View Full Version
Kamis, 15 Jan 2015

Hei Ahok, L'etat C'est Moi: Menggusur Orang Miskin Bukan Menggusur Kemiskinan

JAKARTA (voa-islam.com) - Keputusan Ahok melarang kendaraan roda dua (motor) untuk melewati jalan-jalan protokol ibukota mengingatkan kita pada kebijakan pelarangan becak beroperasi di seluruh wilayah ibukota lebih kurang dua setengah dekade yang lalu.

Akhir era 80-an hingga awal 90-an becak adalah simbol kemiskinan, keterbelakangan dan dianggap tidak manusiawi serta kerapkali dijadikan kambing hitam atas benih-benih kemacetan yang mulai sering terjadi di ibukota. Toh ketika akhirnya becak hilang dari muka bumi Jakarta kemacetan justru makin menjadi. Akhirnya orang mulai lupa keberadaan becak di Jakarta.

Pun yang terjadi dengan sepeda motor saat ini. Dianggap sebagai biang kekisruhan jalanan ibukota. Penyebab utama kemacetan yang kian parah. Akhirnya pemda melarang motor melintasi 9 ruas jalan ibukota. Memang baru tahap ujicoba, tetapi sangat mungkin akan dberlakukan pada semua ruas jalan.

Sebagaimana becak pada masanya, saat ini motor juga (dianggap) lambang kemiskinan, kekumuhan dan biang keladi kemacetan. Maka harus dimusnahkan dari jalanan ibukota. Padahal bagi sebagian besar masyarakat Jakarta, motor adalah alat transportasi yang paling murah, cepat dan efisien. Apalagi di tengah kondisi Pemda yang tidak mampu menyediakan sarana transportasi umum yang murah dan cepat.

Seorang pekerja di bilangan Kuningan mengaku setiap hari pergi pulang dengan mengendarai motor dari rumahnya di Depok. Untuk sekali jalan dengan waktu tempuh satu jam menghabiskan setengah liter bensin senilai Rp 4000. Bandingkan dengan jika harus naik angkutan umum yang harus 3 kali berganti angkot dan menghabiskan uang Rp 15.000. Maka melarang motor di Jakarta sejatinya adalah program menggusur orang miskin, alih alih menggusur kemiskinan.

Dalam sebuah artikel di Suara Pembaruan, 16 Februari 1990, Prof. Sri Edi Swasono menulis apa yang dilakukan Pemda DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Wiyogo Atmodarminto sebagai bentuk kediktatoran. “Bukan main! Inikah mungkin bentuk l’etat c’est moi seperti yang diucapkan Louis XIV? Moga-moga tidak, moga-moga hanya suatu manifestasi elite bias yang melanda metropolitan kita,” demikian Sri Edi.

Tulisan Sri Edi ini menanggapi komentar gubernur yang menjawab kritikan masyarakat secara arogan. Sebagaimana pelarangan becak, pembatasan sepeda motor di Jakarta juga menghilangkan pekerjaan dan naskah hidup ribuan tukang ojek dan keluarganya. Maka membatasi dan melarang sepeda motor juga bentuk diskriminasi secara ekonomi. Apalagi pemerintah tidak memberikan solusi apapun.

Pemerintah tidak berperikemanusiaan. Sebaliknya pelacuran yang bertentangan dengan peri kemanusiaan, bahkan lebih dari itu ia keji, mesum dan haram, tetapi tidak digasak, tidak dilarang dan justru direncanakan untuk dilokalisasi (Baca : dijaga baik-baik) oleh Ahok.[azza]

sumber:sharia.co.id

*Judul tulisan Prof. Sri Edi Swasono yang dimuat Suara Pembaruan, 16 Februari 1990


latestnews

View Full Version