View Full Version
Jum'at, 22 Dec 2017

Tanggapan ''Negara Tidak Boleh Mengurus Urusan Ranjang''

Oleh : Raidah Athirah

Menarik sekali diskusi (ILC, Selasa, 19-12-2017) kemarin. Saya menonton langsung melalui siaran streaming TV One walaupun terlewatkan beberapa scene tapi sangat luar biasa narasumber yang dihadirkan.

Salah satu yang saya garis bawahi adalah pernyataan dari Mbak Cania; "Negara  Tidak  Boleh  Mengurus  Urusan Ranjang." Begitu pernyataan yang beliau sampaikan dengan gamblang di depan Pak Karni Ilyas dan penonton se- Indonesia.

Ini pernyataan yang luar biasa. Kalau sebagian besar dari pemerintahan setuju dengan pernyataan di atas  maka masyarakat harus bersiap-siap memasuki gelombang baru dunia Indonesia.

Gelombang ini bernama Revolusi Seksual.

Loh, kok bisa demikian? Ya, bisa saja mengingat negara tidak boleh mengurus berapa jumlah anak yang harus dilahirkan. Dengan demikian maka lembaga pemerintah yang bernama BKKBN yang telah mengkampanyekan "dua anak cukup" sejak tahun 1950 sudah tidak relevan.

Para pekerja BKKBN dan pegawai KUA sudah harus dimutasikan ke lembaga pemerintah yang lain karena mereka yang bertugas mengurus "urusan ranjang" warga negara Indonesia akan dihapuskan.

Kalau ada yang tiba-tiba bingung. Coba saudara cermati pernyataan narasumber, bukankah kampanye KB itu untuk terkait  'urusan ranjang'?

Pernyataan di atas menyebut dengan jelas  bahwa "Negara tidak boleh mengurus urusan ranjang".

Sangat jelas sekali urusan KB adalah urusan ranjang. Negara ikut serta mengontrol lonjakan penduduk dengan mengkampanyekan bahkan mendirikan lembaga negara yang saya sebut di atas sebagai bagian dari program PBB.

Terkait dengan pernyataan di atas juga maka lembaga yang mengatur dan mencatat pernikahan dalam hal ini KUA dan gereja harus juga menyiapkan mental bahwa anak-anak yang lahir tidak perlu terdaftar karena tidak perlu  mengurus hal-hal demikian.

Yang perlu menurut narasumber adalah safety sex. Lembaga pernikahan seperti  KUA sudah tidak boleh ikut campur. Ini urusan ranjang masing-masing individu. Selama urusan ini urusan ranjang dan masing-masing melakukan dengan 'aman' tidak perlu ada campur tangan negara.

Sampai di sini timbul satu pertanyaan di dalam benak saya berarti kalau yang diutamakan Safety sex maka bagaimana dengan anak-anak yang lahir berdasarkan karena safety sex? KUA tentu saja tidak perlu mengurus urusan ini.

Pertanyaan berikut lembaga sensus penduduk tidak perlu juga ikut  mendata nama keluarga bahkan Kartu Keluarga bila perlu dihapuskan. Ini konsekuensi terbesar apabila negara tidak perlu mengurus "urusan ranjang".

"Ini hidup gue, ya terserah gue. Mau kumpul kebo, mau nikah, mau punya anak, terserah gue dong!", mungkin begini kira-kira terjemahan kasarnya. Silahkan koreksi saya bila pendapat saya ngawur.

Narasumber seharusnya memikirkan juga solusi terkait ini. Bila narasumber tidak memiliki solusi maka sudah pasti pernyataan ini dianggap Irasional dan melawan hukum dan undang-undang di Indonesia.

Demikian sedikit yang bisa saya tanggapi. Terkait pernyataan berbelit-belit dari Pak Ade Armando akan didiskusikan di status lain.

Pertanyaan saya terakhir kepada sebagian besar masyarakat Indonesia, siapkah Bapak - Ibu sekalian menjelaskan kepada anak-anak terkait pernyataan narasumber?

Bila tidak ada alasan rasional maka Bapak-Ibu sudah seharusnya bersuara sebelum pernyataan ini diperjuangkan dan menjadi salah satu bentuk legalitas dari kekacauan akan lembaga perkawinan yang telah ada. [PurWD/voa-islam.com]

Perantau yang fakir 

 

Polandia, Desember di akhir tahun 

 


latestnews

View Full Version