View Full Version
Sabtu, 18 May 2013

Demokrasi Cacat Sejak Lahir, Ustadz Pengikut Demokrasi Ustadz Cacat

BLORA (voa-islam.com) - Di tengah arus liberalisasi dan demokrasi yang begitu kencang, menyerang dan menggerogoti NU sebagai  ormas Islam terbesar di Indonesia, muncul seorang ustad yang lama belajar di pondok NU, sangat tegas dan pemberani dalam menyampaikan risalah Islam.

Terutama menyampaikan kebenaran dalam menjaga tauhid umat Islam agar tidak luntur oleh millah kekafiran di zaman modern.

Ustadz Mustaqim, Lc alumni pesantren NU Bahrul Ulum Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur ini, beliau kembali menangapi beberapa kasus yang hangat seputar akhlak aktivis dakwah yang terjerembab dalam demokrasi dewasa ini.

Dalam kesempatan kajian umum bulanan, Ahad Legi 12 Mei 2013, yang bertajuk ‘Kewajiban Berakhlak Karimah”  di Masjid Darusalam Ngawen, Blora, Jateng , dalam muqaddimahnya beliau menyampaikan surat Al-Baqoroh : 208, kemudian beliau menjelaskannya.

”Ketika kita mengaca kepada sejarah dakwahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Rasulullah ketika berdakwah dari awal itu bissilmi kaffah, bukan memakai sistem yang dipakai orang hari ini. Mana to, kaffah yang dikatakan akhlak yang mulia? Adalah menegakkan tauhid, karena ketika tauhidnya bagus maka akhlak akan menyertai, maka bila ada orang yang akhlaknya rusak maka aqidahnya rusak,” jelasnya.

Ustadz muda yang aktif berdakwah di jalur pantura ini juga menyampaikan, sejak lahirnya demokrasi sudah cacat, maka siapa pun yang mengikutinya juga cacat.

“Sistem parelemen adalah sistem demokrasi, demokrasi adalah  konsep atau nama yang dibuat oleh kafir, yang oleh orang-orang kafir sendiri sekelas Plato dan Aristoteles mengatakan demokrasi dari lahirnya sudah cacat. Maka para pelaku demokrasi itu adalah orang-orang cacat, maka bila ada seorang ustadz yang mengikuti demokrasi adalah ustadz cacat itu,” tegasnya.

Di hadapan ratusan jamaah yang hadir saat itu, beliau juga memberikan tamsil kepada jamaah dengan amat jelas.

”Demokrasi itu yang menciptakan orang kafir, maka siapapun yang masuk ke dalam sistem itu, dia harus mengikuti sistem itu, aktivis dakwah begitu masuk demokrasi maka dia seperti comberan dan kotoran,” imbuhnya.

Ustad yang mengambil S1 dan S2 di universitas Al-Azhar Kairo, Mesir ini juga memberikan sebuah kritik yang tajam bersangkutan para aktivis dakwah yang masuk kedalam parlemen.

“Kelakuanya di palemen kok rusak, mungkin kelakuanya sebelum masuk ke dalam parlemen itu bagus, tapi ketika dia masuk ke dalam sistem yang rusak dia akan menjadi rusak. Segelas susu kalo belum tercampur apa-apa, indah dan sangat enak untuk di minum. Begitu susu ini njenengan (antum) masukan ke comberan yang bercampur dengan kotoran kotoran itu, dia akan berubah tidak karuan (tidak menentu).

Sama, aktivis dakwah yang masuk identik dengan comberan, dia menjadi comberan seperti dimana dia berada dan itu berbahaya. Maka aktivis dakwah jangan coba-coba berpikir untuk menjadi kaya atau ingin merubah Indonesia dengan parlemen, tidak akan pernah bisa!” tuturnya.

Bahkan ustadz yang sempat jadi pimpinan pondok pesantren Muhammadiyah di Klaten beberapa tahun lalu itu juga menerangkan dengan jelas hukum demokrasi.

“menjadi angota DPR tanpa akhlak maka akan hancur, dan ciri DPR yang berakhlak adalah keluar dari DPR, demokrasi itu haram. Begitulah dahulu saya memahami, tapi sekarang hukum demokrasi adalah kufur,” ujarnya.

Ustad yang sekarang lebih memilih berwiraswata dan berjualan di pasar traditional dari pada masuk sistem tapi berkoalisi dengan kekafiran ini, memang sangat tegas dalam ceramah-ceramahnya. Sehingga sebagian aktivis Islam di sekitar, Pati, Kudus, Rembang dan Blora banyak yang menyebut beliau “Singa Tauhid dari Pantura” karena gencarnya beliau dalam mengkampanyekan pentingnya tauhid  dan kafirnya sistem demokrasi.

Semoga umat islam indonesia makin sadar bahwa tak mungkin demokrasi menjadi pijakan dalam memperjuangkan Islam. Wallhu a’lam bisshawab. [Kyai Samping Lepen]


latestnews

View Full Version