View Full Version
Sabtu, 03 Oct 2015

Maitsam Abu Salim: Darahnya Membasahi Janggutnya

“Aku Maitsam,” kata Maitsam kepada Ummu Salamah Radiallahu’anhu, salah seorang istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika itu Maitsam tengah bersama Ummu Salamah di sela-sela melaksanakan ibadah haji di Makkah. Saat itu Khalifah Ali bin Abi Thalib telah tiada dan Nabi Muhammad SAW juga sudah wafat puluhan tahun sebelumnya. Ummu Salamah menjadi salah satu istri Nabi Muhammad setelah dia ditinggal mati suaminya, Abu Salamah, dalam Perang Badar.

Ketika bertemu dengan Maitsam, dia sudah beranjak tua, sehingga dia terpana menghadapi pria berkulit hitam itu, mantan budak yang dimerdekakan oleh Ali bin Abi Thalib dari seorang wanita Bani Asad.

“Demi Allah, aku sering mendengar Rasulullah menyebut namamu dan memberi wasiat kepada Ali tentang dirimu,” kata Ummu Salamah kemudian dengan nada terbata-bata.

“Bisakah aku bertemu dengan Husein?” kata Maitsam. Rupanya dia ingin menumpahkan kerinduannya kepada Ali lewat putranya itu.

“Dia tidak ada di tempat, sedang berada di kebun,” kata Ummu Salamah

“Kalau begitu, tolong sampaikan salamku kepadanya dan katakan bahwa kami berdua akan berjumpa di hadapan Allah. Insya Allah,” ujar Maitsam.

“Baik, nanti aku sampaikan pesanmu kepadanya,” jawab Ummu Salamah.

Selama berlangsungnya percakapan itu, Ummu Salamah tidak melepaskan pandangan matanya ke wajah Maitsam. Nama itu sering disebut Nabi sekian tahun lalu, dan baru kali itu ia bertemu dengan orangnya.

“Alangkah bagusnya nasib orang ini,” pikirnya. Maka, tanpa ragu lagi, ia segera mengambil parfum dan mengoleskan parfum itu ke janggut Maitsam sambil berkata, “Janggutmu ini akan segera diwarnai oleh darah.”

Rupanya wanita yang dibesarkan dalam lingkungan bangsawan Quraisy ini masih teringat ucapan Baginda Nabi itu dengan baik.

Beberapa waktu kemudian, setelah Ali wafat, ketika Maitsam berada di Kufah, dia ditangkap oleh penguasa di sana, Ubaidullah bin Ziyad. Maitsam diketahui sebagai “orang dekat” Khalifah Imam Ali. Kala itu kebencian terhadap Ali sangat tinggi. Itu merupakan rekayasa kubu Muawiyyah yang menginginkan jabatan khalifah. Sehingga orang-orang yang diketahui atau dianggap dekat dengan Ali ditangkap. Bahkan konspirasi untuk membunuh Ali muncul di setiap sudut hati para pengikut Muawiyyah. Mereka sudah terbelenggu nilai-nilai duniawi, sementara Khalifah berperilaku zuhud dan tawadhu’.

“Di mana khalifahmu?” tanya Ubaidullah setelah Maitsam dihadapkan kepadanya.

“Beliau sedang memandangi setiap manusia zhalim dan kamu adalah salah satunya,” jawab Maitsam tegas meski tangannya dibelenggu. Agaknya dia sudah siap menghadapi situasi apa pun.

Kesiapannya itu telah tertata di hatinya sejak Ali memberi tahunya jauh-jauh hari bahwa, setelah Khalifah wafat, Maitsam akan ditangkap, disalib, dan ditusuk dengan tombak. Selanjutnya ia memberikan gambaran kepada Maitsam, “Pada hari ketiga, dari hidung dan mulutmu akan mengalir darah yang akan mewarnai janggutmu. Penyaliban itu terjadi di pintu rumah Amr bin Huraits. Kamu akan disalib sebagai orang kesepuluh, kemudian akan mendapat kayu terpendek tapi berada di tempat yang terdekat dengan tempat suci.” Setelah itu, ia “memperlihatkan” pohon kurma yang batangnya akan menjadi tempat penyaliban Maitsam.

Maitsam kemudian melihat pohon kurma tersebut yang tumbuh di Kufah dan melakukan shalat. “Wahai kurma, aku diciptakan untukmu dan engkau tumbuh untukku. Betapa diberkahinya kamu.”

 

Terbuktilah Ucapan Ali

Ketika bertemu dengan Amr bin Huraits, dia berkata, “Aku akan menjadi tetanggamu.”

Tentu saja Amr tidak menangkap maksud kata-kata itu. Dia mengira, Maitsam akan membeli rumah tetangga sebelahnya.

Amr baru menyadari maksud kata-kata Maitsam itu beberapa saat kemudian, ketika Maitsam, atas perintah Gubernur Ubaidullah, diikat di batang pohon kurma yang tumbuh di dekat pintu rumahnya. Itu berarti Maitsam akan disalib dan disiksa hingga mati sebagai “orangnya” khalifah Ali. “Oh, rupanya inilah maksud kata-kata dia,” pikir Amr kemudian.

Tapi justru dalam kondisi yang amat mengenaskan itu, Maitsam memuji-muji Ali dan Bani Hasyim, dengan menyebutkan keutamaan-keutamaan junjungannya itu.

“Budak ini mengecam Tuan,” kata pengawal kepada Ubaidullah.

“Cincang dia!” perintah Ubaidullah kemudian.

Maka dicincanglah tubuh kurus kering itu oleh para pengawal gubernur secara beramai-ramai hingga tak bisa bergerak sama sekali. Namun dari mulutnya tetap mengalir lafaz-lafaz yang memuji kebesaran Allah Ta’ala.

Terbuktilah ucapan Ali ketika pertama kali bertemu dengan Maitsam. “Kamu adalah orang pertama yang akan dicincang oleh penguasa zhalim sepeninggalku kelak hingga mati syahid.”

Ketika itu Ali memerdekakan Maitsam dari seorang perempuan suku Bani Asad.

“Siapa namamu?” tanya Ali kala itu.

“Salim,” jawabnya singkat, sesingkat namanya.

“Rasulullah SAW pernah berkata kepadaku bahwa namamu adalah Maitsam,” kata Ali.

“Allah dan Rasul-Nya Mahabenar, dan Tuan juga benar,” kata Maitsam. “Demi Allah, itulah namaku.”

“Pakailah nama yang digunakan oleh Rasulullah untuk menyebutmu,” kata Ali.

Maka, sejak saat itu, ia pun menggunakan nama “Maitsam” dan mendapat julukan “Abu Salim”.

“Setelah aku tiada,” kata Ali, “engkau akan ditangkap, disalib, dan ditusuk dengan tombak di pintu rumah Amr bin Huraits. Pada hari ketiga, dari hidung dan mulutmu akan mengalir darah yang akan membasahi janggutmu.”

Demikianlah, Maitsam akhirnya mati syahid mempertahankan agama. Semoga Allah memberikan tempat yang terbaik baginya. Amin. (may/voa-islam.com)


latestnews

View Full Version