View Full Version
Ahad, 24 Dec 2017

Toleransi yang Intoleran

Oleh:

Ashaima Va, ibu rumahtangga tinggal di Jakarta

 

 

MAHKAMAH Konstitusi (MK) akhirnya menolak gugatan uji materi (judicial review) pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang zina, kumpul kebo dan hubungan sesama jenis, Kamis (14/12/2017).

Judicial Review yang diajukan 12 orang pemohon yang tergabung dalam Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) menginginkan cakupan yang lebih luas dari delik kesusilaan yang selama ini digunakan. Payung hukum yang diharapkan mampu mencegah terjadinya tindak perzinahan yang dilakukan oleh yang sudah menikah maupun yang belum menikah, perkosaan yang pelaku dan korbannya laki-laki atau perempuan, dan homoseksualitas yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak, sesama anak-anak, ataupun homoseksualitas sesama dewasa. 

Dari sembilan hakim, empat mendukung sedang lima lainnya menentang. Pihak-pihak yang menentang memakai argumen perilaku seksual sebagai ranah privat yang tak semestinya dicampuri. Tak hanya itu, dengan dalih hak asasi manusia, maka negara tak selayaknya melakukan kriminalisasi berlebihan terhadap homoseksualitas. Homoseksualitas hanyalah ekspresi identitas gender. Dari perbandingan hakim yang mendukung dan menolak, terang saja judicial review pihak pemohon akhirnya ditolak.

Sekilas ada toleransi humanis yang manis dari penolakan judicial review ini. Kekalahan pihak pemohon adalah kemenangan bagi pihak-pihak yang selama ini dimarjinalkan masyarakat karena pilihan aktivitas seksual mereka yang menyimpang. 

Mereka berhak untuk berzina, jangan kepo jangan protes mereka suka sama suka, kok. Mereka juga berhak untuk menyukai sesama jenis, tubuh boleh hulk tapi hati helokity  mereka tetap harus dapat pelampiasan, bukan. Atau seperti yang biasa mereka racaukan, stop mengurusi selangkangan kami! LGBT harus diakui. Begitulah kira-kira pembelaan mereka. 

Para pemohon uji materi yang kebanyakan ibu-ibu itu menangis saat putusan hakim tak berpihak pada mereka. Bukan tangis sakit hati karena kekalahan. Bukan pula tangis karena lelahnya berjuang demi ketahanan keluarga. Namun ini adalah tangisan karena memikirkan anak negeri. 

Ini adalah tangis yang mewakili saya, anda, dan para ibu yang masih memiliki kepedulian terhadap moral generasi anak-anak bangsa. Ke depan akan lebih sulit untuk para ibu menjaga buah hati dan keluarga dari kontaminasi LGBT dan sex bebas yang kian mengiritasi. 

Jika moral dan tuntunan agama harus mengalah pada hak asasi, lalu mau dibawa kemana nasib anak negeri? Permisifisme pastinya telah jadi idola baru. 

Jika moral dan tuntunan agama harus memaklumi pilihan ekspresi gender anak manusia, lalu mau ditempatkan dimana kelangsungan ras manusia? 

Jika moral dan tuntunan agama tidak boleh turut campur dalam pilihan aktivitas seksual manusia, lalu apa kabar dengan tingkat aborsi yang semakin tinggi dan pengidap HIV/Aids yang selalu naik grafiknya dari tahun ke tahun? 

Kita tidak boleh lupa, 36 tahun yang lalu aids pertama kali dilaporkan terjadi pada komunitas gay. Dari 270 kasus yang dilaporkan 121 diantaranya meninggal di akhir tahun itu juga. 

Sedang sex bebas telah nyata membuat bayi-bayi merah itu tergeletak dan tertidur di tumpukan sampah tanpa selimut tanpa ninabobo. Korban pun bukan satu dua, betapa banyak anak yang rusak masa depannya karena jadi korban pencabulan. Bahkan kini penganut LGBT dengan bangga menunjukkan eksistensinya. LGBT bukan lagi perkara privat yang tak satu pun pihak boleh ikut campur. Karena azab Allah akan menimpa tak hanya pada pelakunya saja.

Kalau sudah begini maka ini telah menjadi toleransi yang intoleran. Toleransi yang mengorbankan generasi bangsa. Pemerintah tak sepatutnya abai terhadap semakin eksisnya kaum yang memiliki perilaku seks yang menyimpang ini. Dengan syari'ah Islam negara harusnya jadi perisai kokoh yang melindungi rakyatnya dari pengaruh kemaksiatan berbajukan paham kebebasan ini. 

Jika negara justru melindungi lalu masyarakat memaklumi maka selamat berjuang bagi para ibu yang harus  menjaga ketahanan keluarga. Berdakwah semaksimal yang dimampu, sampai masyarakat kompak menolak dan pemerintah menjalankan fungsinya dengan amanah. Lalu pelaku seks bebas dan seks menyimpang akan jeri dan jera. Wallahu a'lam bish-shawab.*


latestnews

View Full Version