View Full Version
Jum'at, 20 Jul 2018

Semua Partai Sama? Tidak!

Oleh:

Yons Achmad*

 

ADA yang bilang, semua partai sama saja. Kalau yang bicara “orang awam”, tentu wajar saja. Tapi kalau yang bicara aktivis atau mantan aktivis masjid (dakwah kampus), tentu saja menggelikan. Obrolan tentang partai yang sebenarnya sudah tuntas ini kembali mengemuka setelah muncul kabar mantan pendiri PKS, Yusuf Supendi tampil di televisi dan mengkonfirmasi dirinya bergabung dan bahkan menjadi caleg PDIP.

Dalam kasus ini, anggapan semua partai sama saja menemukan faktanya. Hanya saja, kabar baiknya, tak banyak yang berpikiran demikian. Seorang aktivis, atau mantan aktivis masjid yang kemudian masuk ke politik praktis, tentu punya pandangan khas tersendiri terkait dengan ruang kiprah yang digelutinya saat ini. 

Memang, politik itu lentur, tapi prinsip ideologis tak bisa ditawar. Seorang aktivis apalagi tokoh yang pernah bergabung dengan PKS, memang sangat mungkin kemudian bergabung misalnya di partai berbasis Islam seperti PBB, PPP, PKB atau PAN, walau tetap saja dianggap telah “ke luar dari jamaah”. Tapi, bergabung dengan PDIP, tentu boleh dibilang mengejutkan (untuk tak bilang mengecewakan). Sampai ada yang kesal, biar saja sekarang bilang semua partai sama saja, agar kemudian tak bablas, bilang semua agama sama saja. 

Seorang Anis Matta yang dikenal sebagai ideolognya PKS pernah punya pandangan menarik tentang eksistensi partai politik. Dalam bukunya “Gelombang Ketiga Indonesia” (2014), dikatakan bahwa visi partai politik yang mewakili ideologi dan identitasnya harus bisa diturunkan menjadi agenda sehingga pubik dapat dengan jernih membaca arah dan bahkan kepentingan partai politik tersebut. Pandangan Anis Matta itu saya baca begini. 

Atas dasar hal itu, mungkin orang fokus pada agenda atau misalnya slogan membantu “Wong Cilik”. Agendanya barangkali sama, tapi tetap saja prinsip ideologis yang melatarinya berbeda. Itu sebabnya, bagi saya, ketika ada yang bilang semua partai politik itu sama saja, jelas itu kesesatan dalam berpikir. 

Hal ini berbahaya, kenapa? Kelak juga berpotensi misalnya menganggap politik ya politik, tidak ada urusannya dengan agama (dakwah). Artinya apa? Hanya tinggal selangkah lagi menjadi “Sekuler”. Padahal, bagi seorang aktivis masjid, politik dan agama (dakwah) tak bisa dipisahkan. Itu sebabnya, berpindah-pindah partai menjadi problematis ketika dirinya masih punya komitmen yang tinggi terhadap dakwah.

Baik, kita tak boleh menghakimi para “Kutu Loncat”. Mungkin ada yang bilang ingin mewarnai partai lain agar lebih misalnya Islami. Tapi rasa-rasanya, kok seperti mengada-ada.

Cerita tentang “Kutu Loncat” ini memang bukan hal baru. Amien Rais (1987) dalam bukunya “Cakrawala Islam” pernah bertanya pada politikus kiai atau kiai politikus. Dirinya bertanya tentang kepindahannya dari satu parpol ke parpol lainnya. Apakah langkah itu tidak membingungkan umat (pengikutnya). Jawaban mengejutkannya. Katanya, politik itu urusan kehidupan dunia semata dan jelas kehidupan itu hanya main-main dan permainan semata. Sambil fasih menyitir firman Allah dalam Al-quran “Wa ma hadzihil hayatuddunya illa lahwun wa laib” (Tiadalah arti kehidupan dunia ini kecuali main-main dan permainan belaka). 

Dari sini, saya kira memang dunia politik begitu berwarna. Tak hitam putih. Kadang disikapi dengan main-main dan becandaan. Hanya saja, saya kira, persoalan ideologi tetap bukan barang dagangan yang bisa ditawar-tawar. Mungkin, pendapat saya ini dibilang kolot. Tapi, apa boleh buat, setiap orang punya pegangan masing-masing. “Melacurkan” ideologi yang kita yakini, tentu bukan perkara sepele. Sebab, bagi yang percaya, ini menyangkut surga dan neraka.*Kolumnis, tinggal di Depok, Jawa Barat 


latestnews

View Full Version