View Full Version
Sabtu, 16 Aug 2014

Innalillahi! Ludovic Mohamed Zahed, Sosok Imam Homoseks di Eropa

Sahabat Voa-Islam,

Fenomena homoseksual dan lesbian makin marak. Bila dulu kelainan seksual ini hanya ada di dunia barat yang notabene non muslim, maka akhir-akhir ini beberapa yang mengaku dirinya Muslim mulai mengikuti gaya hidup jahiliyah ini. Bukan itu saja, kaum homo ini sudah mulai berani mendeklarasikan dirinya sebagai imam.

Ludovic Mohamed Zahed, adalah salah satu di antara orang-orang menyimpang ini yang bangga dengan gaya hidup homoseksualnya. Ia mentahbiskan dirinya sebagai imam dengan menikahkan banyak pasangan homoseks dan lesbian. Ia baru saja terbang ke Swedia untuk menikahkan pasangan lesbian Sahar Mosleh dan Maryam Iranfar.

Lahir di Aljazair, orang tuanya pindah ke Perancis ketika Zahed masih sangat kecil. Ketika masuk sekolah pertama kali, gurunya sempat bertanya apakah dia perempuan atau laki-laki. Ini adalah sosok guru yang sangat tidak pantas disebut guru. Zahed kecil tentu saja sedih dan bingung dengan perkataan guru yang mempermasalahkan penampilannya. Memang sosok Zahed terlihat sangat lembut, pemalu, tidak banyak tingkah dan langsing untuk ukuran anak laki-laki.

Zahed bahkan masih ingat saat itu ayahnya sempat memanggilnya banci dan cewek cengeng. Setelah mengucapkan kata-kata yang menyakitkan itu, ayahnya kemudian diam dan tak mau melihat atau berbicara pada Zahed. Latar belakang perlakuan guru dan keluarga memegang peranan penting pada kelainan dan disorientasi seksual diri Zahed kecil.

Pada titik ini Zahed bertanya-tanya, untuk apa dan mengapa ia diciptakan di dunia ini? Siapakah diriku yang sebenarnya? Zahed mulai meragukan dirinya sendiri. Dalam rangka mencari jawaban, ia pergi ke masjid di usia 12 tahun.

Di sini Zahed menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup ada pada Islam. Al Qur’an adalah kitab yang tak ada keraguan di dalamnya. Allah meredam semua gejolak rasa ingin berontak yang ada. Sebagai muslim, Zahed merasa semua adalah pembelajar dalam Islam dan tujuan hidupnya adalah menyembah Allah semata.

Zahed rajin membaca Quran dan menjadi anggota Salafi. Dia salat lima kali sehari dan bahagia telah menemukan jawaban untuk pertanyaan besar dalam kehidupannya serta segenap dukungan. Berikutnya, Zahed ingin menjadi Imam atau seorang ilmuwan Muslim. Ia pun berangkat ke Mekah untuk belajar Islam.

Berawal dari Jamaah

Persaudaraan di antara para anggota Salafi sungguh bermakna bagi diri Zahed. Mereka salat dengan shaf yang rapat hingga pundak saling bersentuhan sehingga seolah membentuk benteng pertahanan yang bisa melindungi semua anggota. Zahed merasa sangat bahagia berada dalam jamaah ini. Dia salat dengan sangat khusyuk hingga merasa bahwa hidayah ini begitu terasa indah. Ini semua karena Allah, itu yang dirasakan oleh Zahed.

Salah satu teman di jamaah Salafi ini bernama Jibril yang memunyai mata hitam, kulit gelap dan rambut tebal yang bercahaya. Zahed tidur di sebelah Jibril. Satu sama lain sering mengucapkan ‘Uhibbuk fi-Allah’ atau ‘aku mencintaimu karena Allah.’ Kata-kata ini nantinya bermakna berbeda atau diartikan lain oleh Zahed.

Di usia 17 tahun, Zahed tidur satu kamar dengan Jibril. Satu malam, Zahed terbangun dan mendapati dirinya sedang memandangi Jibril. Dia mencintai Jibrill karena Allah tapi kali ini rasa yang hadir adalah sesuatu yang berbeda dengan yang dirasakannya terhadap ikhwan lainnya.    Kemudian Zahed berusaha berbicara pada Jibril tentang hal ini. Jibril terkejut dan mengatakan bahwa hal seperti ini tidak boleh ada pada diri Zahed.

Belum sempat masalah tersebut diselesaikan dengan baik, keluarga Zahed pindah ke Marseille. Zahed pun ikut dan meninggalkan jamaah. Ia belajar untuk persiapan masuk universitas, mencukur jenggot, tidak lagi sholat bahkan tergila-gila dengan pesta dan narkoba. Zahed menjalin hubungan dengan laki-laki yang ternyata mengkhianatinya. Dari sinilah ia mulai terjangkit HIV. Ketika melihat masa lalunya itu, Zahed mengatakan bahwa itu adalah masa-masa ketika ia mengambil jalan sesat.

Pengakuan

Zahed memanggil orang tuanya untuk berbicara dari hati ke hati dan akhirnya mengakui bahwa dirinya homo. Ibunya menangis, ayahnya melihat Zahed untuk pertama kalinya setelah sekian lama dan berkata, “Kami tahu, Nak.” Ibunya terus menangis. Hal ini membuat si ayah berkata, “Anak kita sudah berusaha untuk berubah selama 15 tahun, Bu. Akhirnya, kita harus menerimanya apa adanya.” Kemudian si ayah tersenyum kepada anak laki-lakinya itu. Bahkan hingga kini, Zahed tidak tahu apa yang membuat ayahnya berubah dan berbalik mendukung keputusannya untuk  menjadi homoseks.

Dari poin ini, sebetulnya terlihat bahwa ayah Zahed sendiri mengalami kelainan. Sayangnya, hal ini tidak diungkap lebih jauh dalam penelusuran artikel aslinya. 

Dari poin ini, sebetulnya terlihat bahwa ayah Zahed sendiri mengalami kelainan. Sayangnya, hal ini tidak diungkap lebih jauh dalam penelusuran artikel aslinya. Tak ada anak yang dilahirkan dalam kebingingan menentukan arah orientasi seksualnya. Itu sama saja dengan menyebut Allah salah dalam penciptaan. Naudzubillah. Bila mau dirunut, orang orang tua, guru dan lingkungan sangat berperan untuk menciptakan generasi normal atau tidak secara psikologis.

Zahed belajar psikologi dan antropologi. Dia bekerja pada sebuah organisasi amal. Di usia 30, Zahed melakukan perjalanan bisnis ke Pakistan dan inilah pertama kalinya ia berpikir tentang kehidupannya. Ia bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah ia seorang yang baik ataukah buruk. Tak butuh waktu lama, di dalam kamarnya itu, Zahed pun tersungkur dalam sujud dan mulai salat kembali.

Zahed kembali membaca Quran. Dia tidak menemukan satu pun ayat atau surat dalam Al Quran yang mencela homoseks. Malah dia menemukan banyak puisi Arab klasik yang berisi hal porno tentang kaum homo. Di sini, terlihat sekali kedangkalan Zahed dalam menimba ilmu Islam. Ia lupa bahwa bagian dalam Quran yang di situ Allah mencela dan melaknat kaum Nabi Luth karena perbuatan homoseks. Di sini juga terlihat, entah Zahed atau wartawan yang mewawancarainya sengaja mencampur-aduk kebenaran dengan kebatilan. Mana ada Quran yang mulia disandingkan dengan puisi Arab yang tak jelas siapa pengarangnya. Apalagi isinya memuji-muji homoseks dengan adegan mesumnya. Pada perjalanan yang sudah kacau balau sejak awal, Zahed kemudian bertemu dengan HM2F yaitu asosiasi homo dan lesbian Muslim di Perancis.

Dua tahun lalu ketika ada berita tentang waria (laki-laki yang mengubah dirinya menjadi wanita) meninggal dan tak ada satu pun Imam mau menguburkannya, Zahed langsung berusaha mencari masjid. Di masjid itulah Zahed merancang tempat semua orang bisa mendapatkan Imam yang bersedia memperlakukan mereka secara bermartabat. Mereka bisa meminta dimakamkan atau dinikahkan tanpa kecuali, apakah mereka mau menikah dengan lawan jenis ataukah sesama jenis. Zahed pun bertemu dengan seorang laki-laki yang kemudian dinikahinya dan disahkan oleh seorang Imam yang juga adalah kenalannya.

Toleransi Semu

Tahun ini, Zahed berusia 37 tahun. Dia telah keliling dunia memberikan ceramah tentang homoseks dalam Islam. Baru saja dia pulang dari Swedia dalam rangka menikahkan pasangan lesbian di sana. Perjalanannya ini dibiayai oleh 7-eleven.

Malam sebelumnya, Zahed bercerita kegundahannya tentang pernikahannya sendiri. Suaminya telah meninggalkannya beberapa hari sebelumnya. Dalam hal ini, ayahnya sempat menelpon dan mengatakan, “Setiap pasangan mengalami keretakan. Itu hal normal, Nak. Dan itu semua tak ada hubungannya dengan kondisi homoseks atau bukan.”Dan itu adalah pertama kalinya ayah Zahed menyebut istilah homoseks terhadap dirinya.

Kehidupan Zahed tidaklah sempurna. Ia pernah sakit dan ia pun merindukan suaminya. Ia pun masih belum menemukan semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya di dunia ini. Di titik ini, pernyataan penulis artikel bertentangan dengan paragraf sebelumnya yang menyatakan bahwa Zahed telah mendapatkan semua jawaban atas pertanyaan dalam kehidupannya dan ia bahagia. Ternyata Zahed masih di pusaran yang sama bahkan jauh tersesat.

Zahed telah merasa mengenal siapa dirinya. Zahed telah menemukan jalan untuk kembali akrab dengan keluarganya dan ia pun telah menemukan keyakinannya. Mungkin momen terindah dalam hidupnya memang belum saatnya hadir. Zahed tidak akan pernah bertemu dengan momen terindah karena jelas-jelas ia mengingkari kodrat. Dicari sampai ke ujung dunia pun, Zahed akan tetap pada kondisi sesat apabila ia tidak segera sadar dan tobat.

Ketika menghadiri pernikahan di Swedia pasangan lesbian itu, Zahed mengesahkannya dan membaca surat Al Fatihah yang ada kata-kata, “Tunjukkanlah kami di jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat padanya, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan orang yang sesat.”

Pasangan lesbian tersebut menangis. Zahed melihat ke para hadirin dan berkata, “Silakan kalian bertepuk tangan, atau apapun yang kalian suka.” Ini adalah prosesi pernikahan kaum Kristiani yang diadopsi oleh Zahed dan pasangan lesbian yang disahkannya. Zahed dan banyak orang pelaku homoseks dan lesbian di luar sana banyak yang tersesat dan bingung membedakan mana ide Islam mana yang bukan. Andai, mereka mau mencari kebenaran dengan hati dan pikir yang jernih tentu mereka tak salah jalan seperti ini. Naudzhubillah mindzalik.

[riafariana/adivammar/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version