya dengan kebenaran dan keputusannya memberi keadilan.

Dalam kepemimpinan Islam, hanya mendasarkan setiap perbuatanya terikat dengan hukum syara. Jika syara membolehkan maka akan dilakukan. Sebaliknya,  jika syara melarang maka tidak akan dilaksanakan. Selamanya hukum syara tidak berubah meskipun zaman berubah karena hakikatnya yang mengalami perubahan hanyalah alat dan pelakunya, sedangkan perbuatannya tetap.

Dengan sistem dan pemimpin Islam, kejahatan seksual pada anak atau pedofilia akan dapat dihapuskan hingga tak akan ada lagi yang terpikir untuk mengulangi dan berbuat kejahatan yang sama, karena keadilan hukum dalam penerapan syariat Islam.*

Ndarie Rahardjo

Guru PAUD tinggal di Depok, Jawa Barat


latestnews

View Full Version