View Full Version
Rabu, 05 Nov 2014

Virus LGBT Mengancam Masyarakat, Negara Demokrasi Bisa Bertindak?

(voa-islam.com) -“Kebebasan” waria kini begitu ketara. Ajang buka-bukaan pada sebuah parade menjadi tempat strategis bagi mereka. Sampai hari ini tercatat dua kali parade menyuguhkan mereka berjalan berkelok-kelok didepan masyarakat umum. Berjalan dengan senyum sumringah seolah rakyat bergembira. Tak jarang pula dengan angkutan becak menjadi transportasi mereka dalam kemeriahan parade kota.

Kabar itu menggembirakan segelintir orang para pembela hak asasi yang seolah netral menanggapi fenomena waria. Akan tetapi banyak dari masyarakat Indonesia khususnya menolak keadaan mereka. Wajar saja, Indonesia kini dihuni mayoritas muslim yang terbesar didunia.

Di Jakarta, terekam jejak mereka sedang mengikuti pertunjukan di area Monas tepat pada hari Ahad kemarin. Tak sedikit pula warga berduyun-duyun menghadirinya. Tentu bukan melihat waria beraksi dijalan raya. Banyak juga pertunjukkan lainnya yang sedang disaksikannya. Tetapi apa daya? waria menjadi salah satu bagian dari pertunjukan tersebut di sekitar Monas.Kini, publik dihadapkan pada alasan kebebasan sehingga bisa melihat bebas hadirnya para waria.

Waria tak dapat dipisahkna dari keberadaan sekelompok yang sering disebut dengan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Jumlah pria homoseksual di negeri ini sendiri tidak ada yang tahu pasti. Menurut perkiraan para ahli dan badan PBB, dengan memperhitungkan jumlah lelaki dewasa, jumlah LSL di Indonesia pada 2011 diperkirakan lebih dari tiga juta orang, padahal pada 2009 angkanya 800 ribu orang. Diperkirakan pada 2013 jumlahnya lebih besar lagi. (Rakhmad Zailani Kiki, opini, Republika.co.id, 02/4/2013).

Sekitar tahun 1968 mulai dikenal isitilah wadam yang diambil dari kata hawa dan adam. Kata wadam menunjukkan seseorang pria yang mempunyai prilaku menyimpang yang bersikap seperti perempuan. Istilah waria dulunya terkenal dengan wadam. Karena alasan keberatan dari pihak tertentu maka wadam diganti menjadi waria. Contoh perkumpulan payung gay pun marak bermunculan di Indonesia sebut saja Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY) (Indonesian Gay Society (IGS)), dan GAYa NUSANTARA (GN) si Surabaya.

Kebebasan Tanpa Batas

Tempo doeloe istilah ini sangat asing dan bahkan menjadi buah bibir masyarakat umum, namun kini akibat adanya kebebasan yang melegalkan mereka seolah menjadi sah-sah saja. Realita perkumpulan gay, waria dan sejenisnya menjadi hiburan bagi sebagian orang. Bahkan sarat dengan nilai perjuangan bagi pendukung nilai kebebasan. Akibat paham liberalisme perilaku LGBT mencari posisi untuk keberadaanya di negeri ini. Lembaga HAM juga memberikan legitimasi keberadaannya untuk dilindungi. Kenyataan ini akibat dari penerapan demokrasi yang memiliki asas sekulerisme. Asas yang memisahkan agama dari kehidupan dunia. Demokrasi seolah tahu kebutuhan manasia. Paham ini mengalahkan keyakinan manusia pada Sang Pencipta. Lembaga hak asasi manusia kini pun juga getol membela untuk mencarikan space dimasyarakat Indonesia.

Munculnya fenomena gay tentu sangat wajar bahkan legal dialam demokrasi sekarang ini. Karena dalam demokrasi sendiri menjamin kebebasan berekspresi bagi warga negara yang mengadopsinya. Negara justru ngemong para waria karena asas dalam demokrasi menyuburkan keberadaannya.

Islam Memuliakan Umat

Sabagai umat muslim yang beriman pada Allah dan rasul-Nya tentu cukuplah pada apa yang diturunkan. Islam tidak akan membiarkan perilaku menyimpang seperti pelaku LGBT. Islam memerintahkan laki-laki berperilaku sebagiamana laki-laki seharusnya. Islam juga memerintahkan perempuan berperilaku sebagaimana perempuan berperilaku.

Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam melarang laki-laki dan perempuan menyerupai lawan jenisnya.

لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam melaknat laki-laki yang berlagak wanita dan wanita yang berlagak meniru laki-laki (HR. al-Bukhari)

Anak-anak pun harus dipisahkan tempat tidur mereka. Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallambersabda:

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ

Suruhlah anak-anakmu shalat pada usia 7 tahun, dan pukullah mereka pada usia 10 tahun dan pisahkan mereka di tempat tidur. (HR. Abu Dawud)

 

Dalam pergaulan antara jenis dan sesama jenis, diantaranya Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ

Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki. Jangan pula perempuan melihat aurat perempuan. Janganlah seorang laki-laki tidur dengan laki-laki dalam satu selimut. Jangan pula perempuan tidur dengan perempuan dalam satu selimut. (HR. Muslim)

Tidak cukup pada tataran individu yang menempatkan posisinya dan menjalankan kewajibannya. Negarapun berkewajiban melindungi dan menjamin keamanan setiap warga masyarakatnya. Pornografi dan pornoaksi harus dihilangkan dari kehidupan masyarakat umum. Negara pula berkewajiban menghukum bagi perilaku menyimpang dari syari’atNya. Tentu kita tidak lupa peristiwa yang Allah perlihatkan pada kita.

مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

“Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi).” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi)

Adanya sebuah negara yang menjamin keselamatan umat ini menjadi keinginan rakyat bersama. Bukan negara yang membiarkan bahkan tak ada jaminan perlindungan seperti saat ini. Parade yang dihadapkan pada masyarakat yang mengumbar kemaksiatan. Parade yang tak sedikitpun mendatangkan kemanfaatan untuk manusia. Parade yang hanya ada dalam sistem demokrasi menyuburkan kemaksiatan. Lantas, masihkah percaya pada demokrasi? [PurWD/voa-islam.com]

 

* Oleh: Rizka Kusuma Rahmawati (BEM J Sejarah dan Kebudayaan Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga)


latestnews

View Full Version