View Full Version
Jum'at, 27 Oct 2017

Miris! Jember Kota Santri Menjadi Sarang LGBT

Oleh:

Ulfiatul KhomariahMahasiswi S1 Sastra Indonesia FIB Universitas Jember, Pemerhati Sosial dan Politik

 

MIRIS! Warga Jember dihebohkan oleh pernikahan sesama jenis di Kantor Urusan Agama (KUA).  Kedua pasutri itu sebenarnya menikah pada bulan juli 2017 lalu di KUA kecamatan Ajung. Namun belakangan terkuak ternyata sang istri bukan perempuan, melainkan seorang laki-laki. (tribunbatam.id)

Seminggu yang lalu, warga Jember dihebohkan dengan berita pembunuhan sadis yang dilakukan oleh pasangan sejenis di desa Semboro Jember. Aneh memang, kota yang dijuluki sebagai kota santri ini ternyata memiliki banyak permasalahan yang sangat pelik. Mulai dari pencurian, pemerkosaan, miras, narkoba dll, hingga pembunuhan terhadap sesama jenis oleh pelaku LGBT.

Yang menjadi sorotan disini adalah aktivitas seksual yang dilakukan oleh para pelaku LGBT yang sangat tidak manusiawi ini, bahkan melebihi perilaku hewan. Perlu kita ketahui bahwa Jember yang terkenal dengan kota seribu pesantren ini ternyata menjadi sarang para pelaku LGBT.

Menurut (beritajatim.com) ada sebuah lokasi yang dihuni gigolo atau pria pekerja seksual di Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember yang disebut Kampung Kucing. Para gigolo ini melayani hubungan seks sejenis dan lain jenis.

Bukan hanya itu, bahkan para pelaku LGBT ini sudah tidak takut-takut lagi menunjukkan jati dirinya kepada masyarakat. Mereka membuat sebuah komunitas di facebook yang dinamakan “Gay Jember Friendly”. Di dalamnya berisi para gay yang siap melahap sesama jenisnya.

Tidak hanya di dunia maya, di dunia nyata sekali pun mereka berupaya menunjukkan keberadaannya. Seperti dalam tulisan (jurnalism.com 12/08/2016) setahun yang lalu ditemukan Bendera LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) bersamaan dengan acara  Hut RI di Jalan Sumatera, kawasan kampus Universitas Jember yang membuat masyarakat geger. Keberadaan bendera itu meresahkan dan menimbulkan banyak kontroversi di tengah masyarakat.

Media lokal juga pernah merilis bahwa setidaknya ada 1800 gay di Jember. Perlu menjadi perhatian bagi kita semua sebagai masyarakat yang beriman dan bertakwa tentunya tidak ingin penyakit LGBT ini menyeruak ke seluruh pelosok negeri. Karena adanya penyakit ini membawa banyak dampak buruk/negatif bagi masyarakat.

Misalnya dari sudut sosiologi, perilaku ini akan menyebabkan peningkatan gejala sosial dan maksiat hingga tidak dapat dikendalikan. Jika dilihat dari sisi psikologi, kebiasaan jelek ini akan mempengaruhi kejiwaan dan memberi efek yang sangat kuat pada syaraf. Sehingga pelaku merasa dirinya bukan lelaki atau perempuan sejati, dan merasa khawatir terhadap identitas diri dan seksualitasnya. Dari aspek kesehatan, LGBT dapat menyebabkan infeksi penyakit berbahaya, yaitu virus penyakit HIV/AIDS. Dan juga perilaku biadab ini bisa merusak institusi keluarga dan membunuh keturunan.

 

Akar Masalah

Dimana ada asap disitu pasti ada api, begitu juga perilaku LGBT tidak mula-mula muncul dengan sendirinya. Kemunculan LGBT bermula dari negara seberang, Amerika Serikat (AS). Negara berpenduduk 320 juta lebih itu melegalkan pernikahan sesama jenis (same-sex marriage) di seluruh negara bagiannya melalui keputusan Mahkamah Agung AS pada Jumat 26 Juni 2015.

Peristiwa legalisasi pernikahan sesama jenis di AS dan negara Barat lainnya, sejatinya menunjukkan kepada dunia betapa rusaknya masyarakat yang dibangun dengan tatanan demokrasi-liberal. Dengan mekanisme demokratis pelaku LGBT bisa bebas dan legal menyebarkan virus penyimpangan seksual mereka. Maka bukan sesuatu yang berlebihan jika kita sebut bahwa demokrasi telah membangkitkan kaum Luth modern.

Dengan adanya hal ini kita harus paham bahwa pelaku LGBT beserta para pendukungnya bisa bergerak bebas dan menyebarkan pikiran tak beradab itu karena telah mendapatkan justifikasi dari ide liberalisme. Ide tersebut berupa kebebasan berekspresi dan berperilaku, kebebasan ini muncul akibat penerapan ideologi sekuler yang memisahkan antara agama dan kehidupan. Hal ini dilegitimasi juga oleh ide HAM, dan dilestarikan oleh negara demokrasi. Jadi, selama Indonesia masih menerapkan demokrasi, maka harus diakui, ancaman propaganda LGBT akan terus menusuk sendi-sendi kehidupan umat Islam di Indonesia, termasuk di Jember.

 

Menyikapi Polemik LGBT

Berbicara dengan Indonesia berarti berbicara dengan Hukum, karena Indonesia adalah negara berdasar Hukum. Adapun pihak yang mendukung/pro LGBT berpendapat bahwa munculnya fenomena LGBT menjadi pekerjaan Indonesia sebagai negara Hukum. Mereka berharap agar masyarakat hendaknya tidak menyalahkan atau mendeskriminasi pelaku LGBT, karena pelaku LGBT adalah korban yang perlu bantuan; persoalan LGBT ini perlu dilihat dari berbagai perspektif, baik dari sisi agama, sosial, medis, maupun HAM; kaum LGBT merupakan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk dilindungi; kelompok LGBT hanya perlu pencerahan agama.

Sementara itu, pihak yang menolak LGBT berpendapat bahwa LGBT merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Dengan demikian kecenderungan untuk menjadi LGBT adalah menyimpang, sehingga orang yang mengidapnya harus direhabilitasi; semua ajaran agama menganjurkan manusia hidup berpasang-pasangan, karena harus memiliki keturunan untuk kelangsungan hidup umat manusia di dunia; pernikahan sejenis dianggap sebagai bentuk penyimpangan terhadap norma susila dan agama.

Mari kita telusuri sejenak pendapat beberapa agama yang ada di Indonesia atas pernikahan sejenis itu. Dalam pandangan Buddha, pernikahan sejenis merupakan halangan untuk mencapai kesucian. Bahkan homoseksual dianggap sebagai salah satu faktor penyebab penurunan moral di masyarakat. Padahal, untuk mencapai kesucian itu diperlukan landasan moral yang baik.

Menurut  Kristen (Protestan), tujuan utama pernikahan adalah untuk melestarikan kehidupan atau keturunan. Ini hanya bisa dicapai bila mereka yang menikah berlainan jenis kelamin. Agama Katholik pun memiliki paham yang sama. Dalam suatu ikatan pernikahan hanya bisa dilakukan oleh pria dan wanita atau laki-laki dan perempuan. Para pemeluk agama ini juga menganggap perilaku homoseksual itu sebagai bentuk penyimpangan.

Penolakan atas pernikahan sejenis juga dianut oleh agama Hindu. Agama ini jelas-jelas melarang pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang berjenis kelamin sama. Tak beda dengan empat agama itu, Konghucu pun memililki pemahaman yang sama. Pemeluk Konghucu memilliki prinsip, bahwa pernikahan itu terjadi antara laki-laki dan wanita. Bagaimana dengan Islam? Hampir semua masyarakat mengetahui, bahwa Islam juga menolak dengan keras pernikahan sejenis. Larangan pernikahan sejenis secara tegas tertera dalam surat Al-A’raaf (7), ayat 80-84.

Merujuk dari hal tersebut kenyataannya bahwa dari 6 agama yang di akui di Indonesia, keenam agama itu menentang keras LGBT ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa LGBT ini adalah bertentangan dengan Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa).

Berbagai bahaya yang ditimbulkan oleh perilaku LGBT serta larangan aktivitas tersebut oleh agama sepatutnya menjadi bahan renungan serius untuk kita semua, karena jika aturan agama diterjang dengan apapun alasannya maka akan menimbulkan bencana dan laknat. Setiap manusia memang mempunyai pilihan hidup, tapi jika pilihan itu menjadi suatu gerakan yang membahayakan umat manusia tentulah kita tak boleh membiarkannya apalagi mendukungnya.

Persoalan LGBT adalah masalah sistemik, maka menyikapinya pun harus demikian. Kita butuh sistem dan aturan yang tegas melarang dan mencegah kemaksiatan dan berbagai aktivitas amoral lainnya. LGBT akan tetap eksis selama demokrasi juga eksis. Maka perlu rekonstruksi terhadap sistem yang diterapkan dewasa ini menjadi sistem yang berlandaskan pada aturan sang Khaliq. Wallahu a’lam bish-shawwab. **


latestnews

View Full Version