View Full Version
Selasa, 21 Mar 2017

Istri Sulit Dinasihati, Layak Diceraikan?

Soal:

Assalamualaikum Ustadz. . . Bagaimana menghadapi istri yang sulit dinasehati, shalat tidak tepat waktu cenderung menunda-nunda. Apakah layak untuk dicerai? Atau bersabar dengan pertimbangan anak. Dan ini terjadi terus menerus... Jazakallah Ustadz.

08**-8370-****

Jawab:

Wa'alaikumus salam warahmatullah.. akhi, memperbaiki lebih baik dan utama. Introspeksi, boleh jadi selama ini ada yang kurang dari usaha membina istri. Atau tidak pernah doakan istri. Boleh jadi juga akibat diri yang kurang bertakwa sehingga Allah jatuhkan hukuman melalui istri.

Al-Qur'an perintahkan suami pergauli istri dengan baik. Bentuknya, perlakukan istri dengan lembut, sabar dalam meluruskannya, dan terus lakukan. Pilihkan teman-teman shalihah untuknya. Jangan lupa, doakan ampunan dan rahmat serta taufiq untuk istri di saat-saat mustajab dan diawali wasilah-wasilah amal shalih yang istimewa.

[Baca: Istri Menjengkelkan, Tidak Boleh Langsung Diceraikan]

Allah Subahanahu wa Ta'ala perintahkan agar suami bersabar atas istrinya dengan tidak mudah menceraikannya,

فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

Al-Imam Al-QurthubirahimahullahDalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), berkata:

“Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir: 2/173)

Syeikh As Sa’di –rahimahullah- berkata tentang ayat di atas, “Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.

Yaitu; sebaiknya bagi kalian para suami untuk mempertahankan para istri anda meskipun anda tidak menyukainya, karena yang demikian itu terdapat kebaikan yang banyak, di antaranya sebagai bentuk pengamalan dari perintah Allah, menerima wasiat-Nya yang mengandung kebahagiaan dunia akherat.

Memaksakan diri untuk mempertahankannya –meskipun ia tidak mencintainya- termasuk mujahadatus nafs (berjihad dengan dirinya sendiri) dan akhlak yang baik. Bisa jadi nantinya kebencian akan berubah sebagai rasa cinta seperti realita yang terjadi. Dan bisa jadi keduanya dikaruniai anak yang sholeh yang akan memberikan manfaat kepada kedua orang tuanya di dunia dan akhirat. Semua itu bisa terjadi kalau dia mempertahankannya tapi jika tidak ada sesuatu yang membahayakan.

Namun jika ternyata harus berpisah dan tidak mungkin dipertahankan lagi, maka mempertahankannya tidak lah menjadi suatu kewajiban.  (Tafsir as Sa’di: 172).

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj: 10/58)

Baarakallaahu fiikum. [Badrul Tamam/voa-islam]


latestnews

View Full Version